“Semenjak diberlakukannya penanaman lada di tahun 1636, rakyat yang sudah terbiasa bertani, merasa keberatan. Himbauan dari Sultan bak ‘pemaksaan’ dan membuat mereka putus asa.”
daerah.sindonews.com
Hubungan perdagangan dan diplomasi Abul Mafakhir dengan bangsa Inggris cukup baik, tetapi tidak halnya dengan bangsa Belanda. Masalah politik antara Banten dan Belanda tetap menjadi kemelut. Ancaman dari Kerajaan Mataram pun semakin nyata, ketika kerajaan itu mengepakkan sayapnya untuk menguasai pulau Jawa.
Benturan Dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
Meski pelabuhan Banten terbuka bagi para pedagang asing, tetapi hubungan antara Kesultanan Banten dan orang Belanda sangat renggang. Terlebih ketika Belanda, di bawah kepemimpinan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sudah menduduki wilayah Jayakarta—yang akhirnya mereka ubah menjadi Batavia.
Bahkan di tahun 1633 M, Banten dituding telah melakukan aksi perompakan dan perampokan terhadap aset juga milik VOC di wilayah laut Jawa. Akibatnya, pihak Belanda mengirim ekspedisi militer ke wilayah kekuasaan Banten yaitu ke Anyer, Tanahara, dan Lampung. Di tahun 1634 M, pihak Belanda melakukan pengepungan terhadap istana Surosowan, dengan membuat blokade di seluruh perairan teluk Banten.[1]
Tentu saja aksi-aksi tersebut menyulut kemarahan Abul Mafakhir. Banten melakukan serangan balasan, pengepungan VOC di perairan Tanahara pun berhasil ditaklukkan di bawah pimpinan Tubagus Singaraja.
Sedangkan di perairan pelabuhan Banten, dilakukan taktik dengan membakar kapal besar di Batavia. Kapal tersebut dinamai Barungut. Peristiwa pembakaran yang dilakukan pihak Banten ini, dikenal juga sebagai Peristiwa Pabaranang. Terjadi di bulan Januari 1634 M, pada malam hari di tanggal 4 dan 5. Lalu pada tanggal 10 dan 11.[2]
Satu tahun setelah Peristiwa Pabaranang, VOC kembali membuat ‘ulah’. Di tahun 1635 M, pihak VOC menyerang kapal dagang Kesultanan Banten yang mengangkut cengkeh dari Ambon. Bagi pihak Banten sendiri ini merupakan ‘ajakan peperangan’.
Putra Abul Mafakhir, yakni Abul Ahmad Rahmatullah, mengirimkan surat diplomasi kepada Raja Charles I. Isi suratnya mengungkapkan bahwa Banten tengah berperang melawan Belanda. Sebabnya karena Belanda menembaki kapal Banten yang berniaga ke Ambon. Pun disebutkan dalam surat tersebut bahwa, orang Inggris yang berada di Banten ditembaki oleh orang Belanda.
Oleh karena itu Abul Ahmad—dikenal dengan nama Pangeran Anom, meminta bantuan senjata dan mesiu kepada Raja Inggris. Bersama surat tersebut ia mengirimkan hadiah dua ekor burung kasuari, sebilah keris, dan sepucuk tombak.[3]
Tidak ada catatan histori mengenai polemik ini, tetapi memasuki tahun 1636 terjadi masa-masa gencatan senjata antara Banten dan Belanda. Ketika Hindia Belanda dipimpin Gubernur Jenderal Anthony van Diemen yang menjabat pada 1 Januari 1636 di Batavia, situasi cenderung kondusif.[4]
Lalu terbentuk penjajakan damai antara Kesultanan Banten dan pihak Belanda pada tahun 1636 M. Meski tetap saja hubungan di antara kedua pihak bak “perang dingin”, untuk hanya meredam gejolak kebencian yang sudah tertanam.
Namun, karena gencatan tersebut, fokus Kesultanan Banten dialihkan lagi pada perniagaan kerajaan. Di tahun yang sama, Sultan mengimbau pada rakyatnya agar mulai menanam lada kembali. Lalu di tahun 1639, barulah perjanjian perdamaian disahkan antara Kesultanan Banten dan pihak VOC.[5]
Konflik Internal pada Tahun 1640 M
Semenjak diberlakukannya penanaman lada di tahun 1636, rakyat yang sudah terbiasa bertani, merasa keberatan. Himbauan dari Sultan bak ‘pemaksaan’ dan membuat mereka putus asa.
Hingga terjadilah pemberontakan para petani di tahun 1640 M, yang terjadi di desa-desa pegunungan para penghasil utama rempah. Di bawah pimpinan salah seorang saudara raja, dikirimlah 6000 pasukan menuju lokasi pemberontakan untuk memadamkannya.[6]
Di wilayah Sumatra, antara lain Silebar, Bengkulu, dan Lampung, terjadi pembelotan di sana. Mereka menjual lada secara langsung kepada pedagang asing, karena merasa pemerintahan di pusat ‘longgar’. Pemberontakan pun terjadi di sana, dan berhasil dilumpuhkan. Raja Bengkulu ditahan oleh Kesultanan Banten, begitu juga dua pemimpin pemberontak dari Lampung. Lalu dua tahun kemudian, syahbandar Silebar pun diturunkan dari jabatannya.[7]
Keadaan politik di Kesultanan Banten masih goyah, meski pihak pemerintah berusaha untuk memulihkan kondisi kerajaan.
[6] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm 252