“Karena kegigihannya melawan VOC, ia dianugerahi gelar sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia. Orang-orang mengetahuinya sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.”

Di usia 55 tahun Abul Mafakhir mangkat setahun setelah peristiwa Pagarage, di tahun 1651. Ia dimakamkan di samping makam putranya, Abul Ahmad, dan sang ibu, Ratu Wanagiri.[1] Masa-masa keterpurukan Kesultanan Banten berhasil diatasi oleh sultan keempat ini. Akan tetapi, puncak kejayaan Kesultanan Banten justru berada dalam tangan sang cucu, ketika Pangeran Surya menduduki takhta.
Masa Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
Pangeran Adipati lahir pada tahun 1631 M, ia dikenal juga dengan sebutan Pangeran Surya. Sepeninggal sang kakek, ia menduduki takhta Kesultanan Banten. Masa periode jabatan Pangeran Adipati dimulai pada tahun 1651 M hingga 1683 M.
Ketika naik ke atas takhta, ia menggunakan gelar nama yang diberikan oleh Sultan di Mekkah, yakni Sultan Abul Fath Abdul Fattah. Nama tersebut ia dapatkan setelah mengirim surat kepada sang sultan di Mekkah, untuk mengabarkan bahwa Abul Mafakhir telah wafat. Dan Pangeran Adipati kini diangkat menjadi sultan. Ia meminta nama dan gelar kepada Sultan Mekkah.[2]
Karena kegigihannya melawan VOC, ia dianugerahi gelar sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia. Orang-orang mengetahuinya sebagai Sultan Ageng Tirtayasa. Ia adalah sosok yang cerdas, berpendirian keras, dan memiliki cita-cita besar untuk membangun Banten. Hal itu ia wujudkan dengan kerja keras, sehingga Kesultanan Banten berada dalam puncak kejayaannya, di masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pengembangan Sektor Agraria
Pembangunan pertama di sektor pertanian dan pangan terjadi pada tahun 1659 M. Sultan Ageng Tirtayasa menitahkan penanaman pohon kepala muda di daerah Sungai Ontong Jawa (Cisadane), yang berbatasan dengan wilayah Batavia.[3]
Tujuan penanaman pohon kelapa ini, tak hanya untuk proyek pengembangan daerah yang lebih luas. Akan tetapi, sebagai salah satu bentuk politik pertahanan Kesultanan Banten, dari ancaman orang-orang Belanda di Batavia. Meski mereka sudah menandatangani perjanjian damai.
Empat tahun kemudian (1663 M), Sultan Ageng Tirtayasa menitahkan penggalian terusan yang menghubungkan Sungai Tanara ke Sungai Pasilian (Cimanceuri). Dengan dibuatnya terusan ini, akan memudahkan transportasi untuk pengangkutan hasil bumi. Selain itu, akan membuka lahan-lahan pertanian yang baru, karena adanya sarana irigasi yang memadai.[4]
Kawasan proyek pertanian tersebut dikatakan “sebagai negeri datar yang indah yang ditanami padi”, merupakan suatu bukti keberhasilan sang sultan.
Di tahun 1664 M, sang sultan menitahkan pembangunan dua proyek pengairan. Salah satunya adalah bendungan, untuk mengantisipasi kekeringan di musim kemarau.
Beberapa tahun berikutnya, dibangun terusan baru antara Pontang dan Tanara. Tujuannya untuk mengubah lahan terlantar menjadi pesawahan. Proyek pembangunan ini, ditunjuk Kiayi Ngabehi Wanangsala (salah satu ipar laki-laki sang sultan) sebagai pemimpinnya.[5]
Sultan Ageng Tirtayasa ikut melibatkan diri dalam setiap pembangunan proyek. Ia pun mengundang para bangsawan, pejabat pemerintah untuk menyusulnya di tempat pembangunan. Sang sultan tampak melakukan berbagai upaya bahwa proyek yang ia lakukan sebagai “kepentingan nasional”, sehingga baik penduduk maupun kaum elit—agar memberikan teladan terhadap masyarakat—ikut serta sepenuhnya.
Proyek-proyek lainnya dibangun pada tahun-tahun berikutnya. Di tahun 1671 M, pembukaan hutan untuk dijadikan lahan penanaman pohon kelapa. Lalu tahun yang sama pada bulan November, dibangun terusan antara Pontang dan Tanara.
Pada tahun 1673, sang sultan memesan dua watermolentjes (kincir air atau pompa rantai), yang ia kirimkan ke Pontang. Tak lama berselang, ia pun memesan sepuluh buah lagi, yang dipasangkan di daerah pegunungan Tanara. Proyek pertanian terakhir yang skalanya cukup besar adalah sebuah bendungan. Sultan Ageng Tirtayasa menitahkan membelokkan aliran air Sungai Tanara ke terusan Tirtayasa, selama musim kemarau di tahun 1677 M.[6]
Di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten menjadi satu wilayah yang kuat di bidang pertanian. Dengan dibukanya lahan-lahan baru pertanian, terusan pengairan, membuat wilayah Banten tidak hanya terpusat di ibukota. Penduduk menyebar dan tinggal di tempat-tempat baru, sehingga jumlah penduduk yang semula 150.000 jiwa meningkat menjadi 200.000 jiwa di akhir masa kepemimpinan sang sultan.
(Bersambung)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Agus Prasetyo, Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596 – 1651 M), pada laman https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50472/1/AGUS%20PRASETYO-FAH.pdf diakses pada 10 Oktober 2023 hlm 81
[2] Titik Pudjiastuti, PERANG, DAGANG PERSAHABATAN. Surat-Surat Sultan Banten (Yayasan Obor Indonesia, Juli 2007) hlm 260
[3] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm 156
[4]Claude Guillot, Ibid. hlm 157
[5] Claude Guillot, Op Cit. hlm 161
[6] Claude Guillot, Loc Cit. hlm 169