Mozaik Peradaban Islam

Kosmologi Islam dan Dunia Modern oleh William C. Chittick (1): Musnahnya Sebuah Warisan (1)

in Pustaka

Last updated on November 20th, 2021 02:19 pm

Di dalam Islam ada dua jenis pengetahuan, yaitu taqlîd (mengikuti otoritas) dan tahqîq (intektual). Tidaklah masuk akal jika orang mengaku memahami tahqîq tapi dia hanya meniru gurunya.

William C. Chittick. Foto: williamcchittick.com

Pengantar Redaksi

Artikel dalam rubrik pustaka kali ini akan mengutip beberapa halaman sebuah buku yang ditulis oleh William C. Chittick, yang berjudul Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World.

Dalam versi bahasa Indonesia, buku ini pernah diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2010 dengan judul Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam.

Bagi Anda yang belum terlalu akrab dengan nama William C. Chittick, berikut ini sedikit tentang biografi singkatnya. Chittick adalah penulis dan juga penerjemah yang telah menulis 30 buku dan lebih dari 175 artikel tentang pemikiran Islam, Tasawuf, Mazhab Syiah, dan sastra Persia.

Chittick saat ini adalah seorang Profesor Kehormatan di the Department of Asian and Asian American Studies di Stony Brook University. Pada awal 1980-an, Chittick pernah menjabat sebagai editor reknan untuk Encyclopaedia Iranica.

Buku-buku terbaru Chittick di antaranya termasuk Divine Love: Islamic Literature and the Path to God (New Haven: Yale University Press, 2013), yang terpilih sebagai Choice Outstanding Academic Title for 2013; In Search of the Lost Heart: Explorations in Islamic Thought (State University of New York Press, 2012); Science of the Cosmos, Science of the Soul (Oneworld, 2007); Ibn ‛Arabi: Heir to the Prophets (Oxford: Oneworld, 2005); Me & Rumi: The Autobiography of Shams-i Tabrizi (FonsVitae, 2004); The Elixir of the Gnostics (Brigham Young University Press, 2003); The Heart of Islamic Philosophy (Oxford University Press, 2001); Sufism: A Short Introduction (Oneword, 2000); dan The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-`Arabî’s Cosmology (State University of New York Press, 1998).

Saat ini dia sedang mengerjakan beberapa proyek penelitian di bidang tasawuf dan filsafat Islam. Chittick secara teratur mengajar tentang Islam, Islam Klasik, dan pelajaran-pelajaran lain dalam studi agama. Kadang-kadang dia juga mengajari mahasiswa yang memenuhi syarat untuk membaca dan mempelajari teks-teks utama bahasa Arab atau Persia yang bertema tasawuf dan Filsafat Islam.[1]

Baiklah, tanpa berlama-lama, berikut ini adalah kutipan Bab 1 dari buku karya William C. Chittick yang berjudul Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam yang pernah diterbitkan oleh Mizan:

Musnahnya Sebuah Warisan

Pemahaman intelektual dalam arti sempit ditemukan pada puncak tertinggi diri manusia, apa yang oleh para filosof disebut sebagai “akal aktual” (actual intellect). Ketika pemahaman seperti itu meninggalkan ranah akal murni dan turun ke aras pikiran dan bahasa, maka kita akan berurusan dengan pengekspresiannya, yang akan selalu menjadi tidak memadai.

Sejak semula, ekspresi hanyalah pengetahuan nukilan (transmitted knowledge), bukan pemahaman sebenarnya. Meskipun begitu, kita masih bisa menghargai bahwa ada perbedaan yang selalu ditegaskan antara dua macam pengetahuan itu dalam Islam dan tradisi-tradisi lain.

Perbedaan inilah yang perlu saya jelaskan sebagai langkah awal. Selanjutnya saya akan mengajukan pendapat bahwa ketidaktahuan akan arti penting mendasar dari pemahaman intelektual telah menyumbang munculnya krisis-krisis yang dihadapi bukan saja oleh kaum Muslim, melainkan juga oleh masyarakat manusia secara umum.

