Dinasti Abbasiyah (71): Abu Ishaq Al-Muktasim (2)

in Sejarah

Last updated on July 28th, 2019 08:30 am

Al-Muktasim mengangkat Fald bin Marwan sebagai wazir (perdana menteri)-nya. Menariknya, Fald adalah seorang yang beragama Kristen. Sejarah mencatat, bahwa inilah untuk pertama kalinya orang non-Muslim mampu mencapai kedudukan demikian tinggi di dalam struktur pemerintahan Islam.

Gambar ilustrasi. Sumber: livejournal.com

Al-Muktasim dilantik di wilayah Tarsus (sekarang Turki), bekas wilayah teritori Bizantium. Ketika berita tentang wafatnya Al-Makmun tersebar, sebagian pasukan yang ada di tempat itu tidak bersedia membaiatnya. Sebab mereka lebih memihak pada Abbas bin Al-Makmun. Melihat kejadian ini, Al-Muktasim memerintahkan pada Abbas agar segera menghadapnya. Abbas pun datang. Al-Muktasim memerintahkannya agar segara menenangkan pendukungnya.

Abbas pun pergi menemui pendukungnya, dan berkata, “Apa gunanya kesetiaan yang kalian tunjukkan ini? Aku sudah memberikan baiat pada paman ku dan telah menyerahkan kekhalifahan padanya.”[1] Mendengar penjelasan dari Abbas, para pendukungnya pun berhenti. Mereka satu persatu menyatakan baiatnya pada Al-Muktasim.

Dari kisah di atas kita sebenarnya bisa menduga bahwa kecil kemungkinan Al-Muktasim mengambil kekuasan secara licik dari Al-Makmun. Sebagaimana diduga oleh sebagaian pihak, bahwa Al-Muktasim menulis sendiri surat edaran ke semua gubernur ketika Al-Makmun sedang sekarat. Padahal, Al-Makmun sebenarnya ingin agar Abbas lah yang menjadi khalifah. Itu sebabnya dia memanggil Abbas segera datang menemuinya, ketika dirasa ajalnya sudah makin dekat. [2] Andai dugaan ini benar, mestinya argumentasi tersebut meluncur ketika Al-Muktasim memanggil Abbas menghadap. Tapi itu tidak terjadi. Malah Abbas menyatakan mendukung Al-Muktasim dan bersedia ketika diperintah untuk menenangkan pendukungnya. Wallahualam..

Di sisi lain, surat Al-Makmun sudah berhasil sampai ke tangan para gubernur di wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Umumnya mereka memberikan baiatnya dan menyatakan setia pada Al-Muktasim. Sedang di Baghdad, ibu kota Dinasti Abbasiyah, sebagian besar prajurit menyatakan kesetiaannya pada Abbas bin Al-Makmun. Tapi Al-Muktasim – melalui orang kepercayaannya bernama Fadl bin Marwan – menginformasikan bahwa Abbas sendiri sudah menyatakan baiat pada Al-Muktasim. Untuk sementara ketegangan di Baghdad bisa diredakan.

Adapun Fald bin Marwan kemudian diangkat menjadi wazir Al-Muktasim. Menariknya, Fald adalah seorang yang beragama Kristen. Karirnya pertama kali berangkat sebagai pengawal Harsamah bin Ayun, jenderal perang yang dipercaya Harun Al-Rasyid dan juga Al-Makmun.[3] Seiring berjalannya waktu, Harun Al-Rasyid melihat potensi Fadl bin Marwan, dan mempercayakannya jabatan sebagai sekretaris lembaga pajak (diwan al-kharaj). Dan ketika memasuki era pemerintahan Al-Makmun, Fadl bin Marwan dipercaya untuk mengepalai lembaga pajak di Mesir membantu Al-Muktasim yang ketika itu bertindak sebagai gubernur. [4] Di sini, Al-Muktasi mengenal Fadl lebih dekat dan melihat bakatnya.

Maka demikianlah, ketika Al-Muktasim akhirnya naik tahta, dia mempercayakan Fadl bin Marwan menjadi pihak yang mengambil baiat dari orang-orang di Baghdad. Keberhasilannya dalam hal ini, membuatnya dipercaya menduduki posisi sebagai perdana menteri (wazir) kekhalifahan Abbasiyah. Sejarah mencatat, bahwa inilah untuk pertama kalinya orang non-Muslim mampu mencapai kedudukan demikian tinggi di dalam struktur pemerintahan Islam.

Kembali ke Al-Muktasim. Setelah memastikan legitimasinya sebagai khalifah Abbasiyah, Al-Muktasim memutuskan kembali ke Baghdad. Tapi sebelum itu, dia memerintahkan pasukannya agar membongkar Kota Tuwanah (terletak di Asia Kecil) yang dulu diperintahkan Al-Makmun untuk membangunnya. Tidak banyak informasi yang menjelaskan tentang tujuan sebenarnya dari pembongkaran kota ini. Tapi secara strategis terlihat, dengan dihancurkannya kota ini, ruang lingkup pengaruh Abbasiyah di wilayah perbatasan dengan Bizantium makin melemah.

