Memahami Zionisme (6): Keberagaman Rakyat Palestina

in Studi Islam

“Masyarakat Palestina sebelum datangnya Zionis adalah tipe masyarakat yang beragam, baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi tinggal di sana dan berbaur. Namun tidak seperti Zionis yang solid, meskipun rakyat Palestina memiliki visi yang sama tentang nasionalisme, namun mereka gagal mengartikulasikan kepentingan nasionalnya karena persoalan-persoalan internal.”

–O–

Untuk menghadapi gerakan Zionis yang berkeinginan untuk menduduki tanah Palestina, serta juga keinginan Inggris untuk mengendalikan rute perdagangan dari Laut Tengah ke Samudera Hindia, tidak seperti Zionis yang didukung oleh seluruh dunia, orang-orang Palestina berjuang mempertahankan dirinya tanpa didukung oleh siapapun. Sejak awal para pemimpin Palestina menyadari bahwa para Zionis yang datang adalah sebuah fenomena baru, mereka sangat berbeda dengan orang-orang Yahudi terdahulu yang pernah tinggal di Palestina selama berabad-abad.[1]

Orang-orang Yahudi terdahulu menggunakan bahasa setempat, meskipun mereka mempertahankan identitas religiusnya, namun mereka tetap berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan sosial setempat. Dengan kata lain orang-orang Yahudi pra-zionis adalah sekelompok orang yang membaur dengan kehidupan masyarakat setempat. Pada awal tahun 1899, seorang pemimpin komunitas Arab di Yerusalem menulis kepada Theodor Herzl[2]: “Dunia ini cukup besar, ada tanah-tanah tak berpenghuni lainnya di mana jutaan orang Yahudi miskin dapat tinggal…. Atas nama Tuhan, tinggalkan Palestina sendiri!”[3]

Orang-orang Palestina menggunakan beragam perlawanan terhadap orang-orang yang hendak mengusir mereka dari Palestina, dan tentu saja baik Zionis maupun Inggris tidak membiarkannya. Namun yang mengejutkan adalah orang-orang Palestina di masa kini masih melakukan pola yang sama dengan orang-orang Palestina di masa lalu, bentuk perlawanan orang-orang Palestina pada dasarnya tidak berkembang, hari ini mereka masih “sendiri” dan tidak didukung oleh siapapun.[4] Bukan berarti tidak ada yang membantu orang-orang Palestina sama sekali, namun secara derajat dukungan, Palestina tidak mendapat dukungan yang sebanding sebagaimana Israel didukung oleh negara-negara adidaya.

Di awal periode Inggris mendapatkan mandat dari Liga Bangsa-bangsa terhadap Palestina dan orang-orang Yahudi semakin banyak berdatangan, orang-orang Palestina sudah bereaksi dan mulai mengartikulasikan nilai identitas nasional mereka. Beberapa sejarawan menyimpulkan bahwa nasionalisme Palestina hanya merupakan reaksi terhadap zionisme.[5] Namun apabila dilihat ke belakang lagi, sejak tahun 1834 sebenarnya orang-orang Palestina sudah mengembangkan identitas kolektif mereka sebagai bangsa, yakni ketika mereka berusaha mengusir pasukan Mesir yang mencoba mengambil alih Palestina dari kekuasaan Ottoman.[6]

Masalah sebenarnya, bagaimanapun, bukanlah persoalan sejak kapan identitas nasional Palestina muncul, namun bagaimana memahami sebuah entitas yang memiliki budaya tersendiri dan sudah mendiami suatu tempat selama berabad-abad, tapi kebingungan untuk memformulasikannya ke dalam sebuah konsep negara bangsa modern. Orang-orang Palestina berkali-kali mencoba memformulasikan konsep kebangsaannya ke berbagai cara, yaitu keinginan untuk merdeka;[7] menjadi bagian dari Pan Arab, sebagaimana yang diinginkan oleh para elit Palestina di akhir periode Ottoman dan awal Inggris;[8] atau menjadi salah satu provinsi dari Suriah Raya, seperti yang diinginkan oleh golongan petani Palestina.[9]

Dalam menghadapi ambisi Zionis dan dan Inggris, orang-orang Palestina cukup giat dalam mendirikan berbagai jenis kelompok yang aktif dalam melindungi kepentingan Palestina: pendirian komite desa, liga-liga, partai-partai politik dengan konstituen kedaerahan atau golongan, dan kelompok payung untuk melobi Inggris. Tidak hanya itu, mereka juga mengatur dinamika internal mereka sendiri untuk perlawanan, di antaranya ada Komite Tinggi Arab, Komite Lokal (atau lebih dikenal sebagai Komite Nasional),[10] dan juga ada serangkaian organisasi yang kompleks yang mengaspirasikan suara orang-orang Kristen dan Muslim Palestina yang bernaung dalam Kongres Arab Palestina.[11]

Orang-orang Kristen Palestina sudah berjuang bersama menentang Zionisme sejak awal. Photo: AFP/Getty Images

