“Pihak Banten sendiri sudah menyiapkan 50 kapal di bawah pimpinan Astrasusila, Narapaksa, dan Wirapaksa untuk menghalau kekuatan Cirebon.”

Kesultanan Banten kembali didatangi oleh utusan dari Cirebon, yakni dua pemuda kembar bernama Jiwaprana dan Nalawangsa. Tujuan mereka tetap sama, membujuk Abul Mafakhir agar mengakui eksistensi Kerajaan Mataram. Namun, sang sultan tetap menolak permintaan mereka.[1]
Terjadinya Konflik Pacirebonan
Makna Pagarage adalah penyerangan Cirebon terhadap Banten. Garage sendiri merupakan nama lain dari Cirebon. Peristiwa Pagarage dikenal juga sebagai Pacirebonan, yang terjadi pada tanggal 22 Desember 1650, di hari terakhir bulan Ramadhan.[2]
Kronologisnya adalah sebagai berikut:
Pada tahun 1650, Abul Ahmad Rahmatullah meninggal dunia.[3] Maka putranya Pangeran Surya, diangkat menjadi sultan muda, sebagai wakil dari Abul Mafakhir.
Di tahun yang bersamaan Mataram kembali mendesak Kesultanan Cirebon untuk mendatangi penguasa Banten. Seorang sentana (keluarga kerajaan) Cirebon yakni Pangeran Martasari, datang bersama putranya dan Tumenggung Wiratantaha.[4]
Utusan Cirebon disambut dan dijamu dengan baik oleh Pangeran Surya—putra Abul Ahmad—yang yang kini menjabat sebagai Sultan Anom. Pangeran Martasari menyampaikan tujuannya, meminta Abul Mafakhir untuk menemui penguasa Mataram. Akan tetapi, sang sultan menampik permintaan tersebut. [5]
H.J. de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I menulis sebagai berikut, “Sultan Banten tidak mau mengakui raja mana di atasnya selain Sultan Mekah, yang sering mengirimkan surat kepadanya berisi pelajaran-pelajaran yang berhikmah.”[6]
Pendirian Abul Mafakhir tidak dapat diganggu gugat, dan upaya Cirebon lagi-lagi gagal.
Rupanya pihak Mataram tidak bisa menerima kegagalan demi kegagalan, dan merasa disepelekan oleh Kesultanan Banten. Hal tersebut membuat Kerajaan Mataram menekan pihak Cirebon. Singaranu meminta bukti kesetiaan kepada Pangeran Martasari kepada Kerajaan Mataram. Mendesak Kesultanan Cirebon mengangkat senjata, dan melakukan agresi menuju Banten.[7]
Mataram memanfaatkan Cirebon dengan menunggangi pemerintahan mereka untuk menyerang Banten, dan membuat penguasa Cirebon berada dalam kondisi serbasalah. Hingga akhirnya tekanan dari Mataram terpaksa disetujui. Sebetulnya pihak Cirebon sendiri tak ingin melawan Banten, karena bagaimanapun juga mereka satu keturunan dari Sunan Gunung Jati.[8]
Pada tanggal 22 Desember 1650, Pangeran Martasari didampingi Ngabei Panjangjiwa membawa 60 armada kapal menuju ke wilayah Banten. Pihak Banten sendiri sudah menyiapkan 50 kapal di bawah pimpinan Astrasusila, Narapaksa, dan Wirapaksa untuk menghalau kekuatan Cirebon.[9]
Tiba di pelabuhan Tanahara, Astrasusila menunggu dan bersembunyi di Tanah Gede. Sedangkan Narapaksa, dan Wirapaksa menempatkan pasukan mereka di Muara Pasiliyan.
Pasukan Ngabei Panjangjiwa yang tiba lebih dulu disergap dan berhasil dilumpuhkan. Ia menyerah pada Narapaksa dan Wirapaksa, lalu dibawa ke menemui penguasa Banten. Tidak ada yang disakiti dalam peristiwa ini, bahkan Ngabei Panjangjiwa diberi pengampunan.
Akan tetapi, berbeda dengan keesokan harinya.
Pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Martasari hanya melihat senjata-senjata terapung di air, ketika mereka tiba. Tak mengetahui bahwa Ngabei Panjangjiwa dan prajuritnya sudah dilumpuhkan.
Armada Pangeran Martasari disergap oleh Astrasusila. Kapal-kapal mereka pun dirampas, para awak kapal dibelenggu, ditangkap, dan diturunkan di padang Sumur Angsana. Hanya kapal yang dipimpin oleh Pangeran Martasari yang selamat.
Dalam penuturan de Graaf menuliskan, “Di sana (padang Sumur Angsana) mereka dibunuh, sekalipun mereka minta ampun. Kepala mereka dikirim ke Surosowan.”[10]
Atas peristiwa tersebut, Abul Mafakhir marah besar karena kekejaman pasukannya terhadap rakyat Cirebon. Bagaimanapun mereka tetap saudara, tidak semestinya diperlakukan sekeji itu. Terlebih peperangan tersebut dilakukan di hari ke 30 Ramadhan, merupakan bulan yang suci.
Mengenai murkanya sang sultan, tertulis dalam Sajarah Banten pupuh ke-53: “Pangeran Martasari bersama pasukannya menyerbut Banten, tetapi Banten berhasil mempertahankan diri, bahkan pasukan Cirebon dikalahkan. Rakyat Cirebon banyak yang mati. Sultan Banten marah karena kelakukan rakyatnya yang kejam kepada Cirebon. Peristiwa penyerbuan Cirebon ke Banten ini disebut Pacirebonan atau Pagarage.”[11]
Akibat peristiwa Pagarage, hubungan Banten-Cirebon merenggang. Kesultanan Banten sangat kecewa terhadap kerajaan yang masih satu saudara, memilih menyerang demi permintaan Mataram. Selama tahun-tahun berikutnya, persaudaraan di antara kedua kerajaan ini menjadi dingin.
(Bersambung)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Hendri F. Isnaeni, Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadhan, pada laman https://historia.id/militer/articles/perang-banten-cirebon-di-akhir-ramadan-vXjb5/page/1 diakses pada 10 Oktober 2023
[2] Duo Saudara TV, Perang Saudara – Banten vs Cirebon, pada laman https://www.youtube.com/watch?v=BXGJI04U2Ns diakses pada 10 Oktober 2023
[3] Titik Pudjiastuti, PERANG, DAGANG PERSAHABATAN. Surat-Surat Sultan Banten (Yayasan Obor Indonesia, Juli 2007) hlm 277
[4] Hendri F. Isnaeni, Op. Cit.
[5] Titik Pudjiastuti., Op. Cit. hlm 259
[6] Hendri F. Isnaeni, Loc. Cit.
[7] Titik Pudjiastuti, Loc. Cit.
[8] Duo Saudara TV, Op. Cit.
[9] Agam Pamungkas Lubah, Perang Banten vs Cirebon (Peristiwa Pagarage) Part 2, pada laman https://www.posoline.com/perang-banten-vs-cirebon-peristiwa-pagarage-part-2/ diakses pada 10 Oktober 2023
[10] Agam Pamungkas Lubah, Ibid.
[11] Titik Pudjiastuti, Loc. Cit.