Mozaik Peradaban Islam

Islam di Kuba (3): Penyebaran Islam di Kuba

in Lifestyle

Last updated on June 9th, 2019 02:31 pm


“Orang-orang berbicara buruk tentang Muslim, menyebut mereka teroris, hal semacam itu,” ujar Froilan Reyes yang kini telah mengganti namanya menjadi Hassan.


Hassan Abdul Gafur, salah seorang mualaf Kuba. Dia masuk Islam pada tahun 1994. Foto: Joan Alvado

Jika kedatangan Paus John Paul II ke Kuba pada tahun 1998 dianggap sebagai kebangkitan agama-agama, khususnya Katolik Roma, lalu sejak kapan Islam juga dapat tumbuh di sana?

Haji Isa, begitu biasanya dia disapa, dia adalah seorang mualaf dan seniman Kuba, mengatakan, “Ini (Islam) adalah komunitas muda. Muslim dari luar negeri telah dan masih merupakan faktor penentu dalam penciptaan dan pengembangan komunitas (Muslim) Kuba…. Mahasiswa Muslim dari Afrika, Sahara Barat, Yaman, Palestina, dan negara-negara Arab lainnya merupakan pengaruh besar pada tahun 1990-an, kemudian banyak dari Pakistan,” ujar Haji Isa, yang sebelumnya memiliki nama Jorge Elias Gil Viant, dia adalah mantan pustakawan di Uni Arab-Kuba, sebuah organisasi kebudayaan yang berbasis di Havana.

Menurut Haji Isa, dengan fakta tersebut, artinya komunitas Muslim di seluruh pulau di Kuba memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Masing-masing dibentuk oleh mereka yang awalnya mempengaruhi mereka dan disesuaikan dengan keadaan setempat. Namun, seiring dengan meningkatnya jumlah mualaf, banyak orang semakin tahu bahwa Islam adalah agama yang juga dipraktikkan oleh sebagian orang Kuba.[1]

Sementara itu, Imam Yahya, Presiden La Liga Islamica de Cuba, seorang pria yang berusia 60-an, mengatakan bahwa dia pertama kali belajar tentang Islam dari  pelajar Muslim Afrika Barat yang datang untuk belajar di Kuba setelah revolusi tahun 1959. Dia menjelaskan bagaimana para pelajar ini, yang kebanyakan belajar ilmu  kedokteran, dengan senang hati akan membagikan Alquran dan tulisan-tulisan tentangnya kepada orang-orang Kuba.

Imam Yahya muda yang pada waktu itu masih bernama Pedro Lazo Torres akhirnya memeluk Islam. Dengan akses yang sangat terbatas terhadap literatur dan sekolah Islam, dia sangat haus belajar ilmu-ilmu Islam, dan karena tidak ada yang mengajar, dia mempelajarinya sendiri.


Imam Yahya, Presiden La Liga Islamica de Cuba. Foto: CNN

Hal tersebut dibenarkan oleh Pendeta Joel Suarez, pendiri Martin Luther King Center dan Gereja Baptis Ebenezer yang berada di Havana, dia mengatakan bahwa sebenarnya agama selalu hidup di Kuba. Namun, karena pada tahun 1960-an pemerintah sedang gencar mempromosikan ateis, maka sebagian besar para penganut agama melaksanakan ajarannya secara diam-diam. Barulah pada tahun 1990-an para penganut agama dapat secara terbuka mempraktikkan ibadahnya.[2]

Gelombang penyebaran Islam lainnya dikatakan terjadi pada tahun 2005, waktu itu terjadi gempa bumi di Kashmir bagian Pakistan. Bencana itu menewaskan lebih dari 86.000 orang dan menyebabkan sekitar 2,5 juta orang kehilangan tempat tinggal.

Seminggu setelah bencana, Kuba mengirim lebih dari 2.000 dokter dan spesialis medis lainnya untuk membantu daerah yang terkena dampak gempa. Tahun berikutnya, Kuba menawarkan 1.000 beasiswa untuk anak muda dari seluruh Pakistan.

