“Timbul perpecahan yang tak terelakkan antara golongan yang mendukung Aria Jepara, dengan golongan yang membela putra mahkota, yakni Maulana Muhammad.”

Kedatangan Aria Jepara, adik dari Sultan Maulana Yusuf, ke Banten membawa konflik internal yang cukup pelik pada masa itu. Disebutkan bahwa Aria Jepara hendak melihat kondisi kesehatan sang kakak, tetapi yang mengherankan ia membawa pasukan. Rupanya, Pangeran Jepara itu memiliki motif lain.[1]
Friksi Pasca Sultan Kedua Wafat
Mendengar kabar Sultan Maulana Yusuf kondisi kesehatannya menurun, dan belum ada pengganti, Aria Jepara bergegas datang ke Banten. Entah dia hendak meminta atau merebut takhta, tetapi tujuannya adalah mengambil kekuasaan Kesultanan Banten. Padahal Panembahan Yusuf, julukan lain sang sultan, masih terbaring lemah dan belum wafat.
Aria Jepara pandai merebut hati dan “bertabur uang”, sehingga ia langsung mendapat dukungan besar, untuk menduduki takhta. Terlebih yang mendukungnya merupakan pembesar istana, aristokrat termasuk Mangkubumi (perdana menteri). Sedangkan Maulana Muhammad yang masih berumur 9 tahun, nyaris tidak mempunyai dukungan dari siapa pun.[2]
Namun, seorang Kadhi (hakim agung) tidak jatuh dalam tipu daya Pangeran Jepara yang ambisius. Ia sosok yang tidak memiliki motivasi pada takhta kerajaan, bahkan Kadhi terkenal sangat bijak, ia pun disokong penuh oleh Sunan Kali Nyamat di Jawa Timur. Kadhi justru menolak Aria Jepara menggantikan Maulana Yusuf, justru mendukung putranya yang masih kecil untuk menduduki takhta.[3]
Akhirnya terjadi friksi dalam internal Kesultanan Banten. Timbul perpecahan yang tak terelakkan antara golongan yang mendukung Aria Jepara, dengan golongan yang membela putra mahkota, yakni Maulana Muhammad.
Aria Jepara memang menguasai hati para penguasa di Banten, tetapi Kadhi justru memenangkan hati rakyat jelata. Sedangkan rakyat sangat berperan besar ketika Maulana Yusuf memperluas wilayah Banten, dan rakyat sangat setia kepada Panembahan Yusuf.
Mengetahui bahwa Kadhi justru menentang niatnya, Aria Jepara marah. Dengan pasukan yang dibawanya, ia maju untuk menyerang. Aria Jepara dengan para pendukungnya mengepung istana, bahkan Mangkubumi Jayanagara berniat menyerahkan takhta kepada adik almarhum sultan.[4]
Entah apa motivasi Mangkubumi Jayanagara bersikap demikian, kemungkinan karena kekhawatiran akan takhta Kesultanan yang kosong dan akan mempengaruhi stabilitas kerajaan.
Namun, Kadhi tidak gentar. Ia terus mempertahankan Maulana Muhammad di bawah perlindungannya, bersama para wali dari sang pangeran. Pendukung dan utusan Aria Jepara datang dan hendak mengambil alih istana, bahkan hendak menculik putra mahkota. Sayangnya, usaha mereka gagal karena dihadang oleh Kadhi.
Akhirnya diutus perwakilan Aria Jepara, karena sulitnya para pendukung sang pangeran untuk menembus pertahanan Kadhi. Lalu terjadi pembicaraan antara Kadhi dengan para utusan, di mana Kadhi mengatakan bahwa ia tidak ada keinginan untuk menguasa takhta. Justru Kadhi berharap jangan sampai ada kecurangan dan perampasan hak oleh yang tidak berhak. Karena Panembahan Yusuf memiliki keturunan yang akan meneruskan takhtanya.
Mangkubumi beralasan bahwa Maulana Muhammad masih belia, tidak mungkin bisa mengatur pemerintahan. Hal tersebut dijelaskan oleh Kadhi, selama Maulana Muhammad belum dianggap baligh, maka para Mangkubumi yang memegang peranan tersebut.[5]
Apa yang dipaparkan oleh Kadhi membuat Mangkubumi berubah pendirian, mereka menyadari kekeliruan selama ini. Maka Mangkubumi menyetujui bahwa Maulana Muhammad memang pewaris takhta, bukan Aria Jepara. Sehingga para kaum elit yang sebelumnya mendukung Aria Jepara, akhirnya mendukung Kadhi dan putra mahkota.
Aria Jepara yang sebelumnya nyaris menguasai istana, mendapat pukulan balik. Pertempuran sengit yang terjadi di luar istana, pada akhirnya dimenangkan oleh pihak Maulana Muhammad. Bahkan Ki Demang Laksamana yang mendukung Aria Jepara, tewas di tangan Mangkubumi. Melihat situasi tidak lagi berpihak padanya, maka Aria Jepara mundur dan melarikan diri kembali ke Jepara. [6]
Maka berakhirlah persengketaan di dalam Kesultanan Banten, berkat kegigihan Kadhi yang memegang teguh prinsip, dan menjaga amanat dari Panembahan Yusuf sebelum wafat.
Maulana Muhammad yang kala itu berusia 9 tahun dinobatkan sebagai sultan ketiga. Karena masih di bawah umur, maka Maulana Muhammad berada dalam perwalian Mangkubumi Jayanagara. Selama Maulana Muhammad di bawah pengawasan dan pendidikan para wali, diangkatlah Mangkubumi Jayanagara sebagai pengatur urusan pemerintahan.
Konon, Mangkubumi Jayanagara setelah ditunjuk menjadi wali Maulana Muhammad ia bersikap sangat bijaksana dan lembut. Ia melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, hingga waktunya Maulana Muhammad dewasa dan menjadi sultan.[7]
(Bersambung)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Naufal Fawwaz Dzaki, Makalah Sejarah dan Budaya Banten (Sultan Maulana Muhammad), pada laman https://www.academia.edu/40765307/Makalah_Sejarah_dan_Budaya_Banten_Sultan_Maulana_Muhammad_ diakses pada 20 September 2023
[2] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 58
[3] Ibid.
[4] Op cit.
[5] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 59
[6] Op cit.
[7] Op cit.