Mozaik Peradaban Islam

Pemberontakan Zanj (12): Anarki di Samara Berlanjut

in Sejarah

Last updated on July 8th, 2022 03:05 am

Ketika Zanj berhasil meraih kemenangan demi kemenangan, situasi anarki terus berlanjut di Samarra. Setelah sebelumnya al-Mu’tazz tewas secara tragis ditangan para budaknya, kali ini hal yang sama menimpa penerusnya yang bernama al-Muhtadi.

—Ο—

Ilustrasi gambar: geotimes.co.id

Sebelum lebih jauh membahas mengenai pemberontakan Zanj, terlebih dahulu kita tinjau situasi yang juga berlangsung di Samarra selama masa pemberontakan tersebut. Mengingat progresifitas yang dicapai oleh kelompok Zanj hanya dalam beberapa bulan, bisa dikatakan sebagai efek samping dari situasi politik yang juga masih tidak menentu di Samarra.

Sebagaimana sudah pernah diurai pada edisi ke-3 serial tulisan ini,[1] bahwa khalifah ke-13 Dinasti Abbasiyah yang bernama Al-Mu’tazz tewas terbunuh akibat tidak mampu membayar upah para budaknya. Sebelum wafat, al-Mu’tazz sempat dipaksa menandatangani surat pengunduran dirinya, dan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Muhammad bin al-Watsiq, yang kemudian bergelar al-Muhtadi. Dia dilantik sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah pada tahun 255H/869 M.

Menurut sejumlah catatan, al-Muhtadi adalah sosok yang shaleh. Berbeda dengan para penduhulunya, beliau hidup sangat sederhana, dan sangat mengidolakan Umar bin Abdul Aziz, khalifah Dinasti Umayyah yang terkenal karena keshalehannya.[2] Tapi sebagaimana Umar bin Abdul Aziz, ujung hidup al-Muhtadi juga tak kalah tragis. Baru 11 bulan dia menjabat sebagai khalifah, pada pertengahan Juni 870 M, khalifah ke-14 Bani Abbas ini pun dibunuh oleh budak-budak dari Turki.

Selama masa pemerintahannya, al-Muhtadi sebenarnya sudah berusaha untuk meredam dinamika persaingan di antara para jenderal Turki, yang menjadi pemicu utama instabilitas politik di Samarra. Tapi alih-alih menyelesaikan masalah, dia justru terjerumus masuk dalam turbulensi persaingan.

Sebagaimana dikisahkan al-Tabari, di masa pemerintahan al-Muhtadi, sempat terjadi konflik antar Jenderal Musa bin Bugha melawan Jenderal Salih bin Washif. Dimana kedua-duanya adalah para budak dari Turki.

Ketika terjadinya konflik antar kedua Jenderal ini, al-Muhtadi benar-benar tidak berdaya. Dia bahkan diminta Musa bin Bugha agar berjanji tidak memihak pada siapapun dalam hal ini.[3] Semua situasi tersebut membuat otoritas khalifah sepenuhnya mengalami kemandulan. Tak ayal, pemberontakan Zanj dapat berlangsung dengan mudah tanpa terbendung sedikitpun.

Al-Muhtadi sebenarnya sempat menawarkan arbitrase pada kedua belah pihak yang bersaing. Tapi niat baiknya justru diartikan oleh Musa sebagai signal bahwa al-Muhtadi sudah memihak pada Salih bin Washif dan melanggar janjinya. Atas dasar alasan tersebut, Musa melancarkan serangan ke Istana Khalifah dan mengejar Salih bin Washif. Akhirnya setelah pencarian yang cukup lama, Salih pun ditemukan. Kepalanya kemudian dipenggal dan diserahkan pada al-Muhtadi. Menyaksikan tragedi ini, al-Muhtadi tidak bisa berbuat apa-apa.

Meski konflik antara Musa bin Bugha dengan Salih bin Washif telah usai, namun situasi tidak berubah menjadi kondusif. Para jenderal dari Turki yang sudah dikonsolodasikan oleh Musa bin Bugha mulai mencurigai kekuasaan dan menyimpan bibit pemberontakan. Hanya saja mereka belum menemukan waktu yang tepat untuk menggulingkan khalifah. Dan yang paling penting, mereka tidak memiliki cukup dana untuk menggerakkan pasukan.

Pada 4 Januari 870 mereka mendapat dana kiriman dari daerah Fars dan al-Ahwaz sebesar 17.5 juta dinar.[4] Hanya saja, dana ini kemudian mereka gunakan untuk menghadapi pasukan Khawarij. Padahal, dana tersebut bisa dikatakan sebagai upeti terakhir yang diserahkan al-Ahwaz pada pemerintah Abbasiyah di Samarra, sebelum akhirnya wilayah al Ahwaz ditaklukkan dan dikuasai sepenuhnya oleh kelompok Zanj.

