Mozaik Peradaban Islam

Penaklukan Persia (6): Peristiwa Pengangkatan Nabi Muhammad Saw dan Tanda-Tandanya di Persia (1)

in Sejarah

Last updated on August 18th, 2020 10:26 am

Pada usianya yang ke-40, Muhammad saw diangkat menjadi nabi. Sementara itu di Persia atap lengkung istana kerajaan runtuh dan bendungan di Tigris menjadi jebol. Raja meminta penjelasan kepada para tukang sihir.

Lukisan tentang Kisra II dan Heraclius (Kaisar Roma), pelukis tidak diketahui. Sekarang koleksi milik Louvre Museum. Foto: Jastrow

Ketika Abdul-Masih kembali ke Kisra (Anushirwan), dia memberitahunya tentang perkataan Satih (bahwa Kekaisaran Sasaniyah akan berakhir setelah dipimpin oleh empat belas penguasa lagi).

Kisra berkomentar, “Begitu empat belas dari kita telah memerintah, banyak hal akan terjadi!”

Demikian riwayat dari Makhzum bin Hani al-Makhzumi sebagaimana disampaikan oleh al-Tabari. Mengenai riwayat di atas al-Tabari berkata, “Sepuluh dari mereka, bagaimanapun, hanya memerintah selama empat tahun saja, dan sisanya dari mereka memegang kekuasaan sampai masa pemerintahan (khalifah) Utsman bin Affan.”[1]

Menurut sejarawan Agha Ibrahim Akram, setelah masa Anushirwan tidak ada lagi raja yang memiliki kualitas seperti dia, dan praktis Kekaisaran Sasaniyah terus mengalami penurunan. Ada dua penyebab utama yang membuat Sasaniyah terus menurun, yaitu karena serangan dari Romawi dan pertumpahan darah di lingkaran Kekaisaran Sasaniyah itu sendiri.[2]

Anushirwan akhirnya meninggal setelah 48 tahun berkuasa,[3] atau sembilan tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad saw.[4] Anushirwan (Kisra) kemudian digantikan oleh anaknya, Hurmuz (Hormizd IV).[5] Hurmuz kemudian digantikan oleh anaknya, Abarwiz (Kisra II),[6] dan pada masa raja inilah Nabi Muhammad saw diangkat menjadi nabi oleh Allah Swt.[7]

Pengangkatan Nabi Muhammad Saw

Muhammad di Makkah usianya telah genap mencapai 40 tahun, hingga pada 21 Ramadan, atau bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 M, dia menerima wahyu pertamanya di Gua Hira. Malaikat Jibril kemudian memberitahunya bahwa dia adalah seorang rasul.[8]

Sementara itu di Persia, Abarwiz yang telah berkuasa selama 20 tahun sedang melaksanakan sebuah proyek pembangunan bendungan di Dijlah al-Awra (Mata Satu Tigris), yaitu sebuah muara yang membentang hampir 160 km, dari gabungan Sungai Efrat dan Tigris sebelum mengalir ke Teluk Persia di Abadan (pada masa kini bernama Sungai Shatt al-Arab di Irak).

Abarwiz tengah berusaha, pada akhir masa pemerintahannya, untuk mengatasi banjir yang berlebihan di Irak bagian bawah dengan memperbaiki atau membangun bendungan dengan dibuatnya pintu air (musannayat) dan saluran pengalihan dari sungai untuk dialihkan ke kanal (buthuq). Namun, usahanya ini berujung dengan kegagalan.[9]

Namun, dalam sejarah yang ditulis oleh al-Tabari, kegagalannya ini ternyata berkaitan dengan peristiwa diangkatnya Nabi Muhammad saw sebagai nabi. Al-Tabari meriwayatkan dari Wahab bin Munabbih:

Kisra (Abarwiz) membangun bendungan di Dijlah al-Awra dan menghabiskan (uang)nya dalam jumlah yang sangat besar sehingga tidak ada yang tahu seberapa besarnya. Juga, ruang tahta istananya (taq majlisihi) dibangun (dengan kemegahan) yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Dia biasa melepaskan mahkota dan duduk di singgasananya ketika dia berada di depan umum. Dia memiliki 360 orang pintar (huzat), mereka adalah orang-orang terpelajar, termasuk peramal, ahli sihir, dan ahli nujum.

Di antara mereka terdapat seorang pria dari Arab yang bernama al-Saib yang biasa membaca pertanda berdasarkan cara terbang burung, sebuah cara dari orang-orang Arab yang jarang salah (kebenarannya). Badhan (gubernur Persia di Yaman) telah mengutusnya ke Kisra dari Yaman.

Manakala Kisra terganggu oleh suatu masalah, dia akan memerintahkan para peramal, penyihir, dan ahli nujum untuk berkumpul dan berkata kepada mereka, “Selidiki masalah ini dan lihat apa sebenarnya itu.”

Kini, ketika Allah mengutus nabi-Nya, Muhammad, Kisra bangun pada suatu pagi dan menemukan bahwa atap lengkung istana kerajaannya (taq mulkihi) telah runtuh di tengah tanpa ada beban apapun di atasnya; juga, bahwa (bendungan di) Dijlah al-Awra telah jebol.

Ketika dia melihat semua itu, dia menjadi sangat sedih dan berkata, “Atap lengkung istana kerajaanku telah runtuh di tengahnya tanpa ada beban apapun yang diletakkan di atasnya, dan (bendungan di) Dijlah al-Awra telah jebol: Shah bishikast,” yang (dalam bahasa Arab) berarti “raja telah digulingkan (secara harfiah, ‘dihancurkan’).”

Kemudian dia memanggil peramal, ahli sihir, dan ahli nujum, dan juga memanggil al-Saib bersama mereka. Dia berkata kepada mereka, “Atap lengkung istanaku telah runtuh di tengah tanpa ada beban apapun yang diletakkan di atasnya, dan Dijlah al-Awra telah jebol: Shah bishikast. Selidiki masalah ini dan lihat apa sebenarnya itu.”[10] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 5, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C. E. Bosworth (State University of New York Press: New York, 1999), hlm 285-288.

[2] Agha Ibrahim Akram, The Muslim Conquest of Persia (Maktabah: Birmingham, 1975), hlm 7.

[3] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 294.

[4] Agha Ibrahim Akram, Op.Cit., hlm 5.

[5] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 295.

[6] Ibid., hlm 305.

[7] Ibid., hlm 330.

[8] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 91-93.

[9] Ibid., hlm 330-331.

[10] Ibid., hlm 331-332.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*