Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (15): Temujin Khan

in Sejarah

Last updated on February 26th, 2019 02:13 pm


Meskipun pengikutnya sedikit, Temujin mengangkat dirinya menjadi khan bagi orang Mongol. Jamuka yang tidak setuju merebus 70 pengikut Temujin dalam kuali untuk memusnahkan jiwa mereka. Tujuh adalah angka sial bagi orang Mongol.

Pada tahun-tahun mendatang setelah perpisahan mereka, Jamuka dan Temujin masing-masing mengumpulkan sejumlah keluarga dan klan Mongol yang tercecer di berbagai tempat untuk menjadi pengikut mereka. Namun aliansi yang mereka bangun umumnya hanya bersifat temporal karena loyalitas mereka seringkali berubah-ubah tergantung kebutuhan pragmatis.

Tidak seperti suku Kereyid, Tatar, dan Naiman yang berhasil mengikat semua garis kekerabatan orang-orangnya untuk berkumpul dalam satu suku, baik Temujin maupun Jamuka belum berhasil mempersatukan orang-orang Mongol dalam satu ikatan kesukuan yang kuat. Menurut sejarah lisan bangsa Mongol, orang-orang Mongol pernah bersatu di bawah satu khan, tetapi dalam beberapa generasi terakhir, tidak ada satu pun yang mampu untuk menyatukan mereka kembali.

Pada musim panas tahun 1189, atau Tahun Ayam, tepatnya delapan tahun setelah berpisah dari Jamuka, Temujin yang berusia 27 tahun memutuskan untuk mengambil peran sebagai khan bagi orang-orang Mongol. Dengan mengambil gelar tersebut, dia berharap akan dapat menarik lebih banyak pengikut Jamuka dan membuat klaim tersebut memang benar-benar terwujud, yakni sebagai khan suku Mongol. Jikapun klaim tersebut tidak diakui, paling tidak, Temujin berharap itu dapat memicu pecahnya pertarungan puncak di antara dia dan Jamuka sehingga menghasilkan keputusan akhir yang final.

Temujin memanggil para pengikutnya ke padang rumput di samping Danau Biru di kaki Gunung Berbentuk Hati. Di sana mereka menyelenggarakan rapat dewan tradisional yang disebut dengan Khuriltai. Hadir di sana berbagai perwakilan dari keluarga, garis keturunan, atau klan. Siapapun yang hadir di sana, maka secara tidak langsung itu sudah dianggap sebagai sebuah pernyataan bahwa mereka mendukung Temujin untuk menjadi khan. Sementara itu, bagi siapapun yang tidak hadir, maka mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak menyetujuinya.

Pada kesempatan seperti itu, daftar peserta biasanya akan dibuat dan dihafalkan untuk dijadikan semacam catatan siapa saja yang telah memilih. Rumus kemenangan seseorang untuk menjadi seorang khan sangat sederhana, lihat siapa saja yang hadir. Tetapi dalam pertemuan kali ini Temujin tidak terlalu menganggap penting jumlah orang yang hadir, mungkin karena sedikit. Sejumlah besar garis keturunan Mongol, bahkan mungkin mayoritas, kenyataannya masih mendukung Jamuka.

Basis kekuatan massa Temujin, yang sekarang terdiri dari keluarganya, beberapa teman-teman yang setia, dan beberapa keluarga yang tersebar, masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan suku-suku padang rumput lainnya. Untuk saat ini, Temujin masih mendedikasikan dirinya sebagai pengikut Ong Khan, khan suku Kristen Kereyid. Untuk menunjukkan bahwa pengangkatan dirinya sebagai khan bagi orang Mongol bukan dimaksudkan untuk menentang Ong Khan, dia mengirimkan utusan untuk meminta restunya dan menegaskan bahwa dia masih setia.

Utusan Temujin menjelaskan dengan hati-hati bahwa semua yang dia lakukan adalah untuk menyatukan klan-klan Mongol yang tersebar di bawah kepemimpinan Ong Khan dan sukunya Kereyid. Ong Khan setuju dan tampaknya tidak terlalu khawatir tentang ide penyatuan bangsa Mongol selama mereka tetap setia. Di balik persetujuannya, Ong Khan memang memiliki skenario bahwa orang-orang Mongol yang berada di bawah kepemimpinannya mesti terpecah. Dengan mendorong ambisi kedua pemuda itu, Temujin dan Jamuka, Ong Khan mempermainkan keduanya agar tidak bersatu dan mereka tetap dapat berada di bawah kendalinya.

Setelah menerima dukungan yang dianggapnya cukup untuk dijadikan legalitas dirinya untuk menjadi khan kelompok kecil,  Temujin memulai proses radikal untuk membangun struktur kekuasaan baru di sukunya berdasarkan pengalaman-pengalaman di masa mudanya. Dia mendirikan kompleks perkemahan pemimpin sebagai pusat pemerintahan yang disebut dengan Ordu atau Horde. Pada sebagian besar suku padang rumput, para aristokrat dan pengelola Horde yang bertugas untuk melayani kepentingan sukunya, biasanya hanya terdiri dari kerabat-kerabat khan.  

Namun tidak dengan Temujin, dia justru memberikan berbagai tugas tersebut kepada orang-orang kepercayaannya sesuai dengan kemampuan dan loyalitasnya, bukan berdasarkan hubungan kekerabatan atau silsilahnya. Sebagai contoh, dia memberikan posisi tertinggi untuk menjadi asisten pribadinya kepada dua pengikut pertamanya, Boorchu dan Jelme, yang telah menunjukkan kesetiaan yang tidak diragukan selama lebih dari satu dekade kepadanya.

