Kesultanan Demak (8): Raden Fatah (3)

in Islam Nusantara

Last updated on September 6th, 2019 10:14 am

Besar kemungkinan, Raden Fatah sudah menjadi Muslim sejak bayi. Adapun madrasah pertamanya, tidak lain adalah ibunya sendiri. Selanjutnya, Raden Fatah mendalami ilmu agama di bawah bimbingan ayah tirinya, yaitu Arya Damar.

Berdasarkan narasi sejarah tentang asal usul Raden Fatah, hampir semua catatan menyebut bahwa dia lahir di tanah Palembang. Soal waktu kelahirannya, naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang menyebutkan bahwa Jin Bun atau Raden Fatah wafat pada tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Itu artinya, waktu kelahiran Raden Fatah, jatuh pada tahun 1455 atau 1456 Masehi. [1]

Setelah Raden Fatah lahir, Arya Damar kemudian menikahi Sui Ban Cin. Dari pernikahan ini kemudian lahirlah seorang putra bernama Raden Kusen, atau bernama Kin San dalam naskah Klenteng Sam Po Kong Semarang.

Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa Raden Fatah sudah menjadi Muslim sejak bayi. Adapun madrasah pertamanya, tidak lain adalah ibunya sendiri. Selanjutnya, urusan pendidikan Raden Fatah sepenuhnya merujuk pada ayah tirinya, yaitu Arya Damar.

Hanya saja, terdapat perbedaan pendapat di sini, khususnya tentang kapan dan bagaimana Arya Damar memeluk agama Islam. Menurut Agus Sunyoto, berdasarkan kajiannya atas sejumlah naskah Nusantara, Arya Damar, masih memeluk agama Syiwa-Budha aliran Tantra-Birawa ketika dia diangkat menjadi adipati Palembang. Dia baru memeluk agama Islam ketika dirinya didatangi oleh Sayyid Ahmad Rahmatullah,[2] seorang pangeran negeri Champa yang blesteran China-Arab. Dengan bimbingan dari beliaulah Arya Damar menyatakan keislamannya.

Setelah mengislamkan Arya Damar, Sayyid Ahmad Rahmatullah, berjalan ke Majapahit untuk menemui bibinya yang juga permaisuri Prabu Brawijaya. Dari sana, dia dianugerahi tanah di wilayah Ngampel, Surabaya. Pada masa selanjutnya, sejarah lebih mengenal Sayyid Ali Rahmatullah dengan sebutan Sunan Ampel. [3]

Kisah tentang kedatangan Sunan Ampel ke Palembang, juga terdapat dalam naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang. Hanya saja, terdapat perbedaan tentang kedudukan Sunan Ampel dengan Arya Damar.

Dalam naskah Klenteng Sam Po Kong digambarkan, Arya Damar sejak semula sudah Muslim. Dia adalah anak buah Gang Eng Cu, seorang yang dikuasakan mengurus kepentingan orang-orang Tionghoa di Jawa, khususnya Majapahit. Ketika Arya Damar ditugaskan Raja Majapahit menjadi adipati di Palembang, dia juga mengemban tugas ganda, yaitu sebagai kapten kapal Cina yang mengurusi keperluan orang-orang Tionghoa di Palembang.[4]

Adapun Sunan Ampel, Dalam naskah Klenteng Sam Po Kong dikenal dengan nama Bong Swi Hoo. Pada tahun 1456, dia diperintahkan oleh Bong Tak Keng (Raja Champa) ke Palembang untuk membantu pekerjaan Arya Damar di Palembang. Setelah dirasa cukup membantu di Palembang, Bong Swi Hoo, kemudian diperintahkan oleh Arya Damar agar ke Majapahit, menemui Gang Eng Cu.[5] Dengan kata lain, hubungan Arya Damar dengan Sunan Ampel di sini, adalah seperti atasan dengan bawahan.

