Mozaik Peradaban Islam

Siapa Penggubah Syair Cinta Nabi Barzanji (10): Sayyid Jafar Barzanji (5): Tasawuf sebagai Titik Temu (1)

in Studi Islam

Last updated on March 18th, 2021 02:37 pm

Wahid Akhtar, seorang filsuf asal India, menjelaskan bahwa titik temu antara Syiah dan Sunni berada di Tasawuf.

Lukisan mengenai Syaikh Salim Chishti sedang duduk di bawah pohon di pemakaman bersama para pelayan. Foto: Koleksi British Museum

Di awal telah dijelaskan bahwa orang-orang Indonesia yang belajar di tanah Arab seringkali mencari ulama Kurdi sebagai guru-guru mereka. Seolah-olah ada seelenverwanschaft (persaudaraan/kekerabatan jiwa) antara orang Indonesia dan orang Kurdi.

Sebagian, hal ini mungkin karena orang Indonesia, paling tidak menjelang abad ke-17, adalah penganut mazhab fikih Syafi’iyyah sebagaimana juga orang-orang Kurdi. Tetapi ini hampir tidak dapat dijadikan alasan tunggal, karena fikih bukanlah mata pelajaran utama yang mereka pelajari dari para guru Kurdi tersebut.

Di bidang tasawuf dan ibadahlah terletak tali persaudaraan yang dekat antara orang Islam Indonesia dan Kurdi. Demikianlah sebagaimana dijelaskan oleh Martin van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia.[1]

Sebagaimana kita tahu, Sayyid Jafar Barzanji juga adalah orang Kurdi, dengan demikian dapat dipastikan bahwa dia juga merupakan seorang ulama tasawuf. Sebagaimana para ulama pendahulu mereka, ulama-ulama Kurdi ini seringkali menjadi guru bagi tarekat-tarekat tasawuf, sebut saja Tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Cisytiyah, di samping masih banyak juga tarekat-tarekat lainnya.[2]

Dengan demikian, barangkali hal inilah yang dapat menjelaskan mengenai ke-“Syiah”an Sayyid Jafar Barzanji sebagaimana diduga oleh sebagian kalangan. Kata kunci dari semua ini adalah “Tasawuf”.

Dalam sebuah artikel yang berjudul Tasawwuf the Meeting Point of Tashayyu and Tasannun (Tasawuf Titik Temu antara Tashayyu [Syiah] dan Tasannun [Sunni]), Sayyid Wahid Akhtar, seorang filsuf Muslim asal India, menjelaskan bahwa sesungguhnya jika sudah menyangkut tasawuf atau kesufian, kendatipun ada beberapa perbedaan istilah (misalnya orang Syiah ketimbang menyebut diri mereka sebagai seorang sufi, mereka lebih suka disebut sebagai arif, dan pengetahuan tentang tatanan spiritual tertinggi disebut irfan), di antara Sunni dan Syiah lebih banyak titik temunya ketimbang perbedaannya.

Wahid Akhtar menjelaskan, bahwa inti dari ajaran akhlak di dalam Islam ada di dalam tasawuf. Akhlak seseorang