Tugas penting lainnya yang diserahkan kepada orang-orang kepercayaan adalah sebagai tukang masak, sebuah pekerjaan yang sebagian besarnya terdiri dari kegiatan menyembelih hewan, memotong daging, dan memindahkan kuali besar untuk merebusnya. Temujin menganggap bahwa perkerjaan-pekerjaan semacam itu adalah garis pertahanan pertamanya, mengingat ayahnya dulu dibunuh dengan cara diracun. Pengikut lainnya ditugaskannya untuk menjadi pemanah, dan beberapa lainnya menerima tanggung jawab untuk mengurus hewan ternak, yang seringkali harus diambil dari tempat yang jauh dari perkemahan utama.

Untuk tugas pertahanan perkemahan, dia menunjuk adik lelakinya yang besar dan kuat, Khasar, yang dikenal sebagai prajurit yang tangguh. Untuk pengelolaan kuda-kuda jantan yang telah dikebiri, dia menunjuk adik tirinya, Belgutei, untuk menjadi penanggung jawab. Kuda-kuda tersebut harus selalu ditempatkan dekat dengan perkemahan utama agar selalu siap untuk digunakan kapan pun. Temujin juga mendirikan korps pengawal elit yang terdiri dari 150 prajurit pilihan: 70 untuk siang hari dan 80 untuk malam hari. Mereka dipastikan harus menjaga perkemahan utama setiap saat. Di bawah Temujin, cara-cara administrasi yang baru ini menjadi perpanjangan dari konsep suku Mongol yang sedang dibangun olehnya.

Meskipun Temujin dalam tahap tertentu berhasil mendapat pengakuan sebagai seorang khan, Jamuka masih menjadi pemimpin di kelompoknya sendiri. Dengan tegas dia menolak mengakui Temujin sebagai khan bagi seluruh orang Mongol. Bagi Jamuka dan para aristokrat keturunan bertulang putih, Temujin tidak lebih dari seorang pemula kurang ajar yang diidolakan orang-orang bertulang hitam dan perlu diberi pelajaran agar dia sadar akan posisinya sebagai keturunan campuran.

Pada tahun 1190, hanya satu tahun setelah pemilihan Temujin, salah satu pengikut Temujin melakukan pembunuhan terhadap salah satu kerabat Jamuka. Jamuka kemudian menjadikan peristiwa tersebut sebagai alasan untuk menyerang dan menjarah kelompok Temujin. Jamuka kemudian memanggil semua pengikutnya untuk berperang, begitu pula dengan Temujin. Jumlah pasukan di masing-masing pihak diperkirakan tidak lebih dari ratusan. Pada pertempuran ini Jamuka berhasil mengusir pengikut Temujin untuk melintasi padang rumput.

Untuk mencegah mereka berkumpul kembali, Jamuka kemudian melakukan salah satu pertunjukan balas dendam paling kejam yang pernah dicatat dalam sejarah masyarakat padang rumput. Pertama, dia memenggal kepala salah satu pemimpin yang ditangkap dan mengikatnya ke ekor kudanya. Tumpahan darah[1] dan kepala yang digantung di ekor bagian dalam, bagian tubuh yang dianggap paling suci, menodai jiwa orang yang telah mati, dan mengikatnya ke bagian paling tidak senonoh dari kuda itu telah mempermalukan seluruh keluarganya.

Photo ilustrasi: Ibán/Flickr

Dilaporkan, Jamuka kemudian merebus tujuh puluh tawanan laki-laki muda secara hidup-hidup dalam kuali, suatu bentuk kematian yang akan menghancurkan jiwa mereka dan dengan demikian memusnahkan mereka. Tujuh merupakan simbol angka sial bagi bangsa Mongol, kisah tujuh puluh kuali ini mungkin merupakan bumbu sebuah kisah untuk menimbulkan efek dramatis, tetapi dokumen Sejarah Rahasia Bangsa Mongol memperjelas bahwa apa pun yang dia lakukan, setelah kemenangannya ini, Jamuka telah membuat orang-orang ngeri kepadanya dan ini sangat merugikan citranya.

Penampilan kekejaman yang tidak beralasan oleh Jamuka ini lebih jauh menekankan tentang perpecahan antara garis keturunan murni (tulang putih) dan campuran (tulang hitam) yang seringkali direndahkan. Episode ini menghasilkan titik balik yang menentukan bagi Temujin, yang kalah dalam pertempuran tetapi malah mendapatkan dukungan publik dan simpati di antara orang-orang Mongol, yang semakin takut akan kekejaman Jamuka. Prajurit Temujin telah dikalahkan, tetapi mereka perlahan-lahan akan berkumpul kembali di bawah kepemimpinan khan muda mereka, Temujin Khan.[2] (PH)

Bersambung ke:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (16): Menyerang Tatar

Sebelumnya:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (14): Berpisah dengan Jamuka

Catatan Kaki:


[1] Menumpahkan darah adalah larangan dalam keyakinan bangsa Mongol, penjelasan selengkapnya pernah diulas dalam artikel sebelumnya: “Bangsa Mongol dan Dunia Islam (7): Pembunuhan Begter”, dalam laman https://ganaislamika.com/bangsa-mongol-dan-dunia-islam-7-pembunuhan-begter/.

[2] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 2.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*