Mozaik Peradaban Islam

Mushab bin Umair (11): Pemanah pada Perang Uhud

in Tokoh

Last updated on December 17th, 2019 01:54 pm

Rasulullah berkata kepada pasukan pemanah, “Lindungilah punggung kami. Jika kalian melihat kami telah mengumpulkan harta rampasan perang, maka janganlah kalian turut bergabung bersama kami.”

Di atas bukit inilah para pemanah ditempatkan pada saat terjadinya Perang Uhud. Foto: Farhan Abdul Azeez/Flickr

Setelah Perang Badar, pada tahun berikutnya (625 M/3 H) umat Islam terlibat perang untuk yang kedua kalinya dengan kaum Quraish Makkah. Perang ini disebut dengan Perang Uhud. Perang ini merupakan kelanjutan atau babak baru dari Perang Badar.

Waktu itu, kaum Quraish di Makkah, tersulut api kebenciannya terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka pada Perang Badar, terutama karena begitu banyaknya pemimpin dan bangsawan mereka yang terbunuh.

Hati orang-orang Quraish membara karena dibakar keinginan untuk balas dendam. Bahkan, mereka sampai mengeluarkan larangan kepada seluruh penduduk Makkah untuk meratapi para korban Perang Badar dan tidak perlu terlalu terburu-buru untuk menebus para tawanan perang. Mereka melakukan hal tersebut agar Muslim tidak merasa di atas angin karena mengetahui kegundahan dan kesedihan mereka.

Untuk persiapan perang selanjutnya, mereka juga mengimbau, “Wahai semua orang Quraish, sesungguhnya Muhammad telah membuat kalian ketakutan dan membunuh orang-orang yang terbaik di antara kalian. Maka tolonglah kami dengan harta kalian untuk memeranginya. Siapa tahu kita dapat menuntut balas.”

Penduduk Makkah kemudian memenuhi imbauan ini, hingga terkumpul 1.000 unta dan 1.500 dinar. Tentang hal ini Allah SWT kemudian menurunkan ayat:

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan.” (QS Al-Anfal: 36)

Orang Quraish juga meminta Abu Azzah, seorang penyair ternama pada masa itu, untuk membuat syair yang dapat menggugah banyak kabilah agar mau memerangi kaum Muslimin. Mereka berjanji kepadanya akan memberikan banyak uang setelah perang. Selain kepada Abu Azzah, mereka juga meminta hal yang sama kepada Musafi bin Abdi Manaf Al-Jumahi, penyair lainnya.

Setelah genap satu tahun, persiapan kaum Quraish telah matang, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 3.000 prajurit Quraish, yang di dalamnya sudah termasuk berbagai kabilah-kabilah kecil. Mereka juga membawa lima belas orang wanita untuk dibawa ke medan perang, untuk membangkitkan semangat mereka.

Sementara itu di pihak Rasulullah, setelah ada pembelotan dari kaum munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay, jumlah pasukan Muslimin menyusut hanya tinggal menjadi sekitar 700 orang saja. Demikianlah, dengan jumlah yang bahkan kurang dari setengahnya dari pihak musuh, kaum Muslimin tetap berangkat ke lembah di hadapan Gunung Uhud yang menjadi medan pertempuran.[1]

Pada saat persiapan, Rasulullah berdiri mengatur barisan. Dipandanginya wajah-wajah pasukan Muslim, beliau mencari siapa kiranya orang yang tepat untuk membawa bendera pasukan Muslim. Setelah mencari-cari, maka terpanggillah Mushab bin Umair, dia diberi kepercayaan oleh Rasulullah untuk membawa bendera pasukan Muslim. Pada saat itu Mushab sudah dikenal oleh orang-orang dengan sebutan Mushab al-Khair (Mushab yang baik).[2]

Sebelum pertempuran pecah, Rasulullah menerapkan strategi defensif. Beliau menunjuk satu detasemen khusus yang terdiri dari para pemanah yang handal. Komando detasemen ini diserahkan kepada Abdullah bin Jubair bin an-Numan al-Anshari al-Ausi.

Rasulullah lalu memerintahkan agar detasemen ini ditempatkan di atas bukit, sebelah selatan Wadi Qanat, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Jabal Rumat. Posisi tepatnya kira-kira 150 meter dari posisi pasukan utama Muslim.[3]

Tujuan penempatan detasemen ini tercermin dari sabda Rasulullah, “Lindungilah kami dengan anak panah, agar musuh tidak menyerang kami dari arah belakang. Tetaplah di tempatmu, terlepas apakah kita berada di atas angin atau pun terdesak, agar kita tidak diserang dari arahmu.”[4]

Beliau juga bersabda, “Lindungilah punggung kami. Jika kalian melihat kami telah mengumpulkan harta rampasan perang, maka janganlah kalian turut bergabung bersama kami.”[5]

Dalam riwayat Bukhari, dikatakan beliau bersabda, “Jika kalian melihat kami disambar burung sekalipun, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu, kecuali jika ada utusanku yang datang kepada kalian. Jika kalian melihat kami dapat mengalahkan mereka, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu, hingga ada utusan yang datang ke tempat kalian.”[6]

Dengan ditempatkannya detasemen tersebut di atas bukit dengan disertai perintah-perintah militer yang tegas ini, maka beliau sudah dapat menyumbat satu celah yang memungkinkan bagi pasukan Quraish  untuk menyusup ke barisan pasukan Muslim dari arah belakang dan mengacaukannya.[7]

Namun rencana ini tidak berjalan mulus, sebagaimana akan kita bahas dalam artikel selanjutnya. Dan pada saat itulah Mushab maju untuk memainkan perannya, bahkan jika itu pun harus mengorbankan dirinya sendiri. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lebih lengkap tentang Perang Uhud, lihat Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), bab Perang Uhud.

[2] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 50.

[3] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Loc.Cit.

[4] Ibnu Hisham, Sirah an-Nabawiyah (Vol 2, hlm 65-66), dikutip dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ibid., hlm 333.

[5] Diriwayatkan oleh Ahmad, Tabrani, dan Hakim dari Ibnu Abbas dalam Fathul Bari (Vol 7, hlm 350), dikutip dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ibid.

[6] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ibid., hlm 334.

[7] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*