Mozaik Peradaban Islam

Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo (1)

in Tokoh

Last updated on March 25th, 2019 06:48 am


Awalnya Islam dianggap sebagai mitos, lalu sebagai ideologi, dan terakhir sebagai ilmu.

Kuntowijoyo, penulis buku tentang sejarah, keislaman, Indonesia, dan sastra.

Oleh Zainal Abidin Bagir[1]

Secara garis besar, ada dua gagasan utama Kunto yang dibahas di sini: pengilmuan Islam dan integrasi ilmu dengan etika. Meskipun di tulisan-tulisan awalnya (80-an dan awal 90-an) dia tampak bersimpati pada gerakan islamisasi ilmu, belakangan ia membedakan gagasannya tentang pengilmuan Islam dari gerakan tersebut, bahkan mengatakan bahwa “gerakan islamisasi ilmu mesti ditinggalkan”. Kuntowijoyo meyakini objektifitas ilmu, namun menolak klaim bebas-nilainya, dalam artian netralitas/ketakberpihakan. Di satu sisi, Islam mesti dijadikan ilmu (diobjektifikasi); di sisi lain, ilmu-ilmu (khususnya sosial) mesti menyatakan keberpihakan yang jelas, yaitu kepada cita-cita profetik universal agama-agama: humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Almarhum Kuntowijoyo pernah membawakan kisah yang dikutipnya dari Bakdi Sumanto. Alkisah, Pak Fulan bin al-Jawi, seorang pensiunan, duduk di kursi goyang sambil memutar tasbihnya. Dia gelisah, “Apa yang kurang ya?” Pajak … sudah, zakat … sudah, premi asuransi sudah, Takaful sudah…. Tiba-tiba dia teringat: Tuhan menyuruhnya masuk Islam secara total. Padahal, mobil Kijangnya yang baru belum masuk Islam. Dia pun mengambil gergaji dan jongkok di samping mobilnya. Ketika ditanya istrinya, dia menjawab, “Ternyata mobil kita belum masuk Islam. Maka saya sedang menyunat, memotong ujung knalpotnya.”[2]

Tak sembarangan kiranya jika Kunto mengambil kisah ini untuk menggemakan peringatannya. Kisah ini adalah satu sisi krusial dari beberapa persoalan besar yang ingin dipecahkannya. Sebagai seorang Muslim pemikir, Kunto ingin menemukan bagaimana janji Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dapat dijadikan kenyataan. Haruskah untuk itu Islam dijadikan ideologi? Atau paradigma keilmuan? Haruskah hermeneutika diterapkan untuk memahami pesan Alquran? Atau strukturalisme?

Kisah pembuka tulisan ini memang amat sinis, tapi juga merupakan ilustrasi yang amat kuat tentang bagaimana menjadikan Islam sebagai rahmat alam semesta dapat dipahami sebagai gerakan “islamisasi semua bidang kehidupan demi menjalankan Islam kaaffah” dalam wujudnya yang naif. Sebagai seorang ilmuwan, Kuntowijoyo menggali pandangan-pandangan alternatif yang berputar di sekitar beberapa konsep kunci: objektifikasi, pengilmuan Islam (atau Islam sebagai ilmu), dan cita-cita profetik.[3]

Secara harfiah, frasa “pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dari sini saja bisa muncul banyak pertanyaan. Pertama, perlu diperhatikan bahwa ia tak hanya berbicara mengenai Islam sebagai sumber ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu, misalnya. Tapi Islam itu sendiri yang merupakan ilmu. Dengan “pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta—bukan hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah mewujudkannya; pengilmuan Islam adalah caranya. Secara lebih spesifik, Islam di-ilmu-kan dengan cara mengobjektifkannya.

Objektifikasi Islam: Dari Mitos dan Ideologi Menjadi Ilmu

Satu cara untuk memahami gerak “pengilmuan Islam” adalah dengan memperhatikan periodisasi sistem pengetahuan Muslim yang dibuat Kunto (ISI, 80-81). Periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu. Keputusan baik yang diambil di suatu periode belum tentu akan bermanfaat di periode yang lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai mitos, lalu sebagai ideologi, dan terakhir sebagai ilmu. Pembahasan lebih dalam mengenai ini ada di cukup banyak tulisan Kunto yang tersebar sejak tulisan-tulisan awalnya mengenai analisis sosisal politik umat Islam Indonesia. Untuk keperluan makalah ini, cukuplah dikemukakan beberapa unsur terpentingnya saja.

Periodisasi ini sesungguhnya awalnya dibuat untuk membagi sejarah politik umat Islam (khususnya di Indonesia). Namun karena pembagian ini dibuat berdasarkan sistem pengetahuan masyarakat, ia berguna pula untuk memahami gerakan pengilmuan Islam yang diusulkan untuk periode terakhir umat Islam ini. Pada periode pertama, Islam dipahami lebih sebagai mitos; sebagai sesuatu yang sudah selesai dan tinggal perlu dipertahankan, dijaga kemurniannya dari campuran-campuran non-islami, dan jika perlu dipertahankan dari serangan pihak luar. Karenanya Kunto menyebut bahwa tradisi ini biasanya bersifat deklaratif atau apologetis (MTM, 102-103).[4] Sebuah indikasi menarik yang diajukan Kunto adalah mengenai maraknya buku-buku jenis itu yang diterbitkan Bina Ilmu atau Gema Insani Press.

