“Utusan kaum Quraisy datang dengan perjanjian yang kaku dan seolah memaksa Nabi untuk menyetujui perjanjian tersebut. Nabi tidak menolak syarat-syarat tersebut dan memanggil Ali bin Abu Thalib untuk menulis isi perjanjian. Yang pada akhirnya dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah.”

Masjid Hudaibiyah. Sumber gambar: beritabantul.pikiran-rakyat.com
Terlepas dari berita simpang-siur mengenai isu tewasnya Utsman, maka Nabi Muhammad Saw memanggil para sahabat. Mereka berkumpul di bawah sebuah pohon rindang, lalu mengikrarkan bahwa tidak akan pergi untuk melarikan diri. Ikrar inilah yang disebut dengan Baiat Ridwan.
Abu Sinan Al-Asady, yang paling pertama mengucapkan baiat dan Nabi mewakili Utsman dengan tangannya sendiri, karena yakin bahwa Utsman pun takkan melarikan diri. Tidak lama setelah proses Baiat Ridwan selesai, Utsman kembali ke rombongan di Hudaibiyah. Ia pun mengucap baiat langsung di hadapan Nabi.
Atas peristiwa terjadinya sumpah setia yang tercetus dalam Baiat Ridwan, Allah SWT menurunkan sebuah ayat: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (Al-Fath:18) [1]
Kaum Quraisy yang Menawarkan Perjanjian
Baiat Ridwan yang dilakukan Nabi, sahabat serta kaum Muslim segera tersiar di kalangan kaum Quraisy. Mereka begitu kalut. Karena para pimpinan kaum Quraisy merasa cemas, mental mereka telah jatuh saat mengalami kekalahan peperangan melawan kaum Muslim.
Maka mereka pun segera melakukan pertemuan darurat untuk menghadapi ancaman dari kaum Muslim, yang tetap bersikeras untuk memasuki Kota Mekkah. Sedangkan kaum Quraisy tidak bisa gegabah menyerang, karena mereka tahu dari Utsman, rombongan Nabi datang untuk melakukan ibadah umrah. Bukan berperang.
Karena itu pihak kaum Quraisy segera mengirim Suhail bin Amr untuk berunding dengan Nabi. Tujuan mereka untuk menghindari posisi yang rawan bagi kaum Quraisy jika terjadi bentrokan dengan rombongan Nabi.
Dari tawaran perundingan yang ditawarkan kaum Quraisy melalui Suhail, ada satu klausul yang menyatakan bahwa Nabi harus tetap kembali ke Madinah pada tahun itu. Untuk mencegah tersebarnya berita di antara bangsa Arab mengenai kaum Quraisy, karena Nabi beserta rombongan berhasil masuk ke Mekkah lewat jalur kekerasan.
Kaum Quraisy tidak mau harga diri mereka tercoreng.
Suhail pun datang dengan perjanjian yang kaku dari kaum Quraisy dan seolah memaksa Nabi untuk menyetujui perjanjian tersebut. Nabi tidak menolak syarat-syarat tersebut dan memanggil Ali bin Abu Thalib untuk menulis isi perjanjian. Yang pada akhirnya dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian Hudaibiyah
Maka dari kedua belah pihak Suhail mewakili kaum Quraisy dan Nabi dari kaum Muslim, bersepakat untuk menandatangani perjanjian. Isi Perjanjian Hudaibiyah, yakni:
- Rasulullah bersama kaum Muslim harus pulang kembali ke Madinah pada tahun tersebut, dan tidak diperkenankan memasuki Mekkah. Kecuali, untuk tahun-tahun berikutnya. Nabi bersama orang Muslim hanya diberi waktu tiga hari untuk melaksanakan ibadah, dan hanya diperbolehkan membawa senjata bagi para musafir.
Sementara kaum Quraisy tidak boleh menghalang-halangi Nabi dan kaum Muslim yang hendak beribadah.
- Kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan selama 10 tahun.
- Barangsiapa yang ingin bergabung dengan pihak Nabi atau dengan pihak kaum Quraisy diberikan kebebasan. Hal ini pun berlaku bagi kabilah-kabilah yang ingin bergabung dan melakukan perjanjian dengan salah satu dari kedua belah pihak.
- Siapa pun dari kaum Quraisy yang menyeberang ke kubu Nabi tanpa izin walinya (melarikan diri), maka ia harus dikembalikan pada kaum Quraisy. Sebaliknya, apabila dari pengikut Nabi mendatangi kaum Quraisy (melarikan diri dari Nabi), tidak boleh dikembalikan pada Nabi.[2]
Ketika perjanjian hendak berlangsung, terjadi peristiwa di mana Abu Jandal harus dikembalikan kepada kaum Quraisy padahal perjanjian belum ditandatangani. Abu Jandal adalah putra Suhail yang menjadi Muslim, dan atas perjanjian tersebut ia harus kembali ke kaum Quraisy.
Hikmah dari Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah di mata kaum Muslim cukup memberatkan. Mereka menilai bahwa perjanjian tersebut, seolah kaum Muslim kalah dan lemah terhadap kaum Quraisy. Pun Perjanjian Hudaibiyah tersebut tak ubahnya bentuk penghinaan terhadap Islam.
Namun, visi dan misi Nabi jauh ke depan. Setidaknya ada hikmah di balik perjanjian tersebut.
Yang pertama, legitimasi pemerintahan Islam. Bahwa status Nabi sebagai sebagai pemimpin umat Islam dan Madinah diakui oleh kaum Quraisy. Kedua, gencatan senjata selama sepuluh tahun justru akan mempermudah Nabi untuk menyebarkan agama Islam. Karena tidak ada urusan perang dengan kaum Quraisy.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah disepakati, pengikut agama Islam semakin meningkat. Terlebih dari wilayah-wilayah lain di luar Mekkah dan Madinah.
(Selesai)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah (Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 439
[2]Ibid.