“Pertempuran yang sengit terjadi berhari-hari di Sungai Musi, pertahanan Palembang tidak dapat membendung dashyatnya gempuran pasukan di bawah komando Muhammad Maulana.”
nasional.sindonews.com
Maka Maulana Muhammad pun pergi bersama armada Kesultanan Banten menuju ke Palembang dengan jiwa mudanya yang penuh semangat. Pasukan yang dibawa oleh sang sultan cukup banyak, dan kemungkinan pertempuran sangat besar. Namun, tak ada yang tahu, takdir apa yang menunggu di sana.
Penyerbuan ke Palembang
Pada tahun 1596 M, Maulana Muhammad memimpin 200 armada kapal perang menuju Palembang. Sang sultan memimpin di atas kapalnya yang dinamai Indrajaladri, didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas. Sedangkan pasukan dari darat dikerahkan dari Lampung, Seputih, dan Semangka.[1]
Dari sumber lain, tertulis tahun penyerangan yang berbeda, dan serangan terhadap Palembang bukanlah yang pertama. Agresi Maulana Muhammad yang terjadi pada tahun 1605 M, adalah yang kedua kalinya.[2]
Pertahanan dan jumlah pasukan di Palembang, tidak sebanding dengan armada yang dikerahkan oleh Maulana Muhammad. Hal ini tidak membuat Ki Geding Sura dan rakyatnya gentar, justru mereka mencela agresi sultan dari Banten itu.
Secara agama tidaklah terpuji bahwa Maulana Muhammad menyerang sesama orang Islam, bahkan dari garis keturunan mereka sama-sama dari Demak. Maka sebagai penguasa Palembang, Ki Geding Sura tetap memegang teguh kehormatan mereka dan melawan dengan gigih.
Pertempuran yang sengit terjadi berhari-hari di Sungai Musi, pertahanan Palembang tidak dapat membendung dashyatnya gempuran pasukan di bawah komando Muhammad Maulana. Ketika kemenangan nyaris di tangan Banten, sebuah tembakan peluru menembus tubuh sang sultan muda.
Maulana Muhammad gugur di Palembang, dan pertempuran pun selesai sampai di sana.
Pasukan Banten ditarik mundur, bahkan penguasa Palembang tidak melakukan serangan balasan. Ki Geding Sura beserta rakyatnya menghormati Maulana Muhammad yang gagah berani, dan turut berduka atas mangkatnya sang sultan muda.[3]
Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dan jenazahnya dikebumikan di serambi Masjid Agung Banten. Gelar Pangeran Seda Ing Palembang atau Pangeran Seda Ing Rana disematkan pada Maulana Muhammad setelah ia wafat.[4]
Pada sumber lain dituliskan bahwa sultan ketiga dari Banten ini wafat di usia 35 tahun, dan dimakamkam dekat neneknya di Sabakingking pada tahun 1605 M.[5]
Pasca Wafatnya Sultan Ketiga
Sepeninggal Maulana Muhammad, sosok Pangeran Mas di mata rakyat, terlebih keluarga kerajaan, mulai diperlakukan sebelah mata. Seluruh Banten berduka dan sedih, dan menganggap penyebab kematian sultan mereka akibat perbuatan Pangeran Mas. Karena penyerangan ke Palembang merupakan usulan keturunan terakhir raja Demak itu.
Menyadari bahwa kedudukannya mengendur dan tidak disukai, Pangeran Mas tidak berlama-lama tinggal di Banten setelah wafatnya Maulana Muhammad. Sang pangeran memboyong keluarganya menuju Jayakarta, mencari suaka pada Pangeran Ancol. Ia diperkenankan tinggal di sana, tetapi diacuhkan.
Salah satu putra Pangeran Mas tidak bisa menerima nasib yang menimpa keluarga. Mereka yang semula hidup berkuasa, menjadi bukan siapa-siapa. Pangeran Mas dianggap sebagai penyebab kehancuran, karena ambisinya. Nasib naas dialami oleh pangeran keturunan akhir raja Demak itu, ia tewas di tangan putranya sendiri.[6]
Di narasumber lain disebutkan bahwa, pada saat itu justru Cornelis de Houtman baru tiba di Banten pada tahun 1596. Karena tidak ada sultan, maka terjadi persaingan niaga antara Portugis dan Belanda. Pangeran Mas sekali lagi berusaha meyakinkan Mangkubumi, bahwa baiknya mereka mengusir saja Belanda dan bekerjasama dengan Portugis.
Akan tetapi, Mangkubumi menyadari bahwa tujuan Pangeran Mas tidak berbeda seperti niat terdahulunya. Jika Banten mengusir Belanda, maka Portugis justru akan mengeksploitasi dengan siasat yang sama. Permohonan Pangeran Mas pun ditolak.
Pangeran Mas menyadari bahwa pembesar kerajaan dan rakyat membencinya, maka ia pun hengkang dari Banten. Ia pergi ke Jayakarta (Jakarta) lalu menetap di Gunung Sahari. Namun, malang nasibnya karena ia tewas dibunuh oleh pengawalnya sendiri.[7]
Sedangkan situasi di Kesultanan Banten pun mengalami deklinasi, tidak ada yang menduduki takhta setelah Maulana Muhammad. Putranya dari permaisuri Ratu Wanagiri masih berumur 5 bulan, Mangkubumi yang berumur tua tidak bisa menghalau berbagai polemik yang ada.