Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (9): Kompleksitas Bahasa Arab dan Kesimpulan Umum (2)

in Studi Islam

Last updated on June 8th, 2021 01:54 pm

Alquran mengajukan tantangan yang bertujuan menusuk jati diri suku-suku Arab dan merebut klaim yang mereka bangga-banggakan.

Foto: Lukisan karya Charles Robertson

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Memang warisan terbesar sekaligus unsur utama kearaban dari zaman dahulu tidak lain adalah bahasa beserta segenap turunannya. Syair menempati posisi sentral dalam identitas mereka, karena sepertinya memang bagi mereka tidak ada kebanggaan atau keutamaan yang melebihi kecakapan berbahasa.

Itulah mengapa Nabi Muhammad saat menyampaikan wahyu ilahi sering dituduh sebagai tukang sihir atau majnun (terkena jin).[i] Orang-orang Arab zaman itu tak mampu membayangkan ada orang yang bisa berbahasa seperti itu, kecuali dia punya sihir, dikuasai jin, atau memiliki keajaiban yang tidak tertandingi.

Tapi Allah menegaskan bahwa Dia tidak mengajarkan Nabi soal syair, dan dia tidak layak bersyair sebagaimana disebutkan dalam surah Yasin ayat 69. Sungguh Nabi ini hanyalah utusan yang menyampaikan wahyu sebagai dzikr (pengingatan) dan Quran yang menerangkan.

Menggambarkan reaksi orang Arab mendengar wahyu Alquran yang menggunakan bahasa Arab tiada tanding ini, Allah berfirman (al-Qalam: 59): “Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Alquran dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya dia (Muhammad) benar-benar orang majnun.’.”

Perhatikan dua ungkapan dalam ayat ini: menggelincirkan dengan pandangan dan majnun. Orang-orang Arab era itu percaya pada kekuatan mata yang mampu menggelincirkan atau melukai dan percaya bahwa orang terkena jin (majnun) memilki kekuatan istimewa. Sayangnya, beberapa terjemahan kata majnun belakangan bergeser menjadi gila, yang sejatinya tidak menggambarkan makna ungkapan tersebut.

Kepercayaan ini bukan sepenuhnya takhayul, karena Alquran membenarkan keberadaannya dan mencela penggunaannya. Tapi dengan bodoh dan konyolnya mereka percaya bahwa tidak mungkin Nabi dilawan dengan cara-cara bersyair biasa, karena dia sepenuhnya majnun (dibantu oleh jin).

Karena itu, mereka berusaha melawannya dengan kekuatan pandangan mata atau yang umum disebut dengan ‘ayn. Dan semua pikiran klenik dan mistik itu muncul karena keyakinan mereka bahwa tidak ada orang yang mampu berbahasa seperti Nabi.

Di satu sisi perilaku ini memang menunjukkan kebodohan luar biasa, tapi di sisi lain ia menunjukkan kepekaan rasa bahasa mereka terhadap firman-firman ilahi.

Pada masa setelah Islam, kita pun menemukan bahwa bahasa yang menandai dan mendefinisikan Arab pun seluruhnya terserap dalam Alquran dan hadis-hadis Nabi Muhammad. Semua kekuatan, keunggulan, keajaiban, kefasihan, dan kekayaan bahasa Arab lebur dalam teks-teks suci itu.

Barangkali tidak ada fenomena seperti ini dalam semua bahasa lain sepanjang sejarah manusia. Peneliti serius bahasa Arab tak lagi memberi peluang syair atau karya Arab kuno untuk menyaingi Alquran dan hadis Nabi dalam kekuatan, keaslian, kefasihan, keindahan, dan kekayaan makna.

Andaipun ada kutipan-kutipan syair pra-Islam dalam leksikografi Arab, maka itu pastinya tidak sampai dapat dijadikan rujukan melebihi penggunaan kata yang sama dalam Alquran.

Terlebih lagi, Alquran itu sendiri telah menantang seluruh dunia Arab, bahkan seluruh manusia, untuk membuat barang satu surah saja yang dapat menandinginya. Dan jelas tidak ada yang berani maju dari sekian banyak suku bangsa Arab yang mengenal bahasa ini untuk bertanding.

