“Sekitar tahun ke-6 setelah hijrah di Madinah. Rasulullah Saw bermimpi memasuki Masjidil Haram lalu mengambil kunci Ka’bah. Bersama para sahabat, Nabi pun melakukan ibadah thawaf dan umrah. Dalam mimpi itu, Beliau melihat para sahabat mencukur juga memendekkan rambut mereka. Perihal mimpi tersebut, disampaikan oleh Nabi, dan disambut begitu bahagia oleh para sahabat.”

Sumber: oasis camel ride
Hijrahnya Nabi Muhammad Saw ke Yatsrib (Madinah) tidak lantas membuat kaum Quraisy tinggal diam. Kabilah yang begitu membenci Nabi juga semua kaum Muslim itu melakukan berbagai cara untuk melenyapkan Islam beserta Nabi dan pengikutnya.
Namun, setelah Nabi berada dI Madinah—meskipun ada ancaman internal dari kaum Yahudi—terjadi masa-masa ketenangan. Terlebih selepas pecahnya perang Badar, perang Uhud, dan perang Khandaq, tekanan dari kaum Quraisy mulai mengendur.
Kaum Yahudi pun tidak memberanikan diri untuk melawan kekuatan Islam, setelah perang di Khaybar. Saat mereka melanggar perjanjian dalam Piagam Madinah.
Di Madinah dengan kondisi yang cukup damai, tidak menyurutkan keinginan Nabi serta para Muhajirin yang rindu akan tanah air. Terlebih untuk mengunjungi Ka’bah, yang begitu dimuliakan baik oleh Nabi beserta umat juga kaum Quraisy.
Mengingat ada bulan-bulan yang memang dilarang untuk berperang di seputar Ka’bah, maka Nabi pun melakukan perjalanan menuju Masjidil Haram untuk melakukan ibadah.
Latar Belakang
Peristiwa terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, berangkat dari mimpi yang dialami oleh Nabi di tahun ke-6 setelah hijrah di Madinah. Beliau bermimpi memasuki Masjidil Haram lalu mengambil kunci Ka’bah. Bersama para sahabat, Nabi pun melakukan ibadah thawaf dan umrah. Dalam mimpi itu, Beliau melihat para sahabat mencukur juga memendekkan rambut mereka. Perihal mimpi tersebut, disampaikan oleh Nabi, dan disambut begitu bahagia oleh para sahabat.
Para sahabat memperkirakan pada tahun itu juga mereka bisa memasuki kota Mekkah, karena selama enam tahun dihalang-halangi oleh Kaum Quraisy. Tak lama kemudian, kabar Nabi akan melakukan umrah ke Makkah tersiar ke seluruh Madinah.
Nabi pun memutuskan untuk melakukan umrah dan melakukan perjalanan ke Mekkah, pada tanggal 1 Dzul-Qa’idah Tahun 6 H. Tak hanya kaum Muslim yang ikut dalam rombongan tersebut, orang-orang Arab Badui pun ikut berangkat bersama Rasulullah.
Nabi berangkat bersama 1400 orang (ada juga yang mengatakan 1500 orang) menuju Mekkah, tanpa membawa senjata. Hanya pedang dan sarung yang lazimnya dilakukan oleh para musafir. Perjalanan tersebut merupakan perjalanan suci untuk melaksanakan ibadah, dan bukan memicu pertempuran dengan kaum Quraisy.
Begitu tiba di daerah Dzul Hulaifah, unta-unta yang dibawa dari Madinah, dikalungi tali, diberi tanda di lambung kanan. Menandakan bahwa hewan-hewan itu untuk kurban, bukan sebagai tunggangan perang.
Nabi pun menitahkan para sahabat untuk mengenakan pakaian ihram, tujuannya agar kaum Quraisy tidak menyerang. Pun agar kaum Quraisy mengetahui bahwa perjalanan Nabi untuk melaksanakan ibadah suci.
Akan tetapi, kedatangan Nabi ternyata sudah diketahui oleh pihak musuh. Dari informasi mata-mata seorang kaum Bani Khuza’ah—sekutu Muslim—mengatakan bahwa kaum Quraisy tengah menghimpun orang-orang dari berbagai kabilah untuk menghalangi dan memerangi rombongan Nabi.
Lalu Nabi pun berembuk dengan para sahabat, meminta pendapat mereka. Karena jika rombongan Nabi meneruskan perjalanan, kemungkinan terjadi bentrokan tidak terelakkan.
Nabi bersabda, “Setujukah kalian jika kita condong kepada kaum kerabat yang telah membantu mereka lalu kita membasmi mereka? Kalau pun mereka diam, sebenarnya diamnya itu karena takut dan karena tak berdaya. Kalau pun mereka bisa selamat, di sana masih ada sekian banyak nyawa yang siap dicabut Allah. Ataukah kita harus memasuki Makkah dan siapa pun yang menghalangi, kita akan memeranginya?”
Abu Bakar ra memberi pendapat, dan mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Tapi kita datang hanya untuk melaksanakan umrah. Kita datang bukan untuk memerangi seseorang. Tapi siapa pun yang akan menghalangi kita untuk memasuki Masjidil Haram, maka kita akan memeranginya.”[1]
Maka setelah bermusyawarah dengan para sahabat, Nabi pun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Di lain pihak, kaum Quraisy pun sedang berembuk. Karena sejak berakhirnya perang Khandaq, kaum Quraisy selalu curiga bahwa kedatangan kaum Muslim sudah dipastikan hendak memicu peperangan. Meskipun Nabi telah memberikan sinyal, bahwa kedatangan kaum Muslim bukan untuk bertempur.
Maka mereka pun mengambil keputusan akhir bahwa bagaimanapun caranya rombongan Nabi jangan sampai memasuki Masjidil Haram. Kaum Quraisy mengutus Khalid Bin Walid sebagai pimpinan pasukan penghadangan.
Khalid sudah mengawasi rombongan Nabi saat sedang melaksanakan salah Zuhur, dan berencana menyerang ketika rombongan melaksanakan salah Ashar. Atas kehendak Allah, rencana Khalid gagal. Karena Allah menurunkan hukum salat khauf, sehingga lenyaplah kesempatan serangan itu dari tangan Khalid.
Nabi pun meneruskan perjalanan menuju Masjidil Haram, ke jalur perjalanan yang tidak pernah terpikirkan oleh Kaum Quraisy.
(Bersambung)
Catatan kaki:
[1] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah (Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 438