Bila merujuk pada historiografi masyarakat Palembang sendiri, Arya Damar atau Arya Dillah, dikenal sabagai sosok yang sukses menyebarkan agama Islam di tanah Palembang. Dari dialah kemudian turun para raja yang memerintah Kesultanan Palembang Darussalam. [6]

Gambar sketsa Keraton Kesultanan Palembang yang dikenal dengan nama Keraton Kuto Gawang. Para raja yang memerintah Kesultanan Palembang ini, tidak lain adalah anak keturunan dari Arya Damara tau Ario Dillah. Lukisan ini dibuat pada tahun 1659 oleh Joan Van Der Laen. Sumber gambar: http://arkenas.kemdikbud.go.id

Terkait tentang latar belakangnya sebagai penganut ajaran agama Syiwa-Budha aliran Tantra-Birawa, menurut Agus Sunyoto, justru kompleksitas asal usul yang membentuk pribadi Arya Damar adalah kunci suksesnya dalam nyebarkan ajaran Islam, khususnya di wilayah Palembang dan sekitarnya.[7]

Dia adalah pangeran Majapahit yang juga penganut ajaran Syiwa-Buddha aliran Bhirawa-Tantra. Latar belakangnya ini, membawanya pada sejumlah kesuksesan ekspedisi militer di era pemerintahan Rani Suhita, serta membawanya pada kedudukan yang terkemuka di kerajaan Majapahit. Dengan bekal ini pulalah dia berhasil menaklukkan Palembang, dan menjadi sosok paling berpangaruh di wilayah tersebut.

Ketika dia memeluk agama Islam, asal usulnya sebagai orang yang pernah memahami ajaran Syiwa-Buddha aliran Bhirawa-Tantra, membuatnya mampu dengan mudah memahami sudut pandang masyarakat. Dengan pemahamam yang utuh tentang sikap masyarakat yang dihadapinya, tak ayal Arya Damar mampu dengan mudah mempengaruhi mereka dan mengajak mereka bersama-sama secara damai memeluk Islam.

Menariknya, sosok Arya Damar tidak hanya berjasa dalam upaya pengembangan Islam di tanah Pelembang dan wilayah lain di sekitarnya. Tapi juga juga seorang ulama yang memiliki ilmu sangat tinggi.

Dalam karyanya yang lain “Suluk Abdul Jalil”, Agus Sunyoto mengisahkan bahwa San Ali, atau yang kemudian dikenal sebagai Syaikh Siti Jenar, sempat menemui ulama besar ini (Arya Damar) sebelum melakukan pengembaraan lebih jauh ke Persia. Ketika bertemu Arya Damar, San Ali diajarkan tentang ilmu-ilmu hakikat yang menuntunnya berjalan – tidak hanya di alam materi – tapi juga di semesta kediriannya.[8] 

Berdasarkan sejumlah informasi dari berbagai versi mengenai latar belakang keilmuan Arya Damar di atas, kita setidaknya bisa membayangkan sosok seperti apa guru pertama Raden Fatah ini. Sangat mungkin karena didikan dialah Raden Fatah tumbuh menjadi sosok yang disebut dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, “… yang sangat suka kepada agama”. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana, adanya selisih setahun di sini dikarenakan adanya pemindahan tahun Kelenteng Semarang ke tahun Masehi melalui tahun pemerintahan kaisar Yung Lo. Kiranya tahun 1456 itu perlu diubah menjadi 1455 atau sebaliknya. Dengan jalan demikian, maka berita ini akan cocok dengan berita dalam Babad Tanah Jawi, bahwa Jin Bun lahir di Palembang. Lihat, Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LKiS, 2013, hal. 89

[2] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 98

[3] Dalam catatan kaum Alawiyin/ Habaib, Sunan Ampel adalah putra dari Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Husein bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik. Lihat, Muhammad Dhiya Syahab dan Abdullah bin Nuh, “Al-Imam Al-Muhajir; Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash Shadiq”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 69

[4] Lihat, Prof. Dr. Slamet Muljana, Op Cit, hal. 96

[5] Ibid, hal. 97

[6] Secara geneologis, Arya Damar diidentifikasi sebagai nenek moyang dari Sri Paduka Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam Kiai Mas Endi bin Pangeran Ratu Mangkurat Siding Pesarian, yang tidak lain adalah Sultan pertama Kesultanan Palembang Darussalam yang memerintah tahun 1069 – 1118 H atau 1659/ 3 Maret 1666 – 1706 M). Lihat, https://sultanpalembang.com/latar-belakang/, diakses 7 Januari 2019

[7] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 96-100

[8] Lihat, Agus Sunyoto, “Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar”, Yogyakarya, LkiS, 2011, hal. 117-144

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*