Mozaik Peradaban Islam

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (12): Dialog dengan Henry Corbin (2)

in Tokoh


Bagi Thabathabai, sejarah pemikiran  Islam terlalu didominasi oleh dimensi personal dalam rangka memuja prestasi kemajuan kelompok maupun tokoh tertentu, tetapi pada saat yang sama seperti tak memperhatikan dimensi sosialnya yang sering justru lebih penting dan mendalam. 

Pertemuan kedua antara Profesor Henry Corbin dengan Allamah Thabathabai berlangsung tahun 1961 di desa dekat Damavand, tempat Thabathabai tinggal selama masa sakit keras yang dideritanya hingga wafat. Setelah itu, sesi-sesi pertemuan mingguan diadakan setiap musim gugur hingga 1977. Meskipun sudah cukup sepuh, Thabathabai tetap berupaya menghadiri pertemuan itu dengan menempuh perjalanan 180 km menggunakan bus dari Qum ke Teheran. Tampaknya, baginya, pertemuan itu memiliki signifikansi tersendiri demi membangun dialog Islam dan Barat. Hasil catatan pertemuan kedua itu, sayangnya, baru terbit dengan judul “Pesan Syiah di Zaman ini” yang terbit 30 tahun kemudian, jauh setelah kedua pemikir itu meninggal dunia.[1]

Dalam serangkaian dialog dan korespondensi itu, Thabathabai mencoba menanggapi pertanyaan-pertanyaan Corbin seputar Syiah yang selama ini membingungkannya. Uniknya, Thabathabai mencoba menjelaskan duduk perkara pelik yang banyak disalahpahami para sarjana Barat itu dengan menggunakan pendekatan fenomenologis yang akrab dengan Corbin, yakni pendekatan yang berupaya menyelami aspek batin dari suatu gejala dan tidak semata-mata mengamatinya dari permukaan.

Di antara sekian banyak pokok persoalan yang dibahas ialah seputar signifikansi mazhab Syiah dalam sejarah pemikiran Islam. Kepada Corbin, Thabathabai membuktikan bahwa Syiah bukanlah arus yang mendadak timbul dalam kehidupan umat Islam akibat masuknya pengaruh-pengaruh peradaban Persia—sebagaimana yang kerap dipersepsi kalangan sarjana Barat—melainkan muncul sejak awal sejarah Islam. Menurutnya, peran sejati Syiah ialah menjaga hukum-hukum yang tetap (al-ahkam al-tsabitah) dari tarikan kemaslahatan-kemaslahatan temporer; yakni upaya mementingkan penghayatan esoteris ketimbang penerapan ajaran formal-eksoteris.[2]


Henry Corbin sedang berbicara dengan Farah Pahlavi, Ratu Iran pada waktu itu.

Sebagai konsekuensi dari menjalankan fungsi ini, kelompok Syiah sepanjang sejarah terpental dari arus politik utama dan menjadi paria di berbagai belahan dunia Islam. Tujuan Thabathabai menekankan fenomena itu bukan semata-mata untuk memamarkan marginalisasi dan ketertindasan Syiah secara historis, melainkan untuk memamarkan secara analitis ihwal besarnya kerugian yang harus ditanggung umat dan pemikiran Islam autentik akibat subordinasi hukum-hukum permanen di bawah pertimbangan situasional dan kemaslahatan temporer. Inilah salah satu penyebab tercorengnya sejarah Islam oleh berbagai ekspansi militer yang cacat moral, kebangkitan dinasti, kerajaan dan kekuasaan yang tidak dapat dianggap mewakili nilai-nilai Islam yang hakiki.[3]

Selanjutnya, Thabathabai secara panjang-lebar menerangkan kerugian besar yang harus ditanggung perkembangan ilmu-ilmu Islam akibat penyingkiran dan penindasan para imam Ahlul Bait. Padahal, menurutnya, ilmu-ilmu Islam dalam mazhab Ahlul Bait memiliki sejumlah keunggulan metodologis dan mengandung dimensi-dimensi transenden yang kaya. Thabathabai pun menuturkan sejumlah keunggulan metodologis mazhab Ahlul Bait dalam mengembangkan ilmu fiqih, sejarah, hadis, Alquran, filsafat, teologi, dan bidang-bidang ilmu lainnya. Setelah itu dia menunjukkan kerugian besar yang terjadi pada perkembangan epistemologi dan metodologi ilmu-limu Islam akibat marginalisasi dan penyingkiran mazhab Ahlul Bait.[4]

Lebih dari itu, Thabathabai pun mencoba menguraikan keniscayaan dimensi dan fungsi imamah dan wilayah dalam kehidupan sosial. Pendekatan seperti ini tentu saja lebih sesuai dengan pola pikir para peneliti Barat seperti Corbin yang senantiasa mencari dimensi dan fungsi sosial dari suatu akidah dan keyakinan. Tak hanya itu, Thabathabai mampu menjelaskan kemajuan dan kemunduran peradaban Islam relatif terhadap longgar maupun kuatnya ikatan peradaban itu dengan dimensi yang lebih tarnsenden: makin kuat ikatannya, makin tinggi dan cepat pula kemajuannya dan begitupun sebaliknya.

Poin penting lain yang disampaikan Thabathabai dalam menanggapi pertanyaan Corbin ialah penekanannya pada keharusan menumbuhkan konteks sosial dalam mempelajari Islam ketimbang konteks personal dan individual. Baginya, sejarah pemikiran  Islam terlalu didominasi oleh dimensi personal dalam rangka memuja prestasi kemajuan kelompok maupun tokoh tertentu, tetapi pada saat yang sama seperti tak memperhatikan dimensi sosialnya yang sering justru lebih penting dan mendalam. Baginya, selama penulisan sejarah Islam pada umumnya tidak memberikan konteks sosial, maka selama itu pula Islam tak mungkin memotivasi suatu perubahan sosial yang berarti.

Luasnya cakupan dialog dan korespondensi dua pemikir ini dapat dilihat dari daftar isinya yang meliputi tema kemunculan Syiah, pendapat lawan Syiah ihwal kemunculan Syiah, fenomenologi Syiah, krisis yang diantisipasi oleh para imam Ahlul Bait, metodologi ilmu menurut Syiah, hilangnya dimensi sosial dalam paradigma dan munculnya berbagai perbedaan, definisi pembahasan filosofis, pemikiran filosofis dalam teks-teks Ahlul Bait, keterkaitan antara kenabian dan wilayah, Syiah dan perkembangan filsafat, pola pikir sosial dan individual, dan metode tafsir Alquran dengan Alquran. Dalam tiap tema itu, di antara kedua pemikir ini terdapat adu argumen yang sopan dan terukur sekaligus juga tajam dan ketat. Namun yang tak kalah menariknya, dalam menjawab pertanyaan dan menanggapi isu yang dilontarkan Corbin, Thabathabai selalu berusaha menggunakan pendekatan fenomenologis dan menekankan pada konteks sosial yang ada.[5] (MK)

Bersambung….

Sebelumnya:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (11): Dialog dengan Henry Corbin (1)

Catatan Kaki:


[1] Lihat, Kamal Haydari, Op.Cit., hal. 115.

[2] Ibid. hal. 116.

[3] Ibid. hal. 116-117.

[4] Ibid. hal. 117

[5] Ibid, hal. 121. Lebih lanjut, rujuk Muhammad Husein Thabathabai, Asy-Syi’ah: Nash Al-Hiwar ma’a Al-Mustasyriq Corbin, terjemahan Jawad Ali, Muassasah Umm Al-Quro, 1416 H.  

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*