Bukan karena mereka takut atau segan, tapi karena mereka jelas sadar akan kemustahilannya. Mereka sepenuhnya insaf bahwa bahasa Alquran bukan sesuatu yang bisa diungkapkan manusia biasa, walaupun kecewa lantaran ia turun kepada Nabi.

Maka itu Alquran menyingkap perasaan hati mereka: “Dan mereka berkata: ‘Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” Dan cara berpikir ini khas kaum Jahiliah yang kerap menggugat kuasa Allah melakukan apa saja yang Dia inginkan, khususnya dalam memilih utusan-Nya.

Tantangan Alquran itu, sekali lagi, menunjukkan sentralitas bahasa dalam kehidupan suku-suku bangsa Arab sejak masa-masa terdahulu. Malah mungkin tantangan itu justru bertujuan menusuk jati diri mereka dan merebut klaim yang mereka bangga-banggakan.

Wahyu datang untuk menundukkan klaim kelompok manusia paling keras dan liar itu dengan membetot atribut dan warisan paling berharga yang mereka miliki.

Maka itu Allah memerintahkan Nabi dengan firman (QS 15: 94): Fashda’ bima tu’mar (sampaikan secara terang-terangan segala apa yang telah diperintahkan) . Dan shada’a asal maknanya adalah memecahkan benda padat dan keras, sehingga dari kata ini pula orang Arab menyebut sakit kepala dengan shuda’ (karena terasa seperti kepala pecah). 

Tidaklah salah jika kita menyimpulkan bahwa bahasa bagi Arab adalah jantung, esensi, dan identitas paling utama. Tanpa bahasa itu, maka suku-suku bangsa yang mengaku Arab itu nyaris tidak bisa diidentifikasi dan didefinisikan, apalagi kemudian dapat diingat dan dicatat oleh sejarah.

Bahasa Arab dengan demikian telah melestarikan Arab dan kearaban, bahkan memberinya eksistensi, dan bukan sebaliknya. Toh para peneliti, seperti telah kita kemukakan sebelumnya, percaya bahwa kelompok penutur Arab asli telah punah. Jika mereka sudah punah, lantas bagaimana bahasanya bisa langgeng? Karena itu, seharusnya asusmsi bahwa bahasa ini milik mereka serta-merta digugurkan dan dibangun asumsi lain bahwa bahasa Arab berjalan terpisah dari kehadiran mereka dan berdiri sendiri tanpa eksistensi mereka.

Jangan-jangan tidak salah jika orang mulai berpikir bahwa bahasa sejatinya memang alat identifikasi dan klasifikasi kelompok manusia yang paling masuk akal. Bahasa adalah sokoguru kaum atau perkumpulan, bukan sebaliknya. Jika asumsi soal prioritas bahasa itu tidak bisa digeneralisasi, maka dalam kasus Arab asumsi itu dengan mudah dapat dibenarkan.

Dalam kaitannya dengan kasus-kasus lain, Anda sebenarnya tinggal melihat terbentuknya bangsa-bangsa dunia dan melacak signifikansi bahasa dalam proses kelahirannya. Dalam pembentukan bangsa Indonesia, misalnya, fakta Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa tampaknya merupakan unsur-unsur fundamentalnya.

Lebih dari itu, fakta menunjukkan bahwa jika Anda mengenal dan mengerti bahasa suatu kelompok, maka secara otomatis Anda akan menjadi bagian dari kelompok itu. Tidak peduli warna kulit, postur tubuh, asal-usul keturunan, ajaran agama yang Anda percayai, dan kebangsaan Anda.

Kontan Anda akan melebur dalam kelompok itu secara alami dan damai. Semakin lancar dan fasih bahasa Anda, maka semakin lebur dan menyatulah Anda dengan mereka. Dan sebaliknya juga demikian.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[i] Etimologi genius dalam Latin merujuk pada kekuatan spiritual atau gaib yang membimbing orang. Demikian pula asal kata majnun dalam bahasa Arab yang artinya adalah orang yang dikuasai jin, sehingga objeknya disebut majnun.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*