Kesultanan Banten (10): Dinamika Sosial dan Politik Hingga ke Masa Kejayaan Sultan (7)

in Islam Nusantara

Last updated on October 27th, 2023 06:11 am

“Akan tetapi, ketegangan antara kaum bangsawan dan kaum ponggawa yang bertikai ini terus berlanjut. Hingga meletuslah peperangan saudara pada bulan Juli 1608.”

Sumber gambar: kibrispdr.org

Pemberontakan Pangeran Mandalika tidak bisa dianggap remeh, karena para pendukungnya adalah sosok-sosok ahli perang, dan pandai menggunakan senjata. Tidak sepadan dengan para ponggawa dan pedagang, yang tidak memiliki pendidikan militer. Pangeran Chamarra tak mungkin bisa menaklukkan pemberontakan para pangeran jika tak ada sokongan pasukan.

Maka Pangeran Chamarra meminta bantuan kepada penguasa Jayakarta, yakni Pangeran Wijayakrama atau sering disebut Pangeran Jayakarta.[1] Permintaan Pangeran Chamarra tentu tak mungkin ditolak, karena Pangeran Wijayakrama masih bertalian saudara dengan keluarga sultan.

Salah satu sumber menyebutkan bahwa, Pangeran Jayakarta berhutang budi kepada wali raja (Pangeran Chamarra) untuk kenaikan takhtanya, sehingga ia harus membantu sang mangkubumi di Banten. Pangeran Jayakarta membawa 1.500 pasukan, dan 1000 orang lainnya menyusul ke Banten. Ia tiba di sana pada tanggal 30 Oktober.[2]

Para pedagang khawatir jika keadaan semakin pelik, dan pihak Pangeran Mandalika justru akan memenangkan pemberontakan. Maka tumenggung (mewakili para pedagang), meminta bantuan artileri kepada bangsa Inggris.[3]

Melihat kekuatan yang begitu besar, goyahlah hati pendukung Pangeran Mandalika. Pangeran Mandalika pun menyerah, dan hanya tiga puluh orang pengikutnya yang ikut ke pengasingan.

Akan tetapi, peristiwa pemberontakan ini tak menyurutkan perpecahan antara kaum bangsawan dan ponggawa. Justru semakin memperuncing kondisi dan memburuk.

Konspirasi Melengserkan Pangeran Chamarra

Akumulasi rasa sakit hati para pangeran, menjadi penyerangan terselubung terhadap Pangeran Chamarra. Mereka tidak melakukan pemberontakan secara terbuka, tetapi melakukan pembakaran seolah peristiwa “tidak sengaja” ke keluarga kerajaan.

Kelak, pada tanggal 4 Desember 1905 M, terjadi lagi pembakaran istana Kesultanan Banten, tetapi kerusakannya tidak fatal. Sedangkan pembakaran pada tanggal 16 Juli 1607 M, hingga menghanguskan kediaman Pangeran Chamarra. Sang wali raja tersebut selamat, dan masih memegang peran sebagai mangkubumi di Kesultanan Banten.[4]

Akan tetapi, ketegangan antara kaum bangsawan dan kaum ponggawa yang bertikai ini terus berlanjut. Hingga meletuslah peperangan saudara pada bulan Juli 1608 M. Hal ini diperkuat dengan pernyataan seorang pedagang dari Belanda bernama Jacques I’Hermite, yang mengatakan bahwa perang saudara telah menghentikan semua perdagangan di kota.[5]

Meski saling berselisih, sebetulnya kaum bangsawan dan kaum ponggawa memiliki satu tujuan yang sama, yakni menyingkirkan Pangeran Chamarra—karena mereka membencinya.

Karena itu, ketika kaum ponggawa mendapat dukungan dari salah satu kaum bangsawan, yaitu Pangeran Kulon, mereka mengatur sebuah rencana penyergapan terhadap Pangeran Chamarra. Peristiwa tersebut terjadi pada 23 Oktober 1608 M, yang berakhir dengan terbunuhnya Pangeran Chamarra dan juru tulisnya. Disebutkan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh seorang adipati bernama Yudanegara, bersama para kaum ponggawa, syahbandar, dan laksamana.[6]

Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam Sajarah Banten, menjelaskan bahwa penyergapan para ponggawa justru didalangi oleh para pangeran, khususnya pemimpin mereka yang baru. Seorang pangeran bernama Aria Ranamanggala, yang merupakan saudara laki-laki berbeda ibu dari almarhum Maulana Muhammad. Bahkan pengangkatan Pangeran Aria Ranamanggala sebagai mangkubumi langsung di hari yang sama, ketika Pangeran Chamarra dinyatakan wafat.[7]

Mendapati kenyataan tersebut para ponggawa merasa telah dimanipulasi oleh kaum bangsawan, karena harapan mereka adalah Pangeran Kulon yang akan menduduki jabatan sebagai mangkubumi. Pangeran Kulon sudah tentu akan menjadi wakil bagi para kaum ponggawa, sedangkan Pangeran Ranamanggala justru tidak berpihak kepada mereka.

Dari nara sumber lain menjelaskan mengenai situasi ketika pemberontakan dan penyingkiran Pangeran Chamarra terjadi. Saat itu Pangeran Aria Ranamanggala tampil ke publik dan langsung meredam kekacauan di kerajaan. Sehingga ketika banyak suara yang mendaulatnya untuk menjadi mangkubumi, dan ia menerima permintaan tersebut. Di mana posisi ini sebetulnya memang sang pangeran kehendaki.[8]

(Bersambung)

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Afif Khoirul M, Sosok Pangeran Jayakarta Wijayakrama, Dari Bawahan Banten Hingga Tahanan Tanara, pada laman https://intisari.grid.id/read/033799476/sosok-pangeran-jayakarta-wijayakrama-dari-bawahan-banten-hingga-tahanan-tanara?page=all diakses pada 5 Oktober 2023

[2] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 117

[3] Ibid.

[4] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 118

[5] Ibid.

[6] Op. cit

[7] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 119

[8] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 69

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*