Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (19): Peleburan Mongol-Tatar

in Sejarah

Last updated on March 2nd, 2019 03:06 pm


Temujin mengalahkan Tatar kembali, jumlah mereka ribuan. Semua laki-laki dewasa tanpa terkecuali dibunuh, sisanya diampuni. Untuk menyatukan suku, Temujin mendorong perkawinan campuran, dia sendiri menikahi putri Tatar, Yesugen dan Yesui.

Ilustrasi Temujin Khan dengan dua putri Tatar. Photo: Belle Blanch/Quora

Pada tahun 1202, atau Tahun Anjing, masih pada tahun yang sama setelah Temujin mengalahkan klan Tayichiud, Ong Khan memerintahkan Temujin dalam operasi penyerangan lainnya. Dia memerintahkan untuk menyerang suku Tatar lainnya yang berada di timur, sementara itu dia sendiri, karena usianya sudah menua, melakukan penyerangan lain yang jaraknya tidak terlalu jauh dari perkemahannya, yakni menyerang suku Merkid.

Dalam kampanye melawan Tatar ini, Temujin akan melembagakan satu lagi perubahan radikal terhadap tradisi lama masyarakat padang rumput. Perubahan-perubahan ini tidak membuat semua pengikutnya senang, terutama bagi kalangan keturunan aristokrat bangsawan, tetapi sebaliknya, orang-orang dari garis keturunan kelas bawah justru kesetiaannya terhadap Temujin menjadi semakin besar. Orang-orang kelas bawah tersebut merasa diperlakukan dengan lebih baik dengan meningkatnya kesejahteraan mereka dan dengan adanya perubahan sistem distribusi barang jarahan yang lebih adil.

Saat melakukan penyerangan demi penyerangan, Temujin menyadari bahwa ketika para prajuritnya tergesa-gesa untuk menjarah barang-barang kelompok yang kalah, itu malah menjadi penghalang untuk memperoleh kemenangan yang lebih lengkap. Karena alih-alih mengejar para prajurit lawan yang melarikan diri, para penyerang biasanya malah tergesa-gesa dan saling berebut barang jarahan. Cara perang seperti ini memungkinkan lebih banyak prajurit yang kalah untuk dapat melarikan diri dan pada akhirnya suatu waktu mereka akan kembali untuk melakukan serangan pembalasan.

Maka pada serangan kali ini, penaklukannya yang kedua terhadap suku Tatar, Temujin memutuskan untuk memerintahkan agar semua aktivitas penjarahan ditunda sampai mereka memperoleh kemenangan total atas pasukan Tatar. Penjarahan kemudian dapat dilakukan dengan cara yang lebih terorganisir, dengan semua barang dibawa di bawah kendali pusat dan kemudian didistribusikan kembali di antara para pengikutnya sesuai keinginannya. Dia mendistribusikan barang-barang secara merata kepada garis keturunan manapun, yang mana sebelumnya secara tradisional orang-orang dari garis keturunan kelas bawah hanya memperoleh sisa-sisa.

Inovasi lain yang dilakukan oleh Temujin adalah dia memerintahkan agar barang-barang juga dibagikan kepada keluarga prajuritnya yang tewas dalam perang, yakni kepada setiap janda dan anak yatim. Tidak diketahui secara pasti apa alasan Temujin, apakah dia teringat akan masa-masa sulit keluarganya sendiri ketika ayahnya meninggal karena dibunuh orang Tatar, atau untuk tujuan lain yang lebih politis, namun apapun itu, kebijakannya memiliki efek yang mendalam. Kebijakan ini tidak hanya memastikan dia mendapat dukungan dari orang-orang termiskin di kelompoknya, tetapi juga menginspirasi kesetiaan di antara prajuritnya, yang tahu bahwa bahkan jika mereka mati, Temujin akan menjaga dan mengurus keluarga mereka yang masih hidup.

Setelah mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru tersebut, beberapa pengikut Temujin mengabaikan perintahnya dan mereka melakukan penjarahan dengan cara lama, yakni mengambil untuk dirinya sendiri. Temujin kemudian menunjukkan betapa seriusnya dia terhadap reformasi ini, dia menjatuhkan hukuman yang keras tetapi tepat. Dia menyita seluruh barang para pelaku dan mengambil kembali semua barang yang baru mereka jarah. Dengan mengendalikan distribusi semua barang jarahan, Temujin sekali lagi telah melanggar hak tradisional garis keturunan aristokrat bangsawan yang menjadi pengikutnya.