Islam sebagai ideologi sudah bersifat lebih rasional, tapi masih terlalu apriori/nonlogis. Di sini Islam ditampilkan sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan komunisme. Dalam bidang politik, ciri utama gerakan ini adalah berdirinya organisasi-organisasi politik, dan ditandai dengan gagasan pembentukan Negara Islam. Islam eksis hanya jika ia eksis secara institusional-formal. Karena itu, ketika di Indonesia semua ormas diharuskan berasas Pancasila, ini dipahami sebagai upaya de-islamisasi. Padahal, kata Kunto, ini juga bisa dilihat sebagai isyarat bahwa Islam perlu memasuki babak baru, yaitu periode Islam sebagai ilmu.

Dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektifikasi Islam, yang akan di bahas di bawah. Untuk mengambil contoh aktifitas dalam periode ini di bidang politik, Kunto memahami benar bahwa bagi para founding fathers Indonesia yang Muslim, menghapuskan tujuh kata dari Piagam Jakarta amat berat dilakukan, namun toh akhirnya dilakukan juga. Keputusan yang sama beratnya mesti diambil ketika pada masa Orde Baru terjadi marjinalisasi keterlibatan politik Muslim. Namun, kata Kunto, “Sekali lagi diminta kesadaran bahwa umat menjadi bagian dari bangsa yang plural.” (ISI, 50). “Orang mengira bahwa Islam hanya bisa diterjemahkan ke dalam satu jenis saja, yaitu ideologi. … (Padahal) Islam hanya memasuki babak baru dalam politik… yaitu periode ilmu.” (ISI, 82). Gagasan objektifikasi Islam diharapkan “dapat membebaskan umat dari prasangka politik pihak-pihak birokrasi, umat sendiri, dan non-umat.” (ISI, 83).

Secara kurang tepat namun mungkin cukup instruktif, bisa dikatakan bahwa dengan melakukan objektifikasi, “baju Islam” (“Islam sebagai baju”) ditanggalkan, dan Islam secara substansial tampil secara universal. Nilai-nilai Islami menjadi sesuatu yang bisa diterima orang, Muslim ataupun non-Muslim, karena kebaikan nilai-nilai itu sendiri, bukan karena nilai-nilai itu disebut “Islami”.[5] Dengan cara ini, Islam menjadi rahmat untuk alam semesta.

Namun ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar ia benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya memenuhi keinginan eksklusif sebagian kaum beragama tertentu untuk menegaskan identitasnya. Persis itulah yang menjadi salah satu tujuan objektifikasi, yaitu untuk menghindari dominasi satu kelompok agama atas kelompok-kelompok lainnya (ISI, 65). Dengan ini, Muslim masih dapat tetap menjadikan Alquran sebagai sumber hukum. Namun, “Objektivikasi Islam akan menjadikan Alquran terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga negara.” (ISI, 66). Muslim tak dapat serta merta menerapkan syariah menjadi hukum negara, misalnya, tapi itu hanya dapat dilakukan jika ada kesepakatan dari semua, termasuk non-Muslim. Ini hanya bisa dicapai jika nilai-nilai Islam itu telah diobjektifikasi sehingga tampil sebagai nilai-nilai yang dapat diterima semua orang lepas dari latar belakang/sumber nilai-nilai itu.

Sesungguhnya, Kunto juga menyarankan bahwa semua agama melakukan hal yang sama, objektifikasi (ISI, 67). Jika demikian, ini akan menjamin bahwa konflik dapat dihindari. Islam—dan sesungguhnya semua agama—bukan lagi berwujud identitas atau simbol yang diterjemahkan dalam label-label institusional yang menarik garis antara kelompokku dan kelompokmu, tapi justru ditransformasikan menjadi sumber pemecahan masalah bersama secara objektif. Kalaupun, misalnya, partai Islam atau partai Kristen ingin didirikan, perjuangannya tak lagi bersifat partisan. Nilai-nilai agama tertentu bisa diusung dalam agenda perjuangannya, tapi sebagai nilai-nilai yang kebaikannya bersifat objektif, bisa dipahami semua orang.

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1] Zainal Abidin Bagir, Ph.D, adalah Direktur Program Pasca Sarjana Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gajah Mada. Tulisan ini pernah disampaikan dalam diksusi tentang pemikiran Kuntowijoyo yang diadakan Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM, 26 Mei 2005, di UGM. Atas izin penulis, Redaksi Gana Islamika diperkenankan untuk menerbitkannya.

[2] Diungkapkan Kuntowijoyo dalam makalahnya untuk Seminar dan Lokarya IAIN Sunan Kalijaga, 18-19 September, 2002.

[3] Bahan terpenting untuk makalah ini adalah salah satu buku terakhirnya, Islam Sebagai Ilmu (Teraju, Juni 2004; selanjutnya disingkat ISI). Buku ini sebetulnya merupakan kumpulan tulisan dari bab-bab atau makalah-makalah yang sudah pernah diterbitkan di tempat lain. Meski demikian, ini sama sekali tak mengurangi nilainya. Benih-benih gagasan ini telah ada sejak tulisan-tulisan paling awalnya, dan tersebar di banyak tempat. Dengan menyatukannya dalam satu buku, gagasan ini mampu tampil dengan lebih utuh. Alasan lain penerbitan buku ini, seperti diakui penulisnya sendiri, adalah karena gagasan pengilmuan Islam yang digagasnya telah cukup sering dikacaukan dengan islamisasi ilmu yang memang cukup populer, tak hanya di Indonesia tapi di dunia Muslim umumnya, sejak sekitar dasawarsa 70-an.

[4] MTM: Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, Februari 2001.

[5] Kuntowijoyo membandingkan ini dengan gagasan Nurcholish Madjid, “Islam Yes, Partai Islam No”; substansinya mirip, tapi argumennya berbeda (ISI, 73).

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*