Kesultanan Banten (18): Puncak Kejayaan Kesultanan (2)

in Islam Nusantara

Last updated on November 14th, 2023 05:07 am

“Sultan Ageng Tirtayasa berharap putranya akan meneruskan perjuangan yang selama ini dilakukan. Akan tetapi, sikap Sultan Haji di luar ekspetasi sang ayah.”

Gambar ilustrasi. Sumber: merdeka.com

Permusuhan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan VOC semakin meruncing dari waktu ke waktu. Sikap penguasa Banten ini bukan tidak ada alasan, karena VOC melakukan berbagai tindakan ‘curang’ dengan memblokade pelabuhan Banten. Kapal-kapal dagang dari luar negeri, mengalami kesulitan untuk berlabuh di Banten, karena perbuatan VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa membalas VOC dengan merusak kebun-kebun tebu, menghancurkan bangunan dan instalasi milik VOC yang berada di wilayah Banten. Sehingga pihak VOC kewalahan untuk melawan agresi dari Banten yang keras.

VOC menawarkan perdamaian dengan mengirim hadiah-hadiah kepada penguasa Banten. Namun, Sultan Ageng Tirtayasa menolak, karena menganggap tawaran tersebut hanya akan merugikan Banten di kemudian hari. Agresi terus dilakukan oleh pihak Banten, di mana sang sultan mendapat suplai senjata dari beberapa negara di Eropa, salah satunya Denmark.[1]

Konflik demi konflik antara Banten dan VOC sejak tahun 1656 M. Hingga pada tahun 1659 M, VOC di Batavia menawarkan perjanjian dan gencatan senjata.[2] Pada sumber lain disebutkan perjanjian yang memiliki sepuluh pasal ini terjadi di tahun 1658 M.[3]

Ketika Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal untuk diubah, VOC menolaknya. Gencatan senjata tidak berlangsung lama. Sehingga penguasa Banten mengambil keputusan akhir, bahwa tidak mungkin bisa terwujud perdamaian dengan VOC. Sultan Ageng Tirtayasa menyatakan perang terhadap VOC pada 11 Mei 1658 M, yang disebut sebagai perang suci atau jihad.[4]

Banten merupakan lawan yang tangguh, dan sulit untuk VOC kalahkan. Namun, VOC mendapat celah untuk menghancurkan penguasa Banten, yakni politik adu domba.

Konflik Internal Dalam Kesultanan

Ketika gencatan senjata terjadi, VOC melancarkan politik diplomatik kepada Kesultanan Cirebon dan Mataram, dan mengajukan kerjasama. Kesultanan Mataram yang saat itu dipimpin oleh Amangkurat II, akhirnya memiliki hubungan yang sangat erat dengan VOC. Karena penguasa Mataram ingin meredamkan pemberontakan di dalam wilayahnya, dan meminta bantuan VOC.[5]

Sedangkan Kesultanan Cirebon sudah tunduk di bawah kuasa VOC, disebabkan oleh penguasanya yang tidak tegas, dan tak mampu melawan bangsa Belanda tersebut. Ketika dua kerajaan sudah berada dalam genggaman VOC, membuat Kesultanan Banten dalam posisi terhimpit.

Harapan Sultan Ageng Tirtayasa adalah sang putra mahkota, Abun Nashar Abul Kahaar, yang diutusnya ke Mekkah bisa meneruskan perjuangan yang selama ini dilakukan. Sekembalinya Abun Nashar—dikenal dengan nama Sultan Haji—dari Mekkah di tahun 1674 M, justru sikapnya di luar ekspetasi. Sultan Haji justru lebih condong membela VOC.[6]

Pada sumber lain disebutkan Sultan Haji kembali ke Banten pada tahun 1676 M.[7] Sikap Sultan Haji yang justru menjauh dari ayahnya dipicu karena hasutan dari pihak Belanda.

Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, untuk mengurus urusan kesultanan. Sultan Haji mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan sang adik membantu Sultan Ageng Tirtayasa mengurus urusan luar negeri, dan tinggal di istana Tirtayasa.

Tugas-tugas yang sebelumnya diberikan pada Sultan Haji saat pergi ke Mekkah, diemban oleh sang adik, Pangeran Purbaya. Namun, Sultan Haji tidak menyangka bahwa Pangeran Purbaya justru mendapatkan kekuasaan yang semakin besar.

Sultan Haji merasa posisinya terancam oleh sang adik, dan terhasut oleh pihak VOC. Bahwa Pangeran Purbaya justru yang akan naik takhta, terlebih Sultan Ageng Tirtayasa belum juga mengukuhkan Sultan Haji sebagai penguasa Banten berikutnya.

Sultan Ageng Tirtayasa bekerjasama dengan Trunojoyo, yang memberontak terhadap Amangkurat II (sekitar tahun 1678 M). Sultan Banten membantu Trunojoyo, karena sama-sama ingin menyingkirkan VOC dari Nusantara, dan mengirimkan kapal-kapal niaga dari Banten. Sehingga dianggap sebagai perdagangan ilegal oleh pihak VOC.[8]

Pada tahun 1680 M ketika kapal dagang Banten kembali dari Jawa Timur, kapal tersebut ditangkap oleh pihak VOC. Awak kapalnya disiksa dan dianiaya, sehingga menyulut kemarahan Sultan Ageng Tirtayasa. Namun, Sultan Haji justru menentang sang ayah yang hendak menyerang VOC.

(Bersambung)

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Dr. Johan Setiawan M. pd, Sultan Ageng Tirtayasa Perjuangannya Dalam Menghadapi VOC, pada laman https://www.academia.edu/35889257/SULTAN_AGENG_TIRTAYASA_PERJUANGANNYA_DALAM_MENGHADAPI_VOC diakses pada 20 Oktober 2023, hlm 6

[2] M.C. Rickfleft, A History of Modern Indonesia since c. 1200 Third Edition, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Satrio Wahono, Bakar Bilfagih, Hasan Huda, Miftah Helmi, Joko Stutrisno, Has Manadi, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 (PT. SERAMBI ILMU SEMESTA anggota IKAPI, cet-3 2007 versi pdf), hlm 181

[3] Dr. Johan Setiawan M. pd, Op. Cit, hlm 7

[4] Dr. Johan Setiawan M. pd, Loc. Cit

[5] M.C. Rickfleft, Op. Cit, hlm 176

[6] Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam (Pustaka Nasional PTE LTD Singapura) hlm 873

[7] Dr. Johan Setiawan M. pd, Loc. Cit, hlm 8

[8] M.C. Rickfleft, Op. Cit, hlm 876

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*