Perubahan radikal ini membuat banyak di antara pengikutnya yang marah, dan beberapa lebih memilih untuk meninggalkannya dan bergabung dengan Jamuka. Pada titik ini benturan kepentingan secara keseluruhan di antara orang-orang Mongol garis keturunan bangsawan dan kelas rendah menjadi semakin tajam. Sekali lagi, Temujin telah menunjukkan bahwa alih-alih mengandalkan ikatan kekerabatan dan tradisi lama, para pengikutnya sekarang dapat merapat ke Temujin secara langsung tanpa embel-embel yang menjadi penghambat. Dengan langkah ini, dia dapat memusatkan garis kekuasaan kepada dirinya dengan sangat efekitf dan pada saat yang bersamaan memperkuat komitmen para pengikutnya.

Meskipun terdapat beberapa ketidakpuasaan dari sebagian kecil pengikutnya, namun kebijakan baru Temujin terbukti sangat efektif. Dengan menunda penjarahan sampai akhir perang, pasukan Temujin dapat mengumpulkan lebih banyak barang dan hewan daripada sebelum-sebelumnya. Tetapi sistem ini juga ternyata menimbulkan masalah baru, suku Mongol bukan hanya sekedar mengalahkan Tatar, mereka juga telah menangkap hampir seluruh pasukan dan warga sipilnya. Lalu orang-orang ini hendak diapakan?

Dalam sistem tradisional masyarakat padang rumput, siapapun yang berada di luar jaringan kekerabatan adalah musuh dan akan selalu menjadi musuh, kecuali jika dia dengan cara-cara tertentu dibawa masuk ke dalam keluarga melalui ikatan adopsi atau perkawinan. Temujin berusaha mengakhiri pertikaian konstan antara kelompok-kelompok seperti itu, dan dia ingin berurusan dengan suku Tatar dengan cara yang sama seperti ketika dia menangani klan Jurkin dan Tayichiud — membunuh para pemimpin dan menyerap orang-orang sisanya dan semua barang serta hewan mereka ke dalam kelompoknya.

Meskipun kebijakan seperti itu berhasil diterapkan kepada klan yang jumlah anggotanya ratusan, tetapi orang-orang suku Tatar jumlahnya ribuan. Untuk transformasi sosial sebesar itu, dia membutuhkan dukungan penuh dari para pengikutnya, dan untuk mewujudkannya Temujin menyelenggarakan khuriltai (semacam rapat parlemen yang diwakili oleh orang-orang dari klan, keluarga, dan garis keturunan).

Para anggota khuriltai menyetujui rencana itu, dan mereka memutuskan untuk membunuh laki-laki Tatar yang tingginya melebihi pasak roda sebuah gerobak. Bukan hanya untuk menentukan sudah dewasa atau tidaknya seseorang, namun para laki-laki merupakan sebuah simbol dari suatu suku bangsa dan mereka harus dihancurkan. Setelah mereka semua dibunuh, orang-orang Tatar yang masih hidup diterima sepenuhnya sebagai anggota sukunya, bukan sebagai budak. Untuk menekankan hal ini, dia bukan hanya mengadopsi anak Tatar lain untuk ibunya, tetapi juga mendorong perkawinan campuran.[1]

Hingga saat ini Temujin hanya memiliki satu istri resmi, Borte, yang telah melahirkan empat anak laki-laki dan sejumlah anak perempuan yang jumlah pastinya tidak diketahui. Sebagai percontohan, Temujin kemudian menikahi putri Tatar yang bernama Yesugen, dia adalah anak dari penguasa Tatar yang telah Temujin bunuh, Yeke Ceren. Setelah dinikahi, Yesugen bercerita tentang kakak perempuannya yang saat itu masih belum ditemukan di tengah kekacauan setelah peperangan, dia berkata kepada Temujin, “Jika pernikahan ini membuat bahagia khan, dia akan menjagaku, menganggapku sebagai manusia dan orang yang pantas dijaga. Tetapi kakak perempuanku, yang bernama Yesui, lebih baik dari diriku: dia sungguh cocok untuk seorang penguasa.” Temujin pada akhirnya dapat menemukan putri Yesui, dan dia menikahinya juga.[2]

Suku Tatar memiliki reputasi yang jauh lebih besar daripada bangsa Mongol, dan setelah pertempuran ini, bangsa Mongol menyerap begitu banyak orang-orang Tatar, bahkan nantinya banyak di antara mereka yang dapat naik ke jabatan tinggi dan menonjol di Kekaisaran Mongol, sehingga nama Tatar menjadi identik dengan Mongol, dan dalam banyak kasus Tatar dapat lebih dikenal ketimbang Mongol, yang menyebabkan banyak kebingungan sejarah selama berabad-abad.[3] (PH)

Bersambung ke:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (20): Sang Pemersatu

Sebelumnya:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (18): Menyerang Klan Tayichiud

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 2.

[2] Igor de Rachewiltz, The Secret History of the Mongols: A Mongolian Epic Chronicle of the Thirteenth Century (Western Washington University, 2015), hlm 73.

[3] Jack Weatherford, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*