“Maulana Hasanuddin telah membuat perekonomian yang makmur bagi Banten, dengan menjadikan daerah tersebut sebagai bandar perdagangan lada. Di bawah kepemimpinannya, wilayah Banten dijadikan pusat perkembangan agama Islam di Jawa Barat. Ia pun berusaha menyebarkan agama Islam dengan tiga perubahan yang penting.”

Setelah direbutnya pelabuhan oleh Sunan Gunung Jati dengan pasukan dari Demak, tidak semudah itu Islam diterima oleh masyarakat sekitar. Terlebih sebagian wilayah Banten masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di bawah pimpinan Prabu Pucuk Umum—putra dari Prabu Sidaraja Pajajaran. Sunan Gunung Jati secara berangsur-angsur menyebarkan Islam di Banten, dan akhirnya menaklukan pemerintahan Prabu Pucuk Umum di tahun 1524 – 1525 M.[1]
Selanjutnya, Kesultanan Banten tercatat sebagai kerajaan Islam pertama yang ada di Jawa Barat.
Masa Kepemimpinan Sultan Pertama
Pusat pemerintahan yang awalnya berada di Banten Girang, dipindahkan ke pelabuhan Banten, yakni daerah yang disebut Surosowan (Banten lor). Maulana Hasanuddin adalah Sultan pertama yang berkuasa selama 18 tahun, dari tahun 1552 – 1570 M.[2]
Di bawah kepemimpinan Maulana Hasanuddin, jalur pelayaran di Selat Sunda menjadi ramai. Di mana banyak para pedagang asing singgah, dan roda perekonomian menjadi lebih baik. Selain itu, ia pun melebarkan kekuasaan Kesultanan Banten hingga ke daerah penghasil lada di Lampung. Di mana daerah ini memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan Jawa Barat.[3]
Maulana Hasanuddin telah membuat perekonomian yang makmur bagi Banten, dengan menjadikan daerah tersebut sebagai bandar perdagangan lada.
Di bawah kepemimpinan Maulana Hasanuddin, wilayah Banten dijadikan pusat perkembangan agama Islam di Jawa Barat. Ia pun berusaha menyebarkan agama Islam dengan tiga perubahan yang penting.
Pertama, mengubah sistem politik yang bercorak non Islam (Hindu-Budha), dengan politik nuansa Islam. Dimana Banten yang sebelumnya merupakan wilayah kadipaten dari Kerajaan Pajajaran, menjadi negara berdaulat.
Kedua, memadukan kebudayaan Islam dengan budaya sebelumnya yakni Sunda-Hindu. Tujuannya adalah memperkenalkan agama Islam secara perlahan, agar lebih mudah diterima oleh masyarakat Banten kala itu.
Ketiga, pemindahan pusat pemerintahan di Surosowan, karena wilayah pesisir sangat potensial untuk perkembangan ekonomi. Selain itu karena di pusat pemerintahan tinggal berbagai etnik dan bangsa, masyarakatnya memiliki toleransi terhadap agama lain, meski mayoritas sudah memeluk agama Islam. Adanya bangunan berupa kelenteng di Kampung Pecinan yang dihuni etnik Tionghoa, merupakan salah satu bentuk toleransi masyarakat Banten.[4]
Masa Kepemimpinan Sultan Kedua
Maulana Hasanuddin wafat di tahun 1570 M, sehingga tampuk kepemimpinan Kesultanan Banten diberikan kepada putranya, yakni Maulana Yusuf. Sultan kedua memiliki julukan lain, yakni Pangeran Penembangan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Masa pemerintahan Maulana Yusuf terbilang singkat, hanya satu dekade dari 1570 – 1580 M.
Dalam masa kepemimpinannya, Maulana Yusuf melakukan beberapa perkembangan dalam berbagai aspek di Kesultanan Banten. Pertumbuhan pemukiman dan pembangunan perkampungan, tak luput dari perhatiannya. Kampung Kasunyatan adalah salah satu warisan dari Maulana Yusuf. Yakni sebuah dusun yang dibentuk untuk komunitas para ulama dan menjadi pusat keilmuan Islam.[5]
Ia pun mengembangkan keamanan wilayah dengan membangun benteng, dan menetapkan batas wilayah Banten dengan Cirebon. Batasnya adalah Sungai Citarum dari muara hingga ke pedalamannya (Cianjur).[6]
Selain mengembangkan suksesi ayahnya di perdagangan, ia pun menaruh perhatian pada bidang pertanian. Maulana Yusuf membangun kanal, bendungan, juga irigasi di mana ekspansi pertanian meluas hingga ke daerah Serang. Aliran sungai Cibanten ia manfaatkan untuk membuat danau buatan, yang dikenal sebagai Tasikardi.[7]
Pencapaian terbesar Maulana Yusuf adalah menaklukkan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1579. Selain mengakhiri konflik dengan kerajaan tersebut, tujuannya adalah ekspansi wilayah Kesultanan Banten dan menyebarkan agama Islam. Runtuhnya Kerajaan Pajajaran, menjadikan Islam sebagai agama yang paling terbesar dan tersebar di wilayah Jawa Barat.
Akhir takhta Maulana Yusuf disebabkan karena ia mengalami sakit keras, dan wafat pada tahun 1580. Jenazahnya dimakamkan di Kampung Pasunyatan.
Sepeninggal Maulana Yusuf, terjadi konflik internal di dalam Kesultanan Banten. Penerus tahta yakni Maulana Muhammad masih berumur 9 tahun, yang tidak dimungkinan untuk anak di bawah umur diangkat menjadi sultan. Hal ini menimbulkan perdebatan, bahkan terjadinya percobaan perebutan kekuasaan oleh adik dari Maulana Yusuf.[8]
(Bersambung)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Serangkab go.id, Sejarah, pada laman https://serangkab.go.id/sejarah#:~:text=Pemerintahan%20Kesultanan%20Kerajaan%20Banten%20yang,Hasanuddin%20pada%20tanggal%201%20Muharram diakses pada 20 September 2023
[2] Ibid.
[3] Angga Dian Toro, Kesultanan di Jawa (Maraga Borneo Tarigas, Kalimantan Barat), di Ipusnas epub, diakses pada 20 September 2023
[4] Ibid.
[5] Ela Yulastini, Lisa, Analisis Perkembangan Sejarah Kesultanan Banten Pada Masa Pemerintahan Maulana Yusuf (1570 – 1580), pada laman https://online-journal.unja.ac.id/krinok/article/view/25514/16336 diakses pada 20 September 2023
[6] Bachtiar Rifa’i, Maulana Yusuf Sultan ke-2 Banten yang Berhasil Menaklukkan Kerajaan Sunda, pada laman https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5535794/maulana-yusuf-sultan-ke-2-banten-yang-berhasil-menaklukkan-kerajaan-sunda diakses pada 20 September 2023
[7] Ibid.
[8] Naufal Fawwaz Dzaki, Makalah Sejarah dan Budaya Banten (Sultan Maulana Muhammad), pada laman https://www.academia.edu/40765307/Makalah_Sejarah_dan_Budaya_Banten_Sultan_Maulana_Muhammad_ diakses pada 20 September 2023