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu, Al-Makmun memerintahkan pada Abbas agar membangun sejumlah kota di wilayah perbatasan antara Bizantium dengan Ababasiyah. [5] Wilayah ini sekarang masuk dalam wilayah teritori negara Turki. Tujuan Al-Makmun agar masyarakat di kawasan perbatasan itu menjadi makmur, dan menjadi loyal pada pemerintah pusat Abbasiyah yang berjarak jauh dari kawasan tersebut. [6]

Salah satu kota yang dibangun itu adalah Tuwanah. Setelah dibangun, Kota Tuwanah dipercayakan untuk dikuasai dan dikelola oleh Abbas bin Al-Makmun. Tapi kemudian Al-Muktasim memerintahkan kota itu dihancurkan. Para penduduk yang sebelumnya direlokasi ke kota tersebut, dikembalikan ke pemukiman mereka semula. Semua barang-barang berharga yang bisa diangkut, dibawa ke Baghdad. Sedang barang tidak bisa diangkut, maka dibakar.[7]

Setelah selesai semua urusannya di perbatasan Bizantium, Al-Muktasim memerintakan prajuritnya kembali ke Baghdad. Dia memasuki ibu kota Dinasti Abbasiyah itu pada bulan Ramadhan 218 H. Ketika memasuki gerbang kota Baghdad, Abbas bin Al-Makmun berjalan di samping Al-Muktasim.[8] Pemandangan ini secara efektif meredakan ketegangan politik antara pendukungnya dengan kelompok yang masih ingin mendukung Abbas sebagai khalifah.  (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 1

[2] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 334

[3] Uraian lebih jauh mengenai tokoh Harsamah bin Ayun, bisa membaca kembali edisi ke- 55 serial Dinasti Abbasiyah. Untuk membacanya bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-55-abdullah-al-makmun-4/

[4] Lihat, Nadirsyah Hosen, Al-Mu’tashim Billah: Khalifah Yang Mengangkat Kristen Sebagai Menteri, https://geotimes.co.id/kolom/politik/al-mutashim-billah-khalifah-yang-mengangkat-kristen-sebagai-menteri/, diakses 20 Juli 2019

[5] Uraian lebih jauh mengenai tema ini, sudah dibahas pada edisi ke-64 serial Dinasti Abbasiyah. Untuk menyimak kembali, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-64-abdullah-al-makmun-13/

[6] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 199

[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 440

[8] Ibid

2 Comments

  1. Kalifah Al-makmun.. yg di pengaruhi oleh org berpaham muktazilah. Dan setelah kalifah al-mak’mun di gantikan Al-muktasim.

    Sepanjang 3 periode kekhalifahan Abbasiyah dr al-mak’mun, Al-muktasim, al-watsiq, paham liberalisme begitu kuat mencengkram pemikiran Khalifah sehingga fatwa Al-qur’an makhluk msh ada.
    kbijakan negara pun blm berubah.
    Ulama2 yg mengingkari Al-qur’an makhluk di hukum.

    Muktazilah,Syiah rafidoh dll itu sesat. Selain sunnah itu sesat.

    Jgn kita hanya gara2 ada orang Arab bermaksiat, berbuat begini begitu, kita jd berpikir oh berarti ini itu boleh.. jgn kita berdalil dgn hawa nafsu dgn orang.
    Dalil itu dr AL-QUR’AN, as-sunnah . Jika TDK di temukan
    lihat Generasi sahabat, tabi’in, atba’ut tabi’in . Lihat pendapat ulama2 empat madzab. Dan ulama2 lainya. JIKA SUDAH JELAS AL-QUR’AN MENGATAKAN ITU MAKA ITULAH KEBENARAN NYA.
    Ingat perkataan imam Malik rahimahullah.. ” setiap orang bisa di terima dan di tolak ucapannya kecuali yg ada di kubur ini.”. Sambil menunjuk makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
    Ingat perkataan imam 4 intinya mereka semua mengatakan jika ada perkataannya yg bertentangan dgn Kitabullah, hadist shahih, sunnah nabi maka tidak boleh mengikuti perkataannya.

    Ingat imam Ahmad rahimahullah pernah di penjara dan di cambuk atas perintah kalifah al-makmun yg sudah terpengaruh paham muktazilah. di paksa mengatakan Al-qur’an itu makhluk, imam Ahmad dgn teguh mengatakan Al-qur’an Kalamullah.

    Islam dan politik itu dekat tidak bisa di pisahkan.

    wallahu a’lam bisshowaab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*