Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Ibrahim AS (3): Kelahiran dan Masa Kecil (1)

in Sejarah

Last updated on July 5th, 2020 12:56 pm

Alquran menyebutkan bahwa ayah Nabi Ibrahim adalah Azar, seorang pembuat berhala. Namun beberapa mufasir mengatakan bahwa makna ‘ayah’ di situ bukanlah ayah kandung. Berikut ini adalah penjelasannya.

Foto ilustrasi: Bibhudutta Baraland dan Antony William. Sumber: D’source

Alquran al-Karim tidak menceritakan tentang proses kelahiran dan masa kecil Nabi Ibrahim. Namun para sejarawan Muslim sudah cukup banyak yang menjelaskan fase tersebut. Hanya saja, masih terdapat beberapa perdebatan di antara para sejarawan – beberapa di antaranya – terkait tempat kelahirannya, bagaimana kehidupan masa kecilnya, dan juga mengenai siapa ayah kandung dari Nabi Ibrahim? 

Terkait tempat kelahirannya, menurut riwayat Tabari, para sejarawan belum bersepakat bulat tentang di mana tepatnya tempat kelahiran Nabi Ibrahim. Ada yang mengatakan dia berasal dari daerah yang bernama al-Sus yang sekarang terletak di propinsi al-Ahwaz, Iran.

Sementara lainnya ada yang berpendapat, beliau lahir di dalam wilayah pusat Babilonia, tepatnya di daerah bernama Sawat, kawasan Kutha, yang saat ini terletak di wilayah utara Irak, antara Kufah dan Basrah (al-Iraq).[1]

Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim lahir di tempat bernama Warka, yang dalam tradisi biblical dipercaya sebagai pusat kerajaan Namrud. Ada juga yang mengatakan Nabi Ibrahim lahir di Kawasan bernama al-Zawabi, yang merupakan tempat pertemuan empat sungai besar yang dikenal oleh masyarakat Iran sebagai dengan nama Zab. Dua sungai ini mengalir di utara Baghdad dan dua lainnya mengalir di sebelah selatannya.[2]

Meski demikian, umumnya para sejawan sepakat bahwa Nabi Ibrahim hidup pada era pemerintahan Raja Namrud bin Cush. Menurut riwayat Tabari, sebelum lahirnya imperium Persia, Namrud adalah penguasa wilayah Timur dunia.[3]

Dia dijuluki juga dengan nama “Si Singa”. Pada masa pemerintahannya, Namrud berhasil meluaskan pengaruhnya hingga menjadi penguasa kawasan Timur dan Barat bumi, dan pusat kekuasaannya adalah di Babilonia.

Adapun terkait ayah kandung Nabi Ibrahim, menurut salah satu riwayat yang dirujuk Tabari, pada era pemerintahan Namrud, ada seorang penduduk bernama Azar yang berasal dari daerah Sawat, atau al-Iraq. [4]

Dia adalah seorang pemahat yang handal, sehingga dipercaya untuk membuat berhala-berhala yang nantinya akan disembah oleh para penduduk Babilonia. Karena kepiawaiannya ini, Azar masuk dalam jajaran aristokrat yang cukup disegani. Sebagian pendapat menyatakan bahwa Azar inilah ayah dari Nabi Ibrahim.

Hal ini diperkuat pula oleh salah satu ayat Alquran yang berbunyi, “Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata’.” (QS al-Anam [6]: 74)

Dalam ayat tersebut, nama Azar secara jelas disebutkan sebagai “bapak” (Ab) Nabi Ibrahim. Namun menurut sejumlah tafsir para ulama, kata Ab tidak harus menunjukkan sosok ayah kandung. Tapi juga bisa menunjukkan arti sebagai pengasuh atau penanggungjawab, yang dalam hal ini bisa jadi kakek, paman, atau kerabat lainnya.

