Al-Jahiz (5): Tokoh Besar Mu’tazilah

in Tokoh

Sebagai seorang pemikir Mu’tazilah, al-Jahiz memang menentang gagasan tentang takdir dan sepenuhnya mendukung gagasan bahwa Alquran adalah makhluk, tetapi dalam hal gagasan bahwa Alquran tak dapat ditiru, dia tidak setuju dengan gurunya al-Nazzam.

Perangko Qatar dengan ilustrasi wajah al-Jahiz, diterbitkan tahun 1971. Foto: Amazon.com

Sebagaimana semua tokoh-tokoh intelektual lain pada zamannya, al-Jahiz juga terlibat dalam diskusi tentang agama—terutama Islam, yang masih berkembang dalam beberapa hal signifikan selama abad ke-8 dan ke-9.

Seperti Khalifah al-Mamun, yang menjadi deking al-Jahiz dari kerajaan, al-Jahiz juga adalah pendukung mazhab teologi Islam Mu’tazilah. Mazhab ini berasal dari kampung halaman al-Jahiz di Basrah, yang mana pada masa kini bisa dikatakan sudah tidak ada lagi pengikutnya.[1]

Keterlibatan al-Jahiz dalam lingkungan Mu’tazilah berawal dari ketertarikan al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah. Sebagai seorang pemuda yang cerdas dan kritis, sosok al-Jahiz menjadi perhatian bagi para cendekia Mu’tazilah. Mereka kemudian merekrutnya, dan di bawah bimbingan al-Nazzam, al-Jahiz tumbuh dan berkembang menjadi tokoh yang cemerlang.

Al-Jahiz bukan hanya mahir bersilat lidah dengan kelompok lainnya ketika membahas berbagai persoalan teologi, akan tetapi dia juga mampu menunjukkan argumen-argumen mazhab ini secara logis.

Bersama Washil bin Atha dan al-Nazzam, dua tokoh besar Mu’tazilah, berkat kecemerlangan dan ketokohannya al-Jahiz kemudian juga muncul menjadi salah seorang tokoh terpenting dalam sejarah Mu’tazilah, terutama di kalangan masyarakat Basrah.[2]

Para pengikut Mu’tazilah menganjurkan pendekatan filosofis rasionalis terhadap agama, yang mana menurut mereka, dalam masalah teologi manusia seharusnya lebih banyak bersandar kepada akalnya.

Kaum Mu’tazilah juga meyakini bahwa Alquran adalah makhluk (yaitu yang diciptakan)— yang berlawanan dengan sifat keabadian. Mereka berargumen, jika Alquran adalah kalam Allah, maka secara logis keberadaan Allah pasti mendahului firman-Nya.

Pendapat Mu’tazilah ini berlawanan dengan pendapat yang menyatakan bahwa Alquran adalah bukan makhluk, ia adalah firman Allah yang juga abadi. Dari waktu ke waktu pendapat ini lebih berhasil diterima oleh masyarakat dan menjadi bagian dari ortodoksi Islam modern.[3]

Sebagai seorang pemikir Mu’tazilah, al-Jahiz memang menentang gagasan tentang takdir dan sepenuhnya mendukung gagasan bahwa Alquran adalah makhluk, tetapi dalam hal gagasan bahwa Alquran tak dapat ditiru, dia tidak setuju dengan gurunya al-Nazzam.

Pimpinan hakim pada waktu itu, Ahmad al-Ayadi, sempat menegur al-Jahiz dengan mengatakan, “Engkau belum menulis tentang pernyataan bahwa Alquran adalah makhluk.”

Dia menjawabnya dengan mengatakan, “Aku telah menulis surat kepadamu, berusaha sekuat tenaga untuk menyatakan bahwa  Alquran adalah makhluk.”

