“Mangkubumi yang sudah sepuh tak mampu menghalau datangnya para bangsa asing yang mencari rempah. Pemerintahan semrawut, para kaum elit pun mulai bertindak ‘sendiri-sendiri’.”

Semasa hidupnya, Maulana Muhammad mungkin tidak berhasil melakukan ekspansi wilayah atau menaklukkan kerajaan lain seperti apa yang dilakukan oleh ayah dan kakeknya. Akan tetapi, selama memimpin pemerintahan di Banten ia sangat memperhatikan semua aspek.
Agar agama Islam tersebar dengan baik dan dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat, ia banyak menulis buku-buku tentang Islam. Buku-buku tersebut, sengaja ia berikan kepada mereka yang membutuhkan. Ia pun membangun masjid-masjid hingga ke pelosok Banten, agar masyarakat tidak kekurangan sarana untuk beribadah.
Masjid Agung Banten pun dipugar dan diperindah, temboknya dilapisi porselen, tiang-tiangnya dari Kayu Cendana. Perhatian sang sultan pun tak luput untuk kebutuhan ibadah para perempuan, ia membangun tempat khusus yang disebut pawestren atau pawedonan di area Masjid Agung Banten.[1]
Khususnya setiap salat Jumat dan hari raya, Maulana Muhammad selalu menjadi imam dan khatib.
Ketika Maulana Muhammad gugur, semua rakyatnya terpukul. Bagi rakyat Banten, sang sultan adalah sosok yang arif dan bijaksana. Tak hanya rakyat yang merasakan dampak tidak adanya pemimpin kerajaan, tetapi kondisi di Banten pun menjadi tak menentu.
Polemik-Polemik Tahun 1596 – 1609
Karena Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir—putra Maulana Muhammad—masih berumur lima bulan, maka otomatis kepengurusan pemerintahan kembali didaulat pada Mangkubumi Jayanagara. Akan tetapi, kedudukan sang Mangkubumi di masa perwalian Abul Mafakhir sudah mulai mengendur.
Ketika ekspedisi Belanda kedua yang dipimpin oleh Jacob van Neck pada tahun 1598 M datang ke Banten, bangsa itu berhasil membawa sejumlah rempah kembali ke negaranya.[2] Dikatakan bahwa van Neck bersikap sopan dan hormat kepada masyarakat lokal, mungkin salah satu sebabnya bangsa itu diterima oleh Kesultanan Banten.
Atau sebab lain, karena Mangkubumi yang sudah sepuh tak mampu menghalau datangnya para bangsa asing yang mencari rempah. Pemerintahan semrawut, para kaum elit pun mulai bertindak ‘sendiri-sendiri’.[3]
Pada tahun 1602 M, Mangkubumi Jayanagara mangkat. Karena tidak ada sosok yang menjalankan pemerintahan maupun menjadi wali bagi putra mahkota, maka adik laki-laki Mangkubumi Jayanagara—Yudha Nagara—mengisi posisi tersebut. [4]
Untuk lebih memahami situasi apa yang terjadi setelah wafatnya Mangkubumi Jayanagara, maka diuraikan sedikit penjelasan singkat sebagai berikut:
Strata sosial di puncak pemerintahan Kesultanan Banten terbagi menjadi dua; perdana menteri “urusan dalam” (Mangkubumi atau Patih Jero) dan perdana menteri “urusan luar” (Patih Jaba).[5]
Umumnya Mangkubumi berasal dari keluarga bangsawan atau anggota keluarga raja yang kekerabatannya sangat dekat. Sedangkan Patih Jaba dari golongan bukan bangsawan, mereka adalah “pegawai-pegawai pemerintahan” yang disebut ponggawa dan mengatur urusan di luar istana (termasuk bidang ekonomi).[6]
Dari salah satu sumber menyebutkan bahwa seorang Patih Jaba yang disebut sebagai Kiayi Mas Patih, mengatur pemerintahan sebelum Maulana Muhammad naik takhta. Berkat bantuan Kadhi, ia pun menjadi Mangkubumi dan wali raja—yakni Maulana Muhammad (sultan ketiga). Dari linimasa dijelaskan bahwa ia bukan orang baru, melainkan sudah berpengalaman, yang menjadikannya sebagai kandidat paling pantas memegang kewalirajaan.[7]
Kiayi Mas Patih ini menikah dengan putri Maulana Hasanuddin (sultan pertama). Menikahkan putrinya dengan Pangeran Upapatih (saudara laki-laki Maulana Muhammad). Sehingga kedudukannya hanya sebagai “keluarga semenda” dalam silsilah Banten, bukan keluarga bangsawan murni.
Namun, ia menjalankan roda pemerintahan dengan tegas dan penuh wibawa. Ia wafat pada tahun 1602, lalu kedudukannya digantikan oleh saudara laki-lakinya.
Dapat disimpulkan bahwa Mangkubumi Jayanagara adalah sosok Kiayi Mas Patih, yang sebetulnya merupakan keturunan dari golongan ponggawa.
Tidak ada huru-hara atau masalah berarti semenjak Mangkubumi Jayanagara menjabat. Karena ia sosok yang bijaksana dan tegas, maka tidak ada yang berani menentang. Namun, Yudha Nagara tidak seheroik sang kakak.
Kedudukan Yudha Nagara sebagai Mangkubumi rupanya membuat kaum elit tidak puas. Terjadi persaingan antara kaum bangsawan dan kaum ponggawa. Dengan tujuan mereka ingin salah satu “wakil” dari golongan menjadi wali raja.[8]
(Bersambung)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Naufal Fawwaz Dzaki, Makalah Sejarah dan Budaya Banten (Sultan Maulana Muhammad), pada laman https://www.academia.edu/40765307/Makalah_Sejarah_dan_Budaya_Banten_Sultan_Maulana_Muhammad_ diakses pada 20 September 2023
[2] Trisna Wulandari, Siapa Orang Belanda yang Pertama Kali Mendarat di Banten pada Tahun 1596?, pada laman https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5738558/siapa-orang-belanda-yang-pertama-kali-mendarat-di-banten-tahun-1596 diakses pada 5 Oktober 2023
[3] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 68
[4] Serangkab.go.id, Sejarah, pada laman https://serangkab.go.id/sejarah diakses pada 20 September 2023
[5] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 109
[6] Ibid. hlm 110
[7] Op cit. hlm 110
[8] Darussalam J.S, Pemberontakan Pangeran Mandalika di Kesultanan Banten, pada laman