Terkait perdebatan tentang ayat tersebut, M. Quraish Shihab menguraikan:

Ayat di atas menyatakan bahwa Azar adalah ab/ bapak Nabi Ibrahim as. Kata tersebut penulis jelaskan dengan kata orang tua karena ulama berbeda pendapat menyangkut Azar, apakah dia ayah kandung Nabi Ibrahim as, atau pamannya, sebagaimana mereka berbeda pendapat tentang kata itu apakah dia nama atau gelar, serta apa maknanya dan mengapa dia dinamai demikian.

Salah satu alasan yang menolak memahami kata abihi/ bapaknya dalam arti bapak kandung adalah bahwa jika Azar adalah bapak kandung Nabi Ibrahim as, maka itu berarti ada dari leluhur Nabi Muhammad yang musyrik, karena beliau adalah keturunan Nabi Ibrahim as.

Ini ditolak oleh banyak ulama dengan alasan bahwa sekian banyak riwayat yang menyatakan kebersihan dan kesucian leluhur Nabi saw. Beliau bersabda:

“Aku dilahirkan melalui pernikahan bukan perzinaan sejak Adam hingga aku dilahirkan oleh bapak dan ibuku. Aku tidak disentuh sedikit pun oleh kekotoran Jahiliah.” (HR. Ibn ‘Adiy dan ath-Thabarani melalui Ali bin Abi Thalib).

Ini berarti bahwa tidak seorang pun dari leluhur beliau yang mempersukutukan Allah swt, dan dengan demikian jika memang Azar yang membuat dan menyembah patung itu adalah ayah kandung Nabi Ibrahim as — sedang Nabi Ibrahim as adalah leluhur Nabi Muhammad saw – maka itu berarti ada leluhur beliau yang pernah mempersekutukan Allah swt.

Terlepas dari perbedaan pendapat ulama menyangkut hal ini, apa yang dikemukakan oleh penulis Tafsir al-Mizan, Thabathabai, sangat wajar untuk dipertimbangkan. Menurutnya Alquran menggunakan kata walid untuk makna ayah kandung, sedang kata ab digunakan Alquran untuk makna kakek atau paman dan lain-lain (baca antara lain, QS. Al-Baqarah [2]: 133, Yusuf [12]: 38).

Hemat penulis apa yang dikemukakan di atas, benar adanya — tetapi perlu dicatat bahwa Alquran menggunakan juga kata ab untuk menunjuk orang tua kandung, misalnya QS. Yusuf [12]: 4 (idz qala Yusufu li abihi).

Di sisi lain, perlu juga dicacat bahwa merujuk kepada Alquran Nabi Ibrahim menggunakan kedua kata tersebut. Dalam QS. Ibrahim [14]: 41, beliau menggunakan kata walidayya untuk menunjuk kepada ibu bapaknya.

Asy-Syarawi dalam tafsirnya setelah membuktikan bahwa kata ab digunakan untuk menunjuk ayah kandung atau paman, mengemukakan bahwa biasanya bila kata ab dirangkaikan dengan namanya, maka yang dimaksud adalah selain ayah kandung.

Kalau ada yang akan bertanya kemana ayah kandung seseorang, maka cukup sudah jika ia bertanya: Kemana ayahmu? Tetapi kalau yang ditanyakan selain ayah kandung, maka di sini pertanyaan harus disertakan dengan nama yang bersangkutan. Nah, ayat ini menggunakan kata ab/ayah sambil menyebut nama, yakni Azar. Dengan demikian yang bersangkutan bukan ayah kandung Nabi Ibrahim AS. [5]

Demikian menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah. (AL)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’l-muluk), VOLUME II, Prophets and Patriarchs, translated and annotated by William M. Brinner, University of California, Berkeley, State University of New York Press, 1987, hal. 48-49

[2] Ibid

[3] Dalam literatur Persia, Raja Namrud bin Cush adalah saudara dari raja Persia bernama Al-Dahhak. Sebagian lagi ada yang menganggapnya sebagai Al-Dahhak itu sendiri. Wallahu’alam.

[4] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’l-muluk), VOLUME II, Op Cit, hal. 50

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)., hal. 159-160

2 Comments

Leave a Reply to Dwi cahya Cancel reply

Your email address will not be published.

*