“Ketika perekonomian di Banten mulai membaik, Abul Mafakhir mengirim utusan ke Mekkah pada tahun 1633 M dan kembali pada 21 April 1638 M.”

Kekhawatiran Pangeran Aria Ranamanggala akan terjadinya eksploitasi dan monopoli dagang bangsa asing, alasan-alasannya cukup relevan. Terlebih setelah mengetahui bahwa sekutu Banten, yakni Pangeran Jayakarta justru melakukan kontrak perdagangan dengan bangsa Belanda. Alangkah kecewanya wali raja Abu Mufakhir kala itu.
Akan tetapi, pengambilan keputusannya dinilai ekstrim oleh para pedagang yang masih tinggal di Banten, khususnya orang-orang Tionghoa. Komoditi utama Banten adalah lada, sedangkan Pangeran Aria Ranamanggala melarang jual-beli rempah tersebut.
Sehingga di tahun 1624 M, Pangeran Aria Ranamanggala mengundurkan diri dari jabatan, karena sakit.[1] Selain itu, Abul Mafakhir pun sudah cukup umur untuk mengatur pemerintahan. Sumber lain menambahkan turunnya Pangeran Aria Ranamanggala menanggalkan jabatannya karena tekanan dari para pedagang.[2]
Maka dimulailah era kepemimpinan sultan ke empat di Kesultanan Banten.
Masa Pemerintahan Abul Mafakhir
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir lahir di tahun 1596 M, dan dikenal dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten. Memimpin Kesultanan Banten pada tahun 1624 hingga tahun 1651 M.[3] Dalam nara sumber lain dituliskan ia wafat pada tahun 1640 M.[4] Ia menjadi sultan yang paling muda, yaitu 5 bulan, ketika ayahnya mangkat di medan perang.
Seperti harapan rakyatnya, sang sultan jauh lebih luwes mengatur pemerintahan dibandingkan oleh Pangeran Aria Ranamanggala sebagai mangkubumi. Abul Mafakhir berhasil menstabilkan kondisi perekonomian dan pemerintahan yang sempat mengalami kemunduran.
Beberapa perubahan signifikan dilakukan oleh Abul Mafakhir dalam bidang perniagaan, yakni mencabut hak istimewa para pedagang Tionghoa (yang dilakukan sebelumnya oleh Pangeran Aria Ranamanggala), sehingga perdagangan di Banten menggeliat kembali.[5]
Pada masa tersebut East India Company (EIC) mulai masuk ke Nusantara, dan semakin membukakan gerbang perdagangan Banten yang sebelumnya terisolir. Sang sultan bahkan mengundang EIC untuk membuka loji di Banten pada tahun 1628 M.[6]
Abul Mafakhir membuat terobosan dengan membangun lumbung-lumbung, membuka ladang-ladang baru, lalu yang terpenting produksi gula. Abu Mafakhir sendiri yang mengatur dan mengawasi komoditi gula di perdagangan selain lada. Hal ini diperjelas dengan adanya dokumen kontrak pertama pada Februari 1638 M. Lalu kontrak kedua pada 26 Agustus 1640 M. Sang sultan melakukan kerjasama niaga dengan bangsa Inggris untuk perdagangan gula.[7]
Ketika perekonomian di Banten mulai membaik, Abul Mafakhir mengirim utusan ke Mekkah pada tahun 1633 M dan kembali pada 21 April 1638 M. Utusan ini dipimpin para pembesar kerajaan, yakni Labe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Wakil ayahnya, Pangeran Pekik pun ikut pula dalam rombongan utusan sekaligus menunaikan ibadah haji.[8]
Tujuan utamanya adalah membawa fatwa atas kitab berjudul Marqum, Muntahi, dan Wujudiyah. Rupanya sambutan dari Mekkah begitu baik, bahkan Abul Mafakhir diberikan gelar khusus sebagai ‘Sultan’, pun hadiah-hadiah seperti kain penutup Kabah, jejak kaki Nabi Muhammad, bendera Nabi Ibrahim, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, dan beberapa lainnya. [9]
Selain mengirim utusan ke Mekkah, Abul Mafakhir mengirim utusan ke Aceh juga India, untuk memperdalam ilmu agamanya. Sultan keempat ini memiliki ketertarikan terhadap ilmu tasawuf, khususnya insan kamil. Ia pun menitahkan penyalinan kitab al-Insan al-Kamil karya Abd’ al-Karim al-Jili. Pun mempelajari kitab Nasihat al-Mulk karya al-Ghazali.[10]
Karena ketekunan dan mempraktikkan apa yang ia pelajari dari kitab-kitab agama Islam ini, Abul Mafakhir pun mendapat julukan sebagai Raja Sufi Banten.
(Bersambung)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Tirto.id, Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir; Raja Kesultanan Banten (1596 – 1651), pada laman https://tirto.id/m/abu-al-mafakhir-mahmud-abdulkadir-W4 diakses pada 10 Oktober 2023
[2] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 128
[3] Agus Prasetyo, Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596 – 1651 M), pada laman https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50472/1/AGUS%20PRASETYO-FAH.pdf diakses pada 10 Oktober 2023 hlm 1
[4] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 71
[5] Op cit. hlm 4
[6] Agus Prasetyo, Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596 – 1651 M), pada laman https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50472/1/AGUS%20PRASETYO-FAH.pdf diakses pada 10 Oktober 2023 hlm 9
[7] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 133
[8] Tirto.id, Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir; Raja Kesultanan Banten (1596 – 1651), pada laman https://tirto.id/m/abu-al-mafakhir-mahmud-abdulkadir-W4 diakses pada 10 Oktober 2023
[9] Agus Prasetyo, Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596 – 1651 M), pada laman https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50472/1/AGUS%20PRASETYO-FAH.pdf diakses pada 10 Oktober 2023 hlm 6-7
[10] Frely Rahmawati, Mengenal Sultan Abul Mafakhir, Sultan Banten Ke-4, Disebut Rajanya Sufi Banten yang Pimpin Banten Paling Lama, pada laman https://kabarbanten.pikiran-rakyat.com/pariwisata/pr-592784477/mengenal-sultan-abul-mafakhir-sultan-banten-ke-4-disebut-rajanya-sufi-banten-yang-pimpin-banten-paling-lama?page=3 diakses pada 10 Oktober 2023