Dinasti Umayyah (7): Yazid Naik Tahta sebagai Khalifah Kedua Dinasti Umayyah

in Sejarah

Last updated on March 28th, 2018 07:43 am

Muawiyah bin Abu Sufyan wafat pada tahun 60 H di Damaskus. Ia meninggalkan wilayah kekuasaan yang membentang dari Persia hingga pesisir samudera atlantik yang terkontrol penuh dalam kendalinya. Tapi ada satu yang dikhawatirkannya, semua tatanan yang sudah diupayakannya akan diwariskan pada putranya yang sama sekali tidak kompeten.

—Ο—

 

Setelah wafatnya Hasan bin Ali, jalan politik dinasti Umayyah semakin tak tertahankan. Sisa-sisa kekuatan Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali di preteli satu persatu di semua wilayah. Pemimpin semua wilayah Islam diganti dengan orang-orang kepercayaan Muawiyah. Nyaris tanpa oposisi, kekuasaan dinasti Umayyah dikenal sebagai bentuk negara despotik pertama dalam sejarah Islam. Tidak ada satupun suara sumbang yang boleh di dengar Muawiyah, sehingga kekejaman para aparaturnya nyaris tidak terkontrol. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan, tirani yang berlangsung ini, tidak lain adalah atas kehendak Muawiyah. Semua wilayah dipaksa satu suara, khususnya untuk isu tentang pengangkatan Yazid. Tinggal satu ganjalannya, yaitu menjinakkan tokoh-tokoh kunci yang menetap di Madinah dan Mekkah. Mereka adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Zubair bin Awam, dan Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Pada sekitar tahun 51 H, Muawiyah yang sudah lama tidak berhaji, berangkat haji ke Mekkah. Sebelumnya ia sudah memerintahkan Marwan bin Hakam untuk mengkondisikan situasi di wilayah tersebut. Tapi memang keempat orang ini sangat berpengaruh, sehingga harus didekati dengan cara khusus. Ketika berkunjung, Muawiyah begitu royal membagi-bagian hartanya kepada penduduk Madinah dan Mekkah. Hal ini memang sengaja ia lakukan untuk menarik simpati masyarakat di kedua kota tersebut. Sambil bersamaan dengan itu, ia mendatangi keempat tokoh kunci masyarakat di sana, kecuali Husein bin Ali yang menurutnya terlalu rumit untuk didekati. Disamping karena ia adalah musuh Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali, Husein bin Ali sudah tegas sikapnya, dan juga memiliki keteguhan hati yang luar biasa. Kecerdasan dan kefasihannya dalam menjelaskan segala sesuatu bisa sangat merepotkan Muawiyah bila tetap memaksakan diri bertemu dengan Husein bin Ali.

Namun bukan juga hal yang mudah menaklukkan ketiga orang lainnya. Ketiganya, baik Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair menolak keras rencana Muawiyah untuk mewariskan tahta khalifah kepada Yazid. Hingga akhirnya, Muawiyah kembali ke Damaskus tanpa mendapatkan satupun bai’at dari keempat tokoh tersebut. Namun ia sudah berhasil membuat masyarakat Mekkah dan Madinah bersukaria dengan harta-harta yang ditebarkannya secara royal. Kecerdikan Muawiyah yang seperti inilah yang tidak dimiliki oleh para penerusnya, terutama Yazid. Muawiyah dapat secara bersamaan memuliakan satu penduduk di tempat tertentu, dan menindas tanpa ampun penduduk di tempat lainnya.

Salah satu sosok kunci keberhasilan Muawiyah adalah Ziyad bin Abihi. Ziyad mulanya adalah musuh Muawiyah dan sangat di benci oleh Muawiyah. Ia di sebut “bin Abihi” karena memang tidak jelas siapa ayahnya. Namun kabar yang tersiar, ia adalah anak jadah Abu Sufyan dari hubungan gelapnya dengan seorang budak yang bernama Sumayyah.[1] Selama bertahun-tahun, Ziyad berpura-pura menjadi pendukung Ali bin Abi Thalib dan mempelajari dengan detail tabiat masyarakat pendukung Ali, seperti di Kufah, Basrah dan sebagian besar Persia. Dan ketika Ziyad menyatakan kesetiaannya kepada Muawiyah, sikap Muawiyah menjadi berubah, dan Ziyad pun akhinya diperkenankan menyandang nama Ziyad bin Abu Sufyan.[2]

Dengan semua modal pengetahuan yang sudah dimilikinya, ia ditugaskan Muawiyah untuk menjadi gubernur Basrah. Dan Ziyad memang tidak mengecewakan. Ia menindak keras semua gejala subversif dalam bentuk apapun kepada kekhalifahan Umayyah. Atas prestasinya ini, ia kemudian dipercayakan untuk mengelola Kufah. Tapi tidak sampai di sana, Ziyad bersama putranya yang bernama Ubaidillah bin Ziyad juga berhasil dalam berbagai ekspedisi penaklukkan ke wilayah Iran hingga Asia Tengah, dan semua ia persembahkan untuk kelangsungan kekuasaan dinasti Umayyah.

