Kesultanan Banten (5): Dinamika Sosial dan Politik Hingga ke Masa Kejayaan Kesultanan (2)

in Islam Nusantara

“Konon sang sultan muda senang disanjung dan cenderung gila hormat. Bahkan pendapat ataupun nasihat dari Mangkubumi Jayanagara sama sekali tak diindahkan oleh Maulana Muhammad.”

Sumber: donisaurus

Surosowan adalah nama istana yang dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin sesuai dengan titah ayahnya Sunan Gunung Jati. Di istana inilah, Maulana Muhammad menjalani masa kecilnya dengan tenang, di bawah bimbingan para wali dan Mangkubumi Jayanagara setelah mundurnya Aria Jepara.

Masa Kesultanan Maulana Muhammad

Maulana Muhammad bin Maulana Yusuf Panembahan adalah sultan terakhir yang diberi nama Maulana seperti ayah dan kakeknya. Gelar Maulana berarti tuan atau penguasa, karena dari keturunan Sunan Gunung Jati inilah pengaruh Islam di masyarakat Banten meluas.

Selain gelar Maulana yang disematkan pada namanya, Maulana Muhammad pun mendapat gelar lain setelah diangkat menjadi sultan, yakni Kanjeng Ratu Banten. Ia mangkat dalam usia yang masih terbilang muda yaitu 25 tahun. [1]

Dalam sumber lain, Maulana Muhammad menyandang sebagai sultan ketiga di istana Surosowan sejak 1580 – 1605 M, dan mendapat gelar Kanjeng Ratu Bantam.[2]

Setelah Maulana Muhammad dewasa dan seluruh masalah pemerintahan diemban kepadanya, ia meneruskan apa yang telah dibangun oleh para sultan terdahulu. Ia tetap mempertahankan sistem pemerintahan yang egaliter, dan memperkuat perekonomian Banten yang terkenal dengan hasil biji lada.

Situasi politik yang terjadi pada masa pemerintahan Maulana Muhammad terkonsentrasi pada dua permasalahan, yakni kedatangan Belanda dan ekspansi daerah Palembang.

Cornelis de Houtman tiba di tanah Banten pada 27 Juni 1596 setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, dengan 4 kapal dan 249 awak tersisa. Ia bertujuan melakukan ekspedisi mencari pulau-pulau rempah di dunia Timur, yang ia ketahui bahwa Bantam (Banten) adalah salah satunya.[3]

Tibanya de Houtman di Banten disambut baik oleh Maulana Muhammad, karena tujuan de Houtman adalah untuk berniaga—ia datang mewakili serikat saudagar Belanda yang bernama Compagnie van verre te Amsterdam. Akan tetapi, sifat congkak de Houtman, juga tabiat buruk para awak kapal dan tak menghormati masyarakat setempat membuat sang sultan menjadi ‘tidak simpatik’.

Terjadi peristiwa bentrokan antara de Houtman dan orang Banten, dengan kekalahan di pihak Belanda. Beberapa awak mereka ditahan, tetapi pada akhirnya dilepaskan setelah de Houtman membayar uang tebusan sebesar F. 45.000. Lalu orang Belanda pun diusir dari tanah Banten, meski beberapa tahun kemudian ekspedisi kedua dari Belanda diperkenankan berniaga dengan Banten.[4]

Alasan lain yang membuat Maulana Muhammad mengusir Belanda dari wilayah kekuasaannya adalah pengaruh dari Pangeran Mas. Bahkan Pangeran Mas setelah diangkat menjadi kepala perang, secara terang-terangan ia menantang Belanda. Pertempuran dan pengusiran orang Belanda dari Banten pun, dipimpin oleh Pangeran Mas kala itu.

Akan tetapi, para pembesar di kerajaan merasakan ada sesuatu yang janggal. Sikap Pangeran Mas yang antipati terhadap Belanda, justru sebaliknya pada Portugis. Sedangkan keberadaan kedua bangsa tersebut di Banten sama berbahayanya—karena sama-sama berkompetisi ingin menguasai perniagaan lada.[5]

Sikap Pangeran Mas yang ‘timpang’ ini tidak membuat pembesar kerajaan membangkang, tapi tetap menghormati sang pangeran. Karena bagaimanapun Pangeran Mas berjasa atas terusirnya de Houtman dari tanah Banten.

Lalu siapa Pangeran Mas?

Pangeran Mas adalah putra dari Aria Pangiri, keturunan dari Demak. Aria Pangiri adalah raja yang tersingkirkan dari takhtanya karena pada masa itu Kesultanan Demak sudah porak-poranda dan dikuasai oleh Mataram.

Maka Aria Pangiri mengungsikan diri bersama keluarganya ke Banten, berada dalam perlindungan saudara perempuan ayahnya yang menikahi Maulana Hasanuddin. Sehingga antara Aria Pangiri dan keluarga sultan memiliki pertalian darah persepupuan. Baik Aria Pangiri maupun keluarganya dihormati oleh pembesar kerajaan dan kaum elit Kesultanan Banten.[6]

Dari istri berkebangsaan Portugis yang memeluk agama islam, lahirlah Pangeran Mas.

Sang pangeran sangat pandai mengambil hati adik sepupunya, dan konon sang sultan muda senang disanjung dan cenderung gila hormat. Bahkan pendapat ataupun nasihat dari Mangkubumi Jayanagara sama sekali tak diindahkan oleh Maulana Muhammad. Ia hanya mempertimbangkan dan mendengar apa kata kakak sepupunya.[7]

Hubungan Pangeran Mas dan Maulana Muhammad begitu dekat, bahkan Maulana Muhammad memanggil sang pangeran dengan sebutan ‘raka’ (kakak) pun sebaliknya ‘rayi’ (adik).

Setelah urusan dengan Belanda selesai, tujuan Maulana Muhammad tersorot pada daerah Palembang. Yang dikatakan bahwa ‘ada campur tangan’ dari Pangeran Mas ketika sang sultan berkehendak melebarkan ekspansi wilayah Kesultanan Banten ke tanah Sumatra.

(Bersambung)

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Naufal Fawwaz Dzaki, Makalah Sejarah dan Budaya Banten (Sultan Maulana Muhammad), pada laman https://www.academia.edu/40765307/Makalah_Sejarah_dan_Budaya_Banten_Sultan_Maulana_Muhammad_ diakses pada 20 September 2023

[2] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 59

[3] Iswara N Raditya, Indonesia Dijajah Belanda Gara-Gara Cornelis de Houtman, pada laman https://tirto.id/indonesia-dijajah-belanda-gara-gara-cornelis-de-houtman-cM3v diakses pada 30 September 2023

[4] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 66

[5] Ibid.

[6] Op cit.

[7] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 65

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*