Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (60): Ketika Pena Lebih Tajam daripada Pedang

in Sejarah

Last updated on April 24th, 2019 01:13 pm


Sejarawan Ibnu al-Athir menulis, “Bencana terbesar dan malapetaka paling mengerikan… yang menimpa semua orang, dan kaum Muslimin khususnya… semenjak Allah Yang Mahakuasa menciptakan Adam sampai sekarang.”

Foto Ilustrasi: Esplanade

Ketika orang-orang Mongol menyerbu sebuah kota, mereka akan meninggalkan sedikit sekali apapun itu yang berharga, mereka akan menguras habis semuanya. Yaqut al-Hamawi, seorang penulis biografi dan ilmu geografi asal Suriah, yang terkenal akan tulisan-tulisan ensiklopedinya tentang Dunia Islam,[1] adalah salah seorang yang nyaris terkena – namun berhasil lolos – serangan bangsa Mongol.[2]

Dalam sebuah surat yang dibuatnya selepas serangan, dia menggambarkan tentang istana-istana yang megah, indah, dan mewah telah “dibumihanguskan oleh Mongol dari muka bumi bagaikan deretan tulisan yang dihapuskan dari kertas. Dan pemukiman itu berubah menjadi tempat tinggal burung hantu dan gagak; di tempat-tempat itu burung-burung hantu memekik saling bersahutan, dan di ruangan kosong itu angin mengerang.”

Bagi umat Islam, Genghis Khan adalah lambang kekejaman. Banyak para penulis sejarah zaman itu yang menggambarkan Genghis Khan dengan pernyataan yang agak dibesar-besarkan, “Kesenangan terbesarnya adalah menaklukkan musuh-musuhnya dan mengusir mereka di hadapannya; mengendarai kuda-kuda mereka dan mengambil harta mereka; melihat wajah orang-orang yang mereka sayangi dengan air mata yang berlinang; dan memeluk istri dan anak perempuan mereka di pelukannya.”

Namun sedikit yang mengetahui, sebab alih-alih menyangkal pendeskripsian yang merugikannya, Genghis Khan malah mendorong mereka untuk menulis lebih banyak. Dengan bakat alaminya, yaitu kepekaan untuk memanfaatkan atau melihat nilai guna dari apapun yang dia temui, dia menemukan cara ampuh untuk mengeksploitasi tingkat melek huruf yang tinggi dari umat Muslim.

Dengan cara membentuk opini publik, dia membuat musuh-musuhnya dibayang-bayangi gambaran dirinya yang mengerikan. Ini adalah sebuah senjata yang sangat ampuh. Demikianlah yang Genghis Khan sadari, teror terbaik bukan diciptakan oleh para prajuritnya, melainkan oleh ketajaman pena dari para penulis dan sarjana.

Pada sebuah era di mana belum ada surat kabar, surat-surat yang dibuat oleh kaum intelektual memainkan peran utama dalam membentuk opini publik. Dan dalam penaklukan ke Asia Tengah, para penulis telah memainkan peran mereka dengan cukup baik atas perintah Genghis Khan. Bangsa Mongol mengoperasikan mesin propaganda virtual yang secara konsisten melebih-lebihkan jumlah orang-orang yang tewas dalam pertempuran, dan menyebarkan ketakutan ke mana pun kata-kata itu disampaikan.

Pada Agustus tahun 1221, atau hanya setahun setelah kampanye ke Asia Tengah, pejabat Mongol memerintahkan Korea, negara bawahan mereka, untuk mengirimkan seratus ribu lembar kertas Korea yang terkenal akan kualitasnya. Permintaan volume kertas yang besar ini menunjukkan bahwa seiring dengan terus bertumbuh besarnya Kekaisaran Mongol, kebutuhan pencatatan mereka juga semakin tinggi. Namun di sisi lain, hal ini juga menggambarkan bahwa bangsa Mongol memandang penting pencatatan tentang sejarah mereka sendiri.

Secara bertahap, jumlah kertas dalam gudang penyimpanan Genghis Khan semakin bertambah banyak. Dia menyadari bahwa ini adalah senjata terampuh. Genghis Khan tidak tertarik orang-orang menuliskan segala prestasi atau puji-pujian tentangnya, sebaliknya, dia membiarkan para penulis untuk secara bebas mengedarkan cerita terburuk dan paling mengerikan tentang dirinya dan orang-orang Mongol.