Terkhususnya untuk wilayah Persia, menurut Eamon Gaeron, Muawiyah memberikan instruksi khusus kepada para pejabatnya yang isinya, “Waspadalah terhadap Muslim Persia dan jangan pernah memperlakukan mereka sama. … Sejauh mungkin beri mereka pensiun yang lebih kecil dan pekerjaan rendah. Di hadapan seorang Arab, non-Arab tidak boleh memimpin shalat, juga tidak diizinkan untuk berdiri di baris pertama sholat.” Sepintas saja bisa diartikan bahwa pandangan semacam ini tidak hanya muncul dari pertimbangan politik ataupun strategis, lebih dari itu, ini lahir dari semangat ashobiyah yang mengalir kental di dalam darahnya. Dalam komentarnya atas pandangan ini, Gaeron menyatakan bahwa “Pandangan seperti itu hampir tidak ada dalam pertimbangan pemikiran Muhammad saat dia mengatakan bahwa semua Umat ​​Muslim, terlepas dari ras, adalah sama di hadapan Tuhan, dan memang sudah seharusnya diperlakukan seperti itu.”[3]

Secara ringkas dapat dikatakan, bahw Ziyad bin Abihi lah yang pada akhirnya memulai upaya pelucutan terhadap kekuatan Ali bin Abi Thalib di Kufah dan semua bagian wilayah Persia. Ziyad wafat pada tahun 53 H, dan misi ini masih diteruskan oleh putranya yang begitu kejam, yaitu Ubaidillah bin Ziyad, yang juga menggantikan kedudukannya sebagai gubernur di Basrah. Hanya dalam waktu singkat, atau pada tahun 56 H, semua golongan masyarakat Islam di setiap wilayah sudah tunduk di bawah kekuasaan dinasti Umayyah, dan menyatakan kesetiaannya kepada Yazid bin Muawiyah. Kecuali empat orang, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, dan Husein bin Ali.

Muawiyah bin Abu Sufyan wafat pada tahun 60 H di Damaskus. Ia meninggalkan wilayah kekuasaan yang membentang dari Persia hingga pesisir samudera atlantik yang terkontrol penuh dalam kendalinya. Secara ekonomi, ia berhasil menghimpun kekayaan demikian besar, hingga mampu menjinakkan semua opisisinya dengan segala cara, baik dengan metode lembut (soft power politic) ataupun keras (hard power politic). Secara kemiliteran, ia berhasil meningkatkan kapasitas kemampuan angkatan laut hingga menjadi salah satu kekuatan yang paling disegani di dunia. Tak lupa ia juga memiliki banyak tentara bayaran yang mampu menjalankan perintah apapun tanpa terikat pada aturan-aturan agama dan normar-norma lainnya selain uang.

Tapi ada satu yang dikhawatirkannya, semua tatanan yang sudah diupayakannya akan diwariskan pada putranya yang sama sekali tidak kompeten. Yazid bin Muawiyah adalah “putra mahkota” pertama dalam sejarah kaum Muslimin. Ia lahir di dalam istana Damaskus pada tahun 25 H. Sejak kecil, hidupnya dilingkupi oleh suasana yang glamor dan jauh dari sentuhan spiritual para sahabat utama. Tubuhnya begitu tambun, dan Muawiyah selalu memanjakannya. Tidak ada satupun riwayat yang mengatakan bahwa Yazid adalah seorang ahli ibadah ataupun memiliki ilmu yang sangat luas. Sebaliknya, ia sangat gemar berpesta pora dan berburu. Sialnya lagi, Yazid yang tidak memiliki kecakapan ini, naik tahta pada usia 35 tahun tanpa didampingi oleh penasehat sekaliber Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi, yang dulu mendampingi ayahnya meraih kesuksesan. (AL)

Bersambung

Dinasti Umayyah (8): Manuver Politik Yazid

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (6); Meratakan Jalan untuk Yazid

Catatan kaki:

[1] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XIX., The Calipate of Yazid B. Muawiyah, Translated by C. E. Bosworth, State University of New York Press, 1990, hal. 1

[2] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 33-34

[3] Lihat, Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), chapter 3, hal. 31

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*