Tradisi intelektual Islam membidik empat tema pokok: Tuhan, alam, jiwa manusia, dan hubungan antarpribadi.

Tiga tema pertama merupakan unsur pembentuk realitas sebagaimana yang kita persepsi, sedangkan tema keempat merupakan penerapan wawasan-wawasan yang diperoleh dari mempelajari tiga tema pertama pada ranah aktivitas manusia.

Tentu saja orang bisa membaca tentang semua tema ini dalam sumber-sumber pengetahuan nukilan yang otoritatif, seperti Al-Quran dan Hadis, tetapi mengetahui semua itu untuk diri sendiri sama sekali merupakan persoalan lain. Bagi tradisi intelektual, pengetahuan nukilan memainkan peran penunjuk terhadap suatu pemahaman yang harus diaktualisasikan dan direalisasikan oleh sang pencari.

Mungkin cara terbaik untuk memahami perbedaan antara pengetahuan nukilan dan pengetahuan akliah adalah dengan merenungkan perbedaan antara “meniru” atau “mengikuti otoritas” (taqlîd) dan “realisasi” atau “verifikasi” (tahqîq), istilah-istilah yang merujuk pada dua jalur mendasar dalam memperoleh pengetahuan.

Untuk menjadi anggota dari salah satu agama, budaya, masyarakat, atau kelompok, orang perlu belajar dari mereka yang sudah menjadi anggota, dan proses belajar ini berlangsung dengan cara “meniru”.

Proses ini adalah cara bagaimana kita mempelajari bahasa dan budaya, belum lagi kitab suci, ritual dan hukum. Dalam konteks Islam, orang-orang yang telah mengambil tanggung jawab untuk melestarikan warisan nukilan ini disebut sebagai para ulama, yaitu, “orang-orang yang mengetahui” tradisi.

Dalam pengetahuan nukilan, pertanyaan tentang “mengapa” didorong ke sisi belakang. Ketika seseorang bertanya kepada ulama mengapa kita harus menerima sebuah dogma tertentu atau mengapa kita harus shalat atau berpuasa, maka jawaban sederhananya adalah “karena Tuhan bilang begitu”, yang berarti bahwa kita memiliki pengetahuan yang menggunakan otoritas Al-Quran dan Sunnah. Persis seperti orangtua yang mengoreksi ucapan anak-anak mereka dengan menggunakan otoritas pemakaian yang berlaku atau aturan tata bahasa.

Pengetahuan intelektual sama sekali berbeda. Jika orang menerimanya atas dasar kabar atau apa kata orang, artinya ia tidak memahaminya. Matematika adalah ilmu yang tidak bergantung pada pihak otoritas. Sebaliknya, ia perlu dibangunkan dalam kesadaran seseorang. Dalam mempelajarinya, siswa harus mengerti mengapa, atau kalau tidak, mereka hanya akan meniru orang lain.

Tidaklah masuk akal mengatakan bahwa dua tambah dua sama dengan empat karena ‘guru saya bilang begitu’. Baik Anda memahaminya ataupun tidak. Anda harus menemukan kebenaran itu dalam diri Anda sendiri.

Para cendikiawan Muslim berpendapat bahwa meniru orang lain dalam masalah-masalah intelektual adalah status pemula atau pelajar, bukan seorang pakar, namun meniru Al-Quran dan Nabi dalam masalah-masalah nukilan adalah mengikuti jalan yang benar.

Singkatnya, ada dua jenis utama pengetahuan, dan masing-masingnya memiliki metode yang tepat untuk itu. Taqlîd atau meniru merupakan cara tepat untuk ilmu-ilmu nukilan, sedangkan tahqîq atau realisasi adalah cara tepat untuk ilmu-ilmu akliah/intelektual. (PH)

Bersambung ke:

Catatan kaki:


[1] “William C. Chittick: Biography”, dari laman https://www.williamcchittick.com/#about, diakses 18 November 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*