Kesultanan Banten (1): Kronik Kerajaan dan Peradaban Pra Islam

in Islam Nusantara

“Banten Girang sendiri dikenal dengan nama lain “Sunda”. Penamaan Sunda ini hingga abad ke 16 M, merujuk pada bagian Jawa bagian Barat terlebih pesisir wilayah Banten.”

Sumber gambar: archive.netralnews.com

Pemerintahan Kesultanan Banten yang berlangsung sekitar 290 tahun, merupakan salah satu sejarah yang menarik untuk ditelusuri. Karena berdirinya Kesultanan ini, berawal dari kronik sejarah Nusantara yang asal muasalnya berasal dari masyarakat beragama Hindu. Kesultanan Banten secara garis besar memiliki ciri-ciri khas seperti kesultanan lainnya seperti di Sumatera, tetapi memiliki ciri khas tersendiri, yakni tradisi kerajaan Jawa dan tradisi tempat perdagangan Melayu.[1]

Kerajaan Banten Girang

Ada peradaban yang jauh lebih kuno di Banten sebelum zaman Kerajaan Pajajaran. Ini berhubungan erat dengan penemuan-penemuan peninggalan arkeolog yang disebut dengan “arca-arca Caringin”.  Menurut arkeolog arca yang ditemukan di Caringin ini, justru bukan dari zaman Kerajaan Pajajaran.  Kemungkinan besar adalah pendatang yang tinggal di pesisir tersebut dan mendirikan kerajaan Hindu, dengan sumber kekayaan dari perniagaan di Selat Sunda.[2]

Temuan arkeolog adalah berupa Candi Siwa di Gunung Pulasari dan pembangunan kompleks istana Banten Girang yang diperkirakan berasal dari abad ke 10 M, yang kemungkinan besar didirikan oleh orang-orang dari Jawa Tengah.

Banten Girang sendiri dikenal dengan nama lain “Sunda”. Penamaan Sunda ini hingga abad ke 16 M, merujuk pada bagian Jawa bagian Barat, terlebih pesisir wilayah Banten.

Zhao Rugua pada awal abad ke 13 M, menamakan “Sin-t’o” (Sunda) sebagai wilayah penghasil rempah-rempah terlebih lada. Sekitar tahun 1500 panduan pelayaran China Shunfeng xiangsong mengindentifikasikan Banten dengan nama “Wan-tan” (Banten) dan “Shun-t’a” (Sunda). Ahli geografi Arab yakni Ibn Majid dan Sulaiman, di periode waktu yang sama, menyebut “Sunda” sebagai pelabuhan paling barat di pesisir utara pulau Jawa.

Maka para sejarawan sepakat, bahwa nama Sunda bukan menunjukkan seluruh wilayah Jawa Barat (hingga abad ke 16 M), melainkan hanya wilayah Banten.

Dari hipotesis nara sumber, kerajaan yang beribukota di Banten Girang ini didirikan sekitar tahun 932 M di bawah naungan kerajaan Sriwijaya. Wilayahnya berbatasan dengan Selat Sunda, Laut Jawa, dari Bogor hingga ke Gunung Pulasari. Mencakup wilayah Kerajaan Taruma yang sudah runtuh.[3]

Nara sumber membuat tafsiran hipotesis sebagai berikut:[4]

Setelah jatuhnya kerajaan di Jawa Tengah pada sekitar 930 M, sekelompok kecil pindah ke Jawa Barat—di mana kaum-kaum elitnya berpindah ke daerah Jawa Timur. Kelompok kecil ini berasal dari daerah Sunda, Jawa Tengah. Tidak diketahui apa alasannya, tetapi daerah di mana kelompok kecil ini berpindah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.

Pada tahun 932 M, mereka mendirikan Kerajaan Banten Girang (juga disebut Kerajaan Sunda), yang patuh dan tunduk terhadap kekuasaan Sriwijaya. Kerajaan ini berada di atas wilayah Kerajaan Taruma yang telah punah dua setengah abad lalu, bersamaan dengan dibangunnya Candi Siwa di Gunung Pulasari.

Lalu 60 tahun kemudian (992-992 M), Kerajaan Banten Girang memberontak terhadap Sriwijaya. Dugaan lain yaitu, bahwa kerajaan tersebut ikut membantu kerajaan-kerajaan di Jawa yang memerangi Kerajaan Sriwijaya.

Akan tetapi, pada tahun 1016 M, Kerajaan Sriwijaya memukul balik. Sehingga raja dari Kerajaan Banten Girang terpaksa mengungsi ke daerah selatan Jawa Barat. Jayabupati, pewaris tahta kerajaan berusaha membangun kembali kerajaannya dengan meminta bantuan pada Kerajaan Airlangga.

Tidak ada catatan sejarah selama dalam kurun dua abad kemudian, sehingga keberlangsungan Kerajaan Sunda atau Banten Girang ini seperti menjadi misteri. Namun, sekitar abad ke-13 hingga ke -14 Kerajaan Banten Girang mengalami kemajuan yang pesat. Kerajaan tersebut sudah sejak lama menjalin hubungan perniagaan dengan China, dan sumber utama perdagangan adalah biji lada.

Dari hipotesis menyebutkan bahwa kemungkinan besar kekuasaan Kerajaan Sriwijaya melemah, karena memindahkan kursi kekuasaan dari Palembang ke Jambi otomatis wilayah yang di bawah kekuasaannya menjadi “kurang terkendali”.[5]

Hal ini dipaparkan oleh Zhao Rugua yang memaparkan situasi politik pada masa itu, “tak ada lagi pemerintahan yang sah di negeri ini. Para penduduk turun ke dunia penyamun. Mengetahui hal tersebut, para saudagar asing jarang pergi ke sana.”[6]

Sehingga kemungkinan besar, melihat situasi seperti ini Kerajaan Banten Girang pun memutar roda politiknya sendiri. Karena itu, perkembangan ekonomi di kerajaan tersebut mengalami masa keemasan sekitar abad ke-13 dan ke-14.

Akan tetapi, pada tahun 1400 Kerajaan Banten Girang benar-benar lenyap. Sudah dipastikan bukan karena bencana alam, melainkan karena penyerangan Kerajaan Pajajaran. Hal ini diperkuat oleh teks berbahasa Sunda Carita Parahyangan, bahwa Kerajaan Pajajaran menaklukan seluruh pelabuhan-pelabuhan pesisir utara. Salah satunya disebut “Wahanten Girang”, merujuk ke Kerajaan Banten Girang.

(Bersambung)

Catatan kaki:


[1] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008

[2] Ibid, hlm 17

[3] Ibid, hlm 19

[4] Ibid, hlm 20-25

[5] Ibid, hlm 27

[6] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*