“Karena belum ada yang mengisi posisi sebagai wali raja, Ratu Wanagiri naik ke publik untuk “menenangkan situasi”. Sang ibu suri memutuskan untuk mengambil alih kewalirajaan.”
Dikatakan bahwa para kaum elit tidak simpatik pada Yudha Nagara, karena ia memiliki perangai yang kurang baik.[1] Sehingga setelah ia diangkat menjadi Mangkubumi, terjadi huru-hara di kota. Dalam penafsiran nara sumber, “huru-hara” tersebut dimaksudkan sebagai reaksi kaum bangsawan yang menentang kekuasaan berada di tangan ponggawa.[2] Karena, Yudha Nagara bukan kaum bangsawan, dan tidak memiliki kewibawaan seperti kakak laki-lakinya.
Tuntutan para kaum bangsawan pun dipenuhi. Pada 17 November tahun 1602, Yudha Nagara dilengserkan dan harta miliknya pun disita.[3] Karena belum ada yang mengisi posisi sebagai wali raja, Ratu Wanagiri naik ke publik untuk “menenangkan situasi”. Sang ibu suri memutuskan untuk mengambil alih kewalirajaan.
Akan tetapi, seorang perempuan tak mungkin menjabat sebagai penguasa, itu akan menimbulkan masalah lain. Maka sang ratu pun melancarkan politik halus. Ratu Wanagiri menikah lagi dengan seseorang dari kalangan bangsawan. Ia pun mengusulkan suaminya sebagai Mangkubumi sekaligus wali bagi putra mahkota.[4]
Dalam nara sumber lain disebutkan, bahwa setelah wali raja wafat pada tahun 1602, saudara laki-lakinya yang menggantikan. Akan tetapi, kalangan bangsawan mengusirnya, lalu salah seorang dari kalangan bangsawan naik menjadi wali raja, bernama Pangeran Chamarra.[5]
Dari linimasa beberapa sumber yang mengisahkan kronologis yang sama, ada kemungkinan bahwa Pangeran Chamarra, yang merupakan kaum bangsawan tersebut adalah suami kedua Ratu Wanagiri.
Pemberontakan Kaum Bangsawan
Identitas Pangeran Chamarra tidak banyak yang mengetahui, minim informasi mengenai sejarah sosok ini. Bahkan nama Pangeran Chamarra hanya diketahui dari John Saris—kepala dagang berbangsa Inggris (1580 – 1643 M).[6]
Informasi terpentingnya adalah bahwa ia seorang pangeran. Ketika ia diangkat sebagai Mangkubumi sekaligus wali putra mahkota, hal tersebut membuat kaum bangsawan lebih tenang. Karena seseorang dari kaum bangsawan, kembali menguasai pemerintahan.
Sayangnya, sang pangeran yang menjabat sebagai Mangkubumi ini, tidak sesuai harapan. Selama enam tahun ia menjabat, justru pemerintahan semakin kacau. Pangeran Chamarra terkesan “lembek”, ia tidak memiliki wibawa terhadap orang asing, dan bangsa asing pun tidak takut pada wali raja.
Para ponggawa sama sekali tak menaruh hormat pada Pangeran Chamarra, mereka menyepelekannya. Hal ini membuat kaum bangsawan menjadi tidak puas, meski pemerintahan berada di tangan kaum bangsawan, tetapi kaum ini justru tidak bisa berkutik.
Rakyat menjadi menderita, karena sikap Pangeran Chamarra yang hanya bergeming. Dari akumulasi berbagai polemik tersebut, terjadilah perpecahan dan pemberontakan.
Kebakaran disengaja di kota berlangsung selama berbulan-bulan. Pacinan salah satu sasaran utama karena di sanalah para pedagang asing dan syahbandar tinggal. Kawasan sekitar pasar besar bagian timur kota pun, tidak luput dari sasaran.
Pelaku dari “pemberontakan sembunyi-sembunyi” ini adalah para pangeran. Pemicunya karena ketidakpuasan dari kaum bangsawan yang merasa bahwa ponggawa dan pedagang terlalu berkuasa. Sehingga mereka mengguncang kegiatan niaga dengan membakar kota.
Sosok yang paling vokal dalam masa-masa ini adalah Pangeran Mandalika, saudara laki-laki dari almarhum Maulana Muhammad. Ambisinya yang ingin menggulingkan kekuasaan para pedagang dan ponggawa, semakin tak terkendali. Pada September 1604, ia mengejar dan menyekap jung-jung (kapal) dagang. [7]
Tentu saja hal ini membuat rakyat di ibukota menjadi kelaparan, dan tindakan Pangeran Mandalika dinilai sudah kelewat batas. Sehingga Pangeran Chamarra akhirnya bertindak. Sang Mangkubumi meminta Pangeran Mandalika untuk mengembalikan jung-jung dan muatannya.
Sebagaimana titah Mangkubumi sebagai pengatur pemerintahan sekaligus wali raja, seharusnya dipatuhi oleh semua orang yang tunduk pada Kesultanan Banten, tetapi Pangeran Mandalika bertindak sebaliknya. Justru tuntutan Pangeran Chamarra, mendorong Pangeran Mandalika untuk memberontak secara terbuka.
Dalam pemberontakan tersebut, Pangeran Mandalika menduduki dan mempertahankan diri di dalam kota, bersama para pangeran yang berpihak kepadanya.
[1] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 69
[2] Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 114
[4] Hamka, Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara (Gema Insani, 2020), hlm 69
[5]Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X – XVII), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Setiawan, Maria E. Sundah, Monique Zaini-Lajoubert, Daniel Perret, Soegeng Saleh, Fida Muljono Larue, Ken Madya, Winarsih Arifin (KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 hlm 114