Perlu dipahami, bahwa perjuangan orang-orang Palestina melawan Zionisme bukanlah perjuangan salah satu kelompok agama tertentu saja, dalam hal ini Islam yang memang kelompok mayoritas. Sejak awal Palestina merupakan sebuah daerah yang penghuninya beragam. Tercatat pada tahun 1922 terdapat orang-orang Kristen yang mayoritas tinggal di Tepi Barat, sisanya dalam jumlah yang lebih sedikit tinggal di distrik Ramallah sebanyak 15.000 orang, Bethlehem sebanyak 8.000 orang, dan 2000 orang di jalur Gaza. Orang-orang Kristen Palestina merupakan mayoritas kedua setelah Muslim, jumlah mereka sebanyak 9,5% dari total populasi Palestina.[12]

Sementara, pada masa itu orang-orang Yahudi, baik zionis dan non-zionis jumlahnya mencapai 400.000 orang, bahkan di antara mereka terdapat sebuah kelompok yang bernama Neturei Karta yang menolak berdirinya negara Israel. Mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Yahudi Palestina.[13] Neturei Karta memiliki tafsir tersendiri tentang tanah yang dijanjikan, mereka beranggapan bahwa Yahudi tidak berhak mengklaim Palestina karena Messiah (juru selamat) belum hadir ke dunia.[14]

Yahudi kelompok Neturei Karta menentang berdirinya negara Israel. Photo: wikimedia

Sayangnya dengan tingkat keberagaman seperti itu, kelompok lobi Palestina kurang berhasil baik secara internal maupun eksternal. Secara internal orang-orang Palestina tidak solid seperti Zionis, mereka berhadapan dengan persoalan-persoalan kelas dan golongan, yakni antara elit dengan petani, masyarakat perkotaan dengan pedasaan, dan Muslim dengan Kristen. Perbedaan tersebut menghambat proses kesatuan yang kuat di antara orang-orang Palestina sendiri.[15]

Secara eksternal, klaim Palestina sebagai negara bangsa tidak dianggap oleh orang-orang Eropa, terutama oleh Inggris. Pada tahun 1919, Lord Balfour[16] menulis sebuah memo, “Zionisme, apakah itu benar atau salah, baik atau buruk, mereka berakar pada tradisi lama, dalam kebutuhan hari ini, harapan masa depan, dari kepentingan yang jauh lebih besar daripada hasrat dan prasangka 700.000 orang-orang Arab yang sekarang tinggal di tanah kuno itu.”[17] (PH)

Bersambung…

Sebelumnya:

Memahami Zionisme (5): Dialog Muhammad Asad dengan Intelektual Zionis

Catatan Kaki:

[1] Eve Spangler, Understanding Israel/Palestine, (Boston: Sense Publisher, 2015), hlm 96.

[2] Theodor Herzl adalah pendiri Zionis, lebih lengkap lihat “Memahami Zionisme (3): Deklarasi Balfour, Pintu Masuk ke Palestina”, dalam https://ganaislamika.com/memahami-zionisme-3-deklarasi-balfour-pintu-masuk-ke-palestina/, diakses 8 Januari 2018.

[3] Tom Segev. (2001). Elvis In Jerusalem (New York: Holt Books) hlm 39, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.

[4] Eve Spangler, Loc. Cit.

[5] The Imperial History of the Middle East, retrieved from http://www.mapsofwar.com/ind/imperial-history.html,  dalam Eve Spangler, Ibid., 96-97

[6] Lihat Shlomo Sand. (2009). The Invention of the Jewish People, (New York: Verso), dalam Eve Spangler, Ibid., hlm 97.

[7] Loc. Cit.

[8] The Imperial History of the Middle East, Ibid., dalam Eve Spangler, Loc. Cit.

[9] Shlomo Sand, Ibid., hlm 275-276, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.

[10] Shlomo Sand, Ibid., hlm 277, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.

[11] Shlomo Sand, Ibid., hlm 184, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.

[12] Tore Kjeilen, “Religions/Palestine”, dari laman http://looklex.com/e.o/palestine.religions.htm, diakses 9 Januari 2017.

[13] Ibid.

[14] Tore Kjeilen, “Neturei Karta”, dari laman http://looklex.com/e.o/neturei_karta.htm, diakses 9 Januari 2018.

[15] Adam Keller. (2014, February 14). “From Canaan to Spain,” Crazy Country retrieved from http://adam-keller2.blogspot.co.il/2014/02/from-canaan-to-spain.html/, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.

[16] Lebih lengkap lihat “Memahami Zionisme (3): Deklarasi Balfour, Pintu Masuk ke Palestina”, dari laman https://ganaislamika.com/memahami-zionisme-3-deklarasi-balfour-pintu-masuk-ke-palestina/, diakses 9 Januari 2018.

[17] Shlomo Sand, Ibid., hlm 262, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.

1 Comment

Leave a Reply to tham effendie Cancel reply

Your email address will not be published.

*