“Utusan Abul Mafakhir kembali ke Banten, mereka menyampaikan kesan-kesannya kepada sang sultan. Para utusan menyimpulkan bahwa Banten harus bersiap-siap menghadapi Mataram.”

Kesultanan Banten berusaha bangkit dari masa-masa deklinasi, meski dibutuhkan waktu lebih dari satu dekade untuk memulihkannya. Abul Mafakhir sebagai sultan berusaha keras untuk mewujudkan Kesultanan menjadi kerajaan yang damai dan makmur bagi rakyatnya. Akan tetapi, ancaman lain pun mengintai sejak masa pemerintahan Pangeran Aria Ranamanggala, yakni usaha aneksasi oleh Kerajaan Mataram.
Permusuhan Mataram dan Banten
Meski Kesultanan Banten dan Kerajaan Mataram sama-sama kerajaan Islam, tetapi Banten sudah mengetahui ambisi Mataram yang ingin menguasai seluruh Pulau Jawa. Sebagai kerajaan yang independen, tentu Kesultanan Banten tak ingin berada dalam kekuasaan pihak mana pun.
Sehingga hubungan antara Mataram dan Banten, bisa dikatakan tidak terlalu baik. Di pulau Jawa sendiri ada tiga pihak yang saling bertikai satu sama lain, yakni VOC, Banten, dan Mataram.
Ketika Batavia diserang oleh pasukan Kerajaan Mataram di tahun 1628 M—yang kala itu raja Mataram adalah Sultan Agung, dengan segera Abul Mafakhir melakukan usaha preventif. Ia mengirimkan sejumlah pasukan ke wilayah Tanggeran dipimpin oleh Tumenggung Wirautama, agar berjaga-jaga di perbatasan. Banten tidak mau Mataram mendapat celah untuk menyerang daerah kekuasaan.[1]
Pada tahun 1629 M, Abul Mafakhir melayangkan surat diplomasi kepada Raja Charles I, melalui Kapten Marenindari Halli. Isinya menyatakan bahwa, tentara Belanda di Jayakarta dikepung oleh Mataram. Banten meminta bantuan bedil dan mesiu dari Inggris. Sebagai balasannya sang sultan mengirimkan hadiah kasa (kain tipis India) dan rambuti (kain sejenis wol) sebanyak dua kayu.[2]
Mataram mengalami kekalahan telak saat di Batavia (1629 M), dan mempertahankan wilayahnya agar jangan sampai VOC menguasai tanah kekuasaan Mataram. Karena Sultan Agung membenci Belanda.
Akan tetapi, setelah takhta diberikan kepada Amangkurat I—putra Sultan Agung, raja Mataram ini justru bersekutu dengan pihak Belanda. Amangkurat I pun mengalihkan perhatiannya pada wilayah Jawa Barat, dan ingin menguasai Cirebon juga Banten untuk tunduk kepada Mataram.
Persekutuan Mataram dan VOC, membuat kedudukan Banten cukup rentan. Terlebih saat Mataram merentangkan kuasanya terhadap Kesultanan Cirebon, dan menekan penguasanya untuk membantu menaklukkan negeri penghasil lada tersebut.
Campur Tangan Kesultanan Cirebon Ihwal Mataram dan Banten
Kesultanan Banten dan Cirebon memiliki tali silsilah kekeluargaan yang cukup erat. Hal ini disadari oleh Amangkurat I, sehingga ia membuat siasat politik untuk menguasai Banten. Ia memiliki harapan, apabila pihak dari Cirebon membujuk Banten tentu takkan ditolak, karena bagaimanapun Kesultanan Cirebon adalah ‘orangtua’ dari Kesultanan Banten.
Di tahun 1637 M, Amangkurat I meminta Sultan Cirebon, yakni Pangeran Pakungwati, untuk menjadi utusan Kerajaan Mataram ke istana Surosowan. Tujuannya adalah membujuk Abul Mafakhir agar Kesultanan Banten menjadi vasal Mataram.[3]
Sang pangeran yang kala itu tunduk pada Kerajaan Mataram pun menyetujui permintaan Amangkurat I. Pangeran Pakungwati melalaikan amanat sang kakek, yakni Panembahan Girilaya. Pesan dari Panembahan Girilaya adalah Cirebon tidak boleh ikut campur dalam polemik antara Mataram dan Banten. Dikarenakan, Cirebon dan Banten masih memiliki pertalian saudara.[4]
Pangeran Pakungwati pun pergi ke istana Surosowan, bersama Singaranu—Tumenggung dari Mataram. Kedatangan keduanya disambut dengan baik oleh Abul Mafakhir. Dalam pertemuan tersebut, Singaranu meminta kepada Sultan Banten untuk mengirim utusan ke Mataram.
Abul Mafakhir menyetujui usulan Singaranu, lalu mengirim utusannya yakni Ki Jamisah, dan Astranaya ditemani oleh Jawiring, menuju Mataram. Para utusan dari Banten disambut baik oleh pihak Mataram, tetapi menimbulkan kecurigaan.
Pada tahun-tahun tersebut, kemungkinan besar terjadi beberapa kali pengiriman utusan antara Banten dan Mataram. Memasuki dekade 1940 M, Kesultanan Banten mengirim utusan ke Mataram untuk berkoalisi, akan tetapi para utusan tidak mendapat tanggapan yang positif.[5]
Ketika setelah utusan Abul Mafakhir kembali ke Banten, mereka menyampaikan kesan-kesannya kepada sang sultan. Para utusan menyimpulkan bahwa Banten harus bersiap-siap menghadapi Mataram.
Mendengar pendapat dari para utusan, maka Abul Mafakhir mengambil keputusan besar. Ia menitahkan pembuatan gorab dan wangkang (kapal besar bergaya China; jung), sebagai bentuk pertahanan untuk melawan serangan dari Mataram.[6]
(Bersambung)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Titik Pudjiastuti, PERANG, DAGANG PERSAHABATAN. Surat-Surat Sultan Banten (Yayasan Obor Indonesia, Juli 2007) hlm 255
[2] Ibid. hlm 18
[3] Agus Prasetyo, Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596 – 1651 M), pada laman https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50472/1/AGUS%20PRASETYO-FAH.pdf diakses pada 10 Oktober 2023 hlm 79
[4] Titik Pudjiastuti, PERANG, DAGANG PERSAHABATAN. Surat-Surat Sultan Banten (Yayasan Obor Indonesia, Juli 2007) hlm 258
[5] Agus Prasetyo, Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596 – 1651 M), pada laman https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50472/1/AGUS%20PRASETYO-FAH.pdf diakses pada 10 Oktober 2023 hlm 80
[6] Op. cit. hlm 258