Salah satunya terjadi kepada Froilan Reyes, yang kini bernama Hassan Jan. Dia bercerita, “Saya dibesarkan dalam sistem Kuba,” katanya. “Saya bahkan belum pernah ke gereja.” Dulunya dia adalah orang yang senang pesta malam, karena selain bekerja sebagai teknisi audio di University of Medical Sciences di Santa Clara, dia juga memiliki perkejaan sebagai DJ di malam harinya.

Pada Ramadan tahun 2010, hampir 300 pelajar Pakistan ditempatkan di universitas tempat Hassan bekerja. Awalnya, Hassan menghindari mereka. “Orang-orang berbicara buruk tentang Muslim, menyebut mereka teroris, hal semacam itu,” katanya. Kemudian dia ditugaskan untuk membuat audio untuk kebutuhan ibadah mereka selama Ramadan. Dalam prosesnya, Hassan harus selalu bersama mereka mulai dari jam 2 siang sampai jam 2 pagi setiap hari.

“Awalnya saya sangat tidak nyaman,” ujar Hassan bercerita. “Saya marah kepada mereka karena saya takut. Mereka mengundang saya untuk berbuka puasa dengan mereka, tetapi saya menolak karena saya tidak mau makan bersama mereka,” dia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala mengingatnya.

“Saya ingat hari ketiga. Mereka semua salat dan saya berkata pada diri sendiri, ‘Apa yang sedang kulakukan di sini?’ Saya benar-benar tidak nyaman. Dan itu berlanjut sampai suatu hari saya setuju untuk makan bersama mereka dan mulai berbicara dengan mereka. Saya melihat mereka telah berkorban banyak untuk menjalankan iman mereka di Kuba,” katanya.

“Saya bertanya pada diri sendiri, ‘Nah, jika mereka begitu buruk, bagaimana bisa mereka begitu baik dengan saya?’ Maka saya mulai lebih banyak berbicara dengan mereka dan menyadari bahwa Islam adalah sesuatu yang berbeda dengan cara orang Kuba membicarakannya.”

Setelah Ramadan berakhir, dia melanjutkan pekerjaan regulernya, tetapi tetap terus bertemu dengan para pelajar Pakistan itu. Dia juga mulai mempelajari Alquran dan mendiskusikannya dengan mereka.

Tujuh bulan kemudian, dia masuk Islam dan mengubah namanya.

Hassan kini menjalankan usaha kecil printing di rumahnya. Foto: Sylvia Hines/Al Jazeera

“Allah menunjukkan kepadaku melalui cara mereka berperilaku bahwa Islam adalah sesuatu yang lain: Islam adalah damai, itu adalah kehendak Tuhan. Allah memberi saya kesempatan untuk memahami itu. Itu adalah hadiah bagi saya,” katanya dengan senyum lebar.

Keputusan Hassan untuk pindah agama pada awalnya menimbulkan masalah dengan keluarga besarnya.

Istri dan anak Hassan Jan yang juga masuk Islam dan kini mengenakan hijab. Foto: Carlo Bevilacqua/Parallelozero

“Keluarga saya pada awalnya menentangnya. Karena, seperti yang saya katakan, itu memiliki reputasi yang buruk. Itu semua orang tahu. Dan itu sulit. Masih ada orang-orang di keluarga saya yang tidak menerima bahwa saya telah menerima Islam.” Pada akhirnya, istri dan anak Hassan juga mengikuti jejaknya untuk masuk Islam.[3]

Sebuah informasi lain, mengatakan bahwa Islam telah dibawa ke Kuba pada saat kedatangan Christopher Colombus pada tahun 1492. Hal ini akan dibahas pada artikel selanjutnya. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Sylvia Hines, “The Muslims of Cuba”, dari laman https://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/09/muslims-cuba-160914095930726.html, diakses 7 Juni 2019.

[2] Ahmed Mitiche, “Visiting a Mosque Abroad: “Islam Has Always Been Part of Cuba’s History”, dari laman https://mvslim.com/visiting-a-mosque-abroad-islam-has-always-been-part-of-cubas-history/, diakses 7 Juni 2019.

[3] Sylvia Hines, Loc.Cit.

1 Comment

Leave a Reply to Tinn Cancel reply

Your email address will not be published.

*