Dari setiap kota yang ditaklukkan, orang-orang Mongol mengirimkan delegasinya ke kota-kota lain untuk memberi tahu mereka tentang kengerian yang belum pernah terjadi sebelumnya yang disebabkan oleh kemampuan prajurit Genghis Khan yang nyaris di luar nalar. Kekuatan kata-kata itu masih terasa dampaknya dalam tulisan sejarah yang dibuat oleh sejarawan seperti Ibnu al-Athir misalnya. Ibnu al-Athir hidup di kota Mosul (utara Irak pada masa kini), sebuah kota yang tidak terkena serbuan Mongol, namun lokasinya cukup dekat dengan kota lainnya yang diserang. Dari sana dia mencatat keterangan dari para saksi mata.[3]

Dalam karyanya yang berjudul al- Kamil fil- tarikh (Kesempurnaan Sejarah), Ibnu al-Athir menulis tentang orang-orang Mongol.[4] Pada mulanya, Ibnu al-Athir nampaknya enggan mempercayai kisah-kisah itu, tetapi pada akhirnya dia menuliskannya juga. “Dikatakan bahwa setiap orang dari mereka akan memasuki sebuah desa, atau sebuah sudut di mana terdapat banyak orang, dan akan terus membunuh mereka (penduduk desa) satu demi satu, tidak ada yang berani membantu untuk melawan para penunggang kuda ini,” kata Ibnu al-Athir dalam bukunya.[5]

Dari saksi lainnya dia mencatat, “Salah satu dari mereka mengambil seorang tawanan, tetapi tidak membawa senjata untuk membunuhnya, dan dia berkata kepada tawanannya, ‘Letakkan kepalamu di tanah dan jangan bergerak,’ dan tawanan itu melakukannya, dan orang Tatar itu pergi mengambil pedangnya dan membunuhnya dengan itu.”

Setiap kemenangan demi kemenangan akan melahirkan banjir propaganda baru, tentang Genghis Khan yang tidak terkalahkan. Meski di dalam kisah-kisah tersebut terdapat banyak kejanggalan yang tidak masuk akal, namun efeknya luar biasa, masyarakat Asia Tengah lama-lama meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Ibnu al-Athir sendiri menggambarkan tentang penaklukan bangsa Mongol dengan, “Serangan yang mematikan bagi Islam dan kaum Muslim.” Lalu dengan sentuhan yang dramatis, dia menambahkan, “Oh, seandainya ibuku tidak melahirkanku, atau aku telah mati duluan dan terlupakan, sebelum ini menimpa!”

Dia setuju untuk menulis rincian-rincian yang mengerikan hanya karena “sejumlah teman mendesakku untuk menuliskannya.” Dia menyatakan invasi Mongol sebagai, “Bencana terbesar dan malapetaka paling mengerikan. . . yang menimpa semua orang pada umumnya, dan kaum Muslimin khususnya. . . semenjak Allah Yang Mahakuasa menciptakan Adam sampai sekarang.”

Sebagai perbandingan, dia mencatat, bahwa pembantaian terburuk dalam sejarah pra-Mongol telah terjadi terhadap orang-orang Yahudi. Namun serangan bangsa Mongol terhadap kaum Muslim lebih buruk, karena menurutnya korban Muslim yang “mereka bantai di satu kota melebihi semua anak Israel.”

Meski demikian, agar pembaca tidak terlalu larut dan menelan mentah-mentah tentang kengerian bangsa Mongol, Ibnu al-Athir menuliskan, “Perbuatan yang dapat menakuti semua orang yang mendengarnya, dan kalian harus – tolonglah ya Allah – dapat melihat perincian (kisah) yang dituangkan dalam penjelasan yang tepat.” Pernyataan tersebut tampaknya lebih merupakan suatu bentuk upaya agar saudara-saudara Muslimnya dapat bangkit, ketimbang untuk mencatat kronologis penaklukan secara akurat.[6] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:



[1] Muslim Heritage, “Yaqut al-Hamawi”, dari laman http://muslimheritage.com/article/yaqut-al-hamawi, diakses 9 April 2019.

[2] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 5.

[3] Ibid.

[4] Peter Jackson, The Mongols and The Islamic World (Yale University Press, 2017), hlm 17.

[5] Jack Weatherford, Loc.Cit.

[6] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*