Untuk menjelaskan dan membenarkan keyakinannya bahwa Alquran adalah makhluk dan (secara literal) bukan kata-kata yang diucapkan Allah, dia menafsirkan beberapa ayat Alquran untuk mendukung sudut pandang Mutazilah. Inilah ayat-ayat yang dimaksud:

“Niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Luqman [31]: 27)

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS Al-Kahf [18]: 109)

Menurut penafsiran al-Jahiz, kata “kalimat Allah” dan “kalimat-kalimat Tuhanku” dalam ayat-ayat di atas tidak mesti dipahami sebagaimana dalam bahasa percakapan sehari-hari, melainkan ia sebenarnya mengacu kepada Rahmat dan Sifat-sifat-Nya. Dengan demikian Alquran adalah makhluk, bukan “kata-kata Allah”.

Bagaimanapun, secara intelektual, al-Jahiz percaya bahwa “pengetahuan berada di dalam pikiran”, artinya, pengetahuan bukanlah perolehan, melainkan kebutuhan. Ketika manusia berpikir atau mencari bukti mental, itu terjadi dalam dirinya berdasarkan kebutuhan.

Dalam hal ini, al-Jahiz telah mengurangi peran penting para nabi yang menginformasikan kepada manusia bahwa Tuhan adalah Pencipta mereka. Pada intinya, al-Jahiz menekankan bahwa intelektualitas adalah yang utama, dan sementara itu teks agama posisinya berada di bawahnya.

Namun demikian, sebagian ulama dan pemikir Mu’tazilah menolak gagasan al-Jahiz ini, misalnya al-Jubbai yang berkata, “Selama pengetahuan ada di dalam pikiran, untuk apa perlu dipikirkan dan diukur?”[4]

Karakteristik pemikiran al-Jahiz yang lainnya adalah substansialis. Al-Jahiz menilai segala sesuatu bukan berdasarkan bentuk, tetapi cenderung dari segi isi atau substansinya. Hal ini terlihat ketika dia menilai hadis-hadis Nabi.

Untuk menilai kesahihan suatu hadis dia lebih menekankan kepada unsur rasionalitas dari matan hadis, apakah dapat diterima akal atau tidak.

Sebagai contoh, al-Jahiz menolak hadis yang mengatakan bahwa kemungkinan manusia bisa melihat jin. Dia menolak hadis ini karena menurutnya tidak rasional. Menurut al-Jahiz, seluruh hadis-hadis Nabi yang tidak sesuai dengan akal harus ditakwilkan.[5]

Di kemudian hari, meskipun mazhab ini semakin melesu dan apalagi pihak kerajaan Abbasiyah pun, yakni para penurus al-Mamun juga meninggalkannya, al-Jahiz tetap berkomitmen dan membuat tulisan yang mendukung ide-ide Mu’tazilah.[6]

Menjelang akhir hayatnya, al-Jahiz menderita hemiplegia (kelumpuhan total pada satu sisi tubuh). Dia kemudian pensiun dan pulang ke Basrah, di mana dia meninggal pada Desember 868.

Penyebab pasti kematiannya tidak pernah jelas, meskipun asumsi populer menyebutkan bahwa dia meninggal karena kecelakaan, yaitu ketika buku-buku yang menumpuk di perpustakaan pribadinya jatuh menimpanya. Al-Jahiz meninggal ketika berusia 93 tahun, seorang pria yang berumur panjang dan kehidupannya relatif bahagia.[7] (PH)

Selesai.

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 35.

[2] Nur Kholis Majid, Kebebasan Berfikir Perspektif Al-Jahiz (Ilmu Al-Qur’an [IQ] Jurnal Pendidikan Islam

Volume 3 No.2 2020), hlm 8.

[3] Eamonn Gearon, Loc.Cit.

[4] I. M. N. Al-Jubouri, Islamic Thought: From Mohammed to September 11, 2001 (Xlibris Corporation: US, 2010), hlm 154-155.

[5] Nur Kholis Majid, Op.Cit., hlm 12.

[6] Eamonn Gearon, Op.Cit., hlm 36.

[7] Joseph A. Kéchichian, “The father of the theory of evolution”, dari laman https://gulfnews.com/general/the-father-of-the-theory-of-evolution-1.1079209, diakses 1 Juli 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*