Turbulensi politik yang terjadi di Samarra mencapai puncaknya, ketika Musa bin Bugha sedang berada jauh di medan pertempuran. Al-Muhtadi mengambil kesempatan ini untuk memecat Musa dari jabatannya sebagai jenderal dan menggantinya dengan Jenderal Bayakbak.

Tapi yang al Muhtadi tidak ketahui, bahwa kedua jenderal ini sudah menjalin persekongkolan. Rencana al-Muhtadi kemudian dibocorkan Bayakbak pada Musa. Hal ini membuat al-Muhtadi marah dan memenjarakan Bayakbak.

Keputusan al-Muhtadi memenjarakan Bayakbak ternyata menuai protes dari pasukan Bayakbak yang dikomandani oleh adik Bayakbak bernama Ahmad bin Khaqan. Mereka lalu melancarkan pemberontakan terhadap khalifah. Sebagai respon atas reaksi Ahmad bin Khaqan, al-Muhtadi lantas memerintakan anak buahnya untuk mengeksekusi mati Bayakbak.

Tapi bukan malah menyelesaikan masalah, kematian Bayakbak justru membuat pertempuran antara pendukung al-Muhtadi dengan pasukan Bayakbak makin berkobar. Tak kurang dari 4000 orang tewas dalam perang saudara ini.[5]

Perang saudara yang terjadi pada 16 Juni 870 tersebut berakhir dengan kekalahan pasukan pendukung khalifah.

Dikisahkan oleh Tabari, bahwa al-Muhatadi akhirnya dibunuh oleh Ahmad bin Khaqan dan pasukannya, setelah sebelumnya mengalami penyiksaan dan pelecehan yang keji.[6] Tewasnya al-Muhtadi memungkasi deretan panjang anak-anak Bani Abbas yang menjadi korban selama terjadinya anarki di Samarra.

Setelah tewasnya al-Muhtadi, para budak dari Turki kemudian menunjuk Abil Abbas Ahmad bin al-Mutawakkil sebagai khalifah ke-15 Dinasti Abbasiyah. Dia dikenal dengan sebutan Ibn Fityan karena ibunya bernama Fityan, dan memilih gelar Al-Mu’tamid ‘ala Allah.

Sebelumnya, al-Mu’tamid dan adiknya yang bernama Abu Ahmad Thalhah mendekam di dalam penjara. Ketika al-Mu’tamid dibebaskan dan resmi menjabat sebagai khalifah pada 19 Juni 870 M, dia juga membebaskan adiknya Abu Ahmad Thalhah.

Terkait dengan sosok Abu Ahmad Thalhah bin Mutawakkil, dia adalah seorang jenderal ternama yang sebelumnya setia mendukung khalifah Al-Mu’tazz. Tapi karena popularitasnya dirasa mencemaskan bagi al-Mu’tazz, dia kemudian dijebloskan ke penjara. Ketika al-Mu’tamid berkuasa, dia melihat potensi besar pada diri adiknya, dan mendaulatnya sebagai jenderal perang Dinasti Abbasiyah yang kemudian bergelar al-Muwaffaq.

Amanat itupun tidak disia-siakan oleh al-Muwaffaq. Dia berhasil mengawal singasana kakaknya hingga mampu memerintah selama 22 tahun. Dan yang terpenting, dialah kelak tokoh sentral yang berhasil memadamkan pemberontakan Zanj. (AL)

Bersambung…

Pemberontakan Zanj (13): Jatuhnya Kota Basrah (1)

Sebelumnya:

Pemberontakan Zanj (11): Perubahan Strategi (2)

Catatan kaki:

[1] Artikel tersebut bisa diakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/pemberontakan-zanj-3-anarki-di-samarra-2/

[2] Lihat, https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/28/lkcxib-daulah-abbasiyah-almuhtadi-khalifah-yang-adil, diakses 12 Oktober 2018

[3] The History of al-Tabari Volume XXXVI, The Revolt of the Zanj, Translated by David Waines, State University of New York Press, 1992, hal. 70

[4] Ibid, hal. 76

[5] Lihat, Nadirsyah Hosen, Khalifah Al-Muhtadi: Umar bin Abdul Azis-nya Dinasti Abbasiyah,  https://geotimes.co.id/kolom/politik/khalifah-al-muhtadi-umar-bin-abdul-azis-nya-dinasti-abbasiyah/, diakses 12 Oktober 2018

[6] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*