“Ajaran tasawwuf yang dibawa Rabi’ah itu dikenal dengan istilah al-Mahabbah. Paham ini merupakan kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hassan al-Basri, yaitu takut dan pengharapan dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan.“[1]
—Ο—
Kata Mahabbah itu sendiri berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.[2] Konsep Rabi’ah mengenai Mahabbah diketahui dari jawabannya ketika ia ditanya “apakau kau cinta kepada Tuhan yang Maha Kuasa? Ya, apakah kau benci kepada syaitan? Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada syaitan”. Lalu Rabi’ah melanjutkan “saya melihat Nabi dalam mimpi, Dia berkata : oh Rabi’ah cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab: oh Rasulullah, siapa yang menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cinta atau membenci kepada makhluk lain”. [3]
Bagi Rabi’ah cinta kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam segala aktivitasnya, bukan lagi karena takut siksa neraka atau nikmat surga, hal ini terungkap dalam syair-syairnya. Tiada lain semuanya karena berlandaskan cinta dan yang dicintai. Karena kecintaan itulah menyebabkan ia senantiasa rindu dan pasrah kepada Allah. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah berhasrat untuk menikah dan meminta uluran tangan sesamanya. Di dalam jiwanya tidak ada ruang kosong yang tersisa untuk diisi dengan rasa cinta kepada makhluk maupun benci terhadapnya.[4]
Untuk mencapai tingkatan yang tinggi, sampai pada tingkat Mahabbah dan makrifat, Rabi’ah menempuh berbagai jalan atau tahap-tahap sebagaimana para sufi lainnya. Martabat yang telah dicapainya, tidak hanya dengan meniru atau mengumpulkan ilmu saja, akan tetapi dengan penggemblengan dan watak.[5] Beragamnya cara seorang calon sufi untuk menuju Tuhan dan kurangnya sumber-sumber otentik mengenai riwayat Rabi’ah – ditambah Rabi’ah yang tidak menulis sendiri perihal dirinya, menyebabkan banyak penulis yang menyetujui apa yang ditulis para peneliti dan ahli sejarah yang membuat kisah tentang dirinya, dan simbol yang mengatakan ia lemah.[6]
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam Mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut. Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan.
Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima, hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih, Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang aku akan lakukan. Selama Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu, telah memenuhi hatiku”.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga dia ridha kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridha kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya.
Harapan yang lebih jauh dari cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam syairnya Rabi’ah mengatakan “aku mencintai-Mu dengan dua macam cinta, cinta rindu dan cinta karena Engkau layak dicinta, dengan cinta rindu, kusibukkan diriku dengan mengingat-ngingat-Mu selalu, dan bukan selainmu. Sedangkan cinta karena Engkau layak dicinta, di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu, agar aku dapat memandangmu. Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu, segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu”.
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari syair di atas mengatakan, dalam cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah membebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap dan ia berada di tempat yang mulia.
Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat).[7] (SI)
Selesai.
Sebelumnya:
Rabi’ah Al-Adawiyah Ibu para Sufi (4) : Kembali Kepada Cinta Sejatinya, Tuhan
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984, hal 79
[2] Lihat, Mahmuf Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, hal 96
[3] Lihat, Reynold Alleyre Nicholson, The Idea of Persolatity, Idara-I Adabiyah, Delli, 1976, hal 62-63
[4] Lihat, tesis, Abdul Halim, Cinta Illahi, Studi Perbandingan antara Al-Ghazali dan Rabi’ah al-Adawiyah, Kerjasama Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah dengan Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hal 72
[5] Lihat, Sururin, Rabiah Al-Adawiyah Hub Al-Illahi Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 47
[6] Lihat, Widdad El-Sakkaini, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, ter. Nabhil Fethi Safwat dan Zoya Herawati, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hal 121
[7] Lihat, Margareth Smith, Mistime Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Perkembangannya, terj. Amroeni Drajat, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hal 277