Mozaik Peradaban Islam

Hamzah bin Abdul Muthalib (5): Keraguan

in Tokoh

Last updated on December 9th, 2020 03:15 pm

Setelah bersyahadat, hati Hamzah malah muram. Pada siang hari dia kehilangan ketenteramannya, dan pada malam hari matanya tidak dapat terpejam untuk tidur.

Foto ilustrasi: Lukisan karya Eugene Alexis Girardet (1853 – 1907)

Pada seri kali ini kita akan mengikuti alur riwayat yang digambarkan oleh sejarawan Khalid Muhammad Khalid. Sebagaimana sempat disinggung dalam artikel sebelumnya, Khalid menyatakan bahwa Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam melalui proses berpikir dan perenungan, bukan sekadar karena persoalan fanatisme kesukuan.

Setelah memukul Abu Jahal dengan busur dan Hamzah menyatakan keislamannya di depan banyak orang, para pemuka Quraisy menjadi gempar karenanya. Mereka menganggap hal ini sebagai sebuah bencana, sebab, tidak menutup kemungkinan tokoh-tokoh besar Quraisy lainnya akan mengikuti langkah Hamzah.

Hamzah kemudian meninggalkan banyak orang itu, memungut busurnya dan berjalan melangkah pulang dengan tegap, namun dengan hati yang muram.

Di rumahnya, dia duduk melepas lelah dan membawa dirinya untuk berpikir, merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya.

Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, memang dia telah menyatakan syahadat di depan umum, namun bagaimana sebenarnya cara seseorang untuk masuk Islam dengan benar?

Dan dia pun mempertanyakan pula, apakah keputusan yang diambilnya itu benar, sebab pada saat itu dia sedang dalam kondisi emosi dan marah?

Hamzah mengingat-ingatnya lagi, bahwa pada awalnya dia tidak rela jika keponakannya diperlakukan secara sewenang-wenang dan dianiaya tanpa adanya pembelaan. Oleh sebab itu dia maju ke depan untuk membela Nabi Muhammad saw dan kehormatan Bani Hasyim.

Namun Hamzah menjadi berpikir ulang, apakah ini cara yang terbaik bagi seseorang untuk meninggalkan agama nenek moyang dan kaumnya, agama yang telah mereka anut sejak lama?

Hamzah pun mengakui, bahwa sesungguhnya dia juga belum tahu terlalu banyak tentang Islam, hanya gambaran kecilnya saja yang dia tahu.

Benar bahwa Hamzah tidak sedikit pun ragu tentang kebenaran dan ketulusan yang dibawa Muhammad saw, sebab dia sudah mengenalnya sejak kecil dan mengetahui bahwa tidak mungkin keponakannya itu akan berbohong. Tetapi apakah mengambil keputusan pada saat marah merupakan cara yang tepat?

Di satu sisi, Hamzah memang mengakui bahwa di dalam dadanya terpendam rasa hormat terhadap dakwah yang disampaikan oleh keponakannya itu. Dan apabila dia memang ditakdirkan untuk menjadi pembela agama baru ini, maka kapankah sebenarnya waktu yang tepat untuk memasukinya? Apakah pada saat marah ataukah setelah melalui proses berpikir dan merenung?

Demikianlah Hamzah terus merenung dan menimbang. Dia terus memikirkan hal ini selama berhari-hari. Pada siang hari dia kehilangan ketenteramannya, dan pada malam hari matanya tidak dapat terpejam untuk tidur.

Dan ketika Hamzah berusaha mencari kebenaran dengan menggunakan akal, kebimbangan malah tampil ke depan sebagai penghalang. Hamzah mulai membanding-bandingkan agama lama dengan agama baru ini.

Tiba-tiba muncul di dalam dirinya kerinduan terhadap agama nenek moyang yang selama ini biasa dia lakukan. Kenangan tentang Kabah dan tradisi-tradisi jahiliyah di sekitarnya menggelayuti pikirannya. Bagaimanapun, meninggalkan agama lama dan pindah ke Islam bagaikan melompati jurang yang lebar.

Hamzah mulai memikirkan orang-orang yang lebih dulu darinya untuk masuk Islam. Dia bertanya-tanya, bagaimana bisa orang sedemikian tergesa-gesa untuk meninggalkan agama nenek moyangnya? Maka Hamzah mulai menyesali perbuatannya dengan telah bersyahadat.

Meski demikian, perjalanan akalnya tidak terputus dan dihentikan. Dia terus berpikir.

Hingga kemudian Hamzah merasa bahwa akal pikirannya sendiri tidak mampu menuntaskan kegelisahan hatinya ini. Maka dengan niat keikhlasan dan ketulusan hati, dia pun pergi keluar untuk meminta pertolongan dari Yang Ghaib.

Di hadapan Kabah, dia menengadahkan wajahnya ke arah langit, dan meminta pertolongan kepada kudrat dan nur yang terdapat di alam wujud ini. Dia memohon dan berdoa agar memperoleh petunjuk kepada yang hak dan jalan yang lurus. Sampai detik ini Hamzah masih juga belum bertemu lagi dengan Nabi Muhammad saw.

Maka sekarang mari kita simak perkataan dari Hamzah sendiri mengenai kisah kelanjutannya, “Kemudian timbullah sesal di dalam hatiku karena meninggalkan agama nenek moyang dan kaumku, dan aku pun diliputi kebingungan hingga mata tak dapat tertidur.

“Lalu pergilah aku ke Kabah, dan memohon kepada Allah agar membukakan hatiku untuk menerima kebenaran dan melenyapkan segala keraguan. Maka Allah pun mengabulkan permohonanku itu dan memenuhi hatiku dengan keyakinan.

“Aku pun segera menemui Rasulullah saw dan menyampaikan tentang keadaanku kepadanya, maka didoakannya kepada Allah agar ditetapkan-Nya hatiku dalam agama-Nya.”

Demikianlah, Hamzah akhirnya menganut agama Islam dengan keyakinan yang penuh.[1] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 198-200.

1 Comment

Leave a Reply to Den Cancel reply

Your email address will not be published.

*