“Polemik-polemik masa pemerintahan Pangeran Aria Ranamanggala tak lantas redam begitu saja. Sang pangeran sudah menyadari adanya ancaman yang mengintai Banten.”

Naiknya Pangeran Aria Ranamanggala menjadi mangkubumi sekaligus wali raja, menyulut kemarahan kaum ponggawa.Bersama Pangeran Kulon, kaum ponggawa, tumenggung, syahbandar, seorang keling—yang disebut Andamohi Keling membuat benteng pertahanan di sekeliling pelabuhan. Mereka bertekad ingin menjadi pemenang dalam perang saudara tersebut.
Bahkan disebutkan, kelompok para ponggawa tak segan menghabisi keluarga mantan syahbandar Kiayi Wijayamanggala, yang berusaha melarikan diri menggunakan perahu.[1]
Peristiwa ini yang disebut sebagai Perang Pailir.
Meletusnya Perang Pailir
Secara harfiah arti Pailir adalah “peristiwa di hulu”, kurang lebih maknanya hampir sama dengan “peristiwa (pemberontakan) di pelabuhan”. Disimpulkan bahwa peristiwa ini merupakan pemberontakan yang dilakukan oleh para ponggawa, yang melawan pihak kaum bangsawan dan bertahan di pelabuhan.
Dari pihak kaum bangsawan mereka mempertahankan diri dan memperkuat posisi di dalam kota berbenteng. Pembentukan barak-barak dipimpin oleh para pangeran, yang selain Pangeran Aria Ranamanggala, turut serta Pangeran Gabang dan suadara laki-laki almarhum sultan lainnya.
Perang Pailir berlangsung sekitar empat bulan, dari peristiwa tersebut pimpinan tertinggi kaum ponggawa, Pangeran Kulon, berhasil merebut meriam “Ki Jajaka Tua”.[2]
Akan tetapi, kepiawaian para pangeran dalam strategi dan terbiasa dalam situasi perang, tak mampu kaum ponggawa patahkan. Peperangan tersebut berakhir dengan kemenangan para pangeran, sehingga membuat kaum ponggawa terdesak.
Kaum ponggawa yang kalah telak melakukan perundingan sebelum menyerah secara terhormat, dan memutuskan untuk mengirim utusan kepada Pangeran Jayakarta. Akhirnya, Pangeran Jayakarta mengakhiri perang tersebut dengan jalan damai antara kaum bangsawan dan kaum ponggawa.
Pangeran Jayakarta memberikan alternatif kepada para kaum ponggawa untuk mengasingkan diri ke wilayah miliknya, yakni Jayakarta. Maka para ponggawa beserta pengikutnya yang mencapai enam hingga delapan ribu orang, berhijrah ke sana.
Di tahun 1617 M, barulah beberapa tumenggung dan syahbandar kembali ke Banten, tetapi mereka tidak lagi terlibat dalam situasi politik apa pun di sana.[3]
Masa Pemerintahan Mangkubumi Aria Ranamanggala
Terlepas dari polemik ataupun isu mengenai naiknya Pangeran Aria Ranamanggala merupakan konspirasi kaum bangsawan, tetapi ia bukan sosok yang bertabiat buruk. Ia dikenal sebagai sosok muslim yang taat, teguh pendirian, pun cerdas.
Selain disegani, Pangeran Aria Ranamanggala memiliki tekad sendiri, untuk mengakhiri kemunduran politik dan perekonomian di Banten. Di mana aspek-aspek tersebut adalah harapan yang dituntut oleh para kaum bangsawan kepada Pangeran Aria Ranamanggala untuk menyelesaikannya.
Tidak dipungkiri lagi, Pangeran Aria Ranamanggala memang kandidat paling terkuat dan pantas untuk menyandang gelar mangkubumi sekaligus wali raja.
Posisi pemerintahan yang sebelumnya diduduki oleh kaum ponggawa, dalam masa pemerintahan Pangeran Aria Ranamanggala justru dipercayakan kepada para pangeran. Kali pertama dari sejarah Kesultanan Banten, posisi syahbandar kepada bangsa Tionghoa muslim bernama Kiayi Lakmoy. Yang akhirnya semenjak itu, setiap syahbandar adalah keturunan China.[4]
Polemik-polemik masa pemerintahan Pangeran Aria Ranamanggala tak lantas redam begitu saja. Sang pangeran sudah menyadari adanya ancaman yang mengintai Banten, yakni Kerajaan Mataram dengan raja baru yang ambisius—Sultan Agung, dan tentu saja bangsa asing.[5]
Melewati tahun 1609 M, Pangeran Aria Ranamanggala menyadari kekeliruannya telah meneken perjanjian niaga dengan bangsa Belanda. Di mana dalam perjanjian tersebut pihak Belanda diberi hak istimewa dagang oleh Kesultanan Banten.
Maka ia pun mengambil keputusan yang cukup radikal. Segala bentuk perniagaan oleh orang asing dinaikkan cukainya, itu harus ditaati oleh semua tanpa terkecuali. Apabila pedagang Belanda ataupun orang asing lainnya keberatan, mereka tidak perlu berniaga lagi di Banten.
Lalu di tahun 1612 M, Pangeran Aria Ranamanggala memerintahkan pembongkaran gudang besar oleh orang Belanda yang ia khawatirkan akan dipakai untuk tujuan militer. Ia pun melarang budidaya lada, dan hendak mengubahnya menjadi kerajaan agraria.[6]
Keputusan-keputusan keras yang diambil oleh Pangeran Aria Ranamanggala membuat para pedagang asing meninggalkan Banten. Akan tetapi, hal ini berdampak cukup buruk terhadap roda perekonomian di kesultanan itu sendiri.
(Bersambung)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 120
[2] Ibid.
[3] Op. cit hlm 121
[4] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 124
[5] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 70
[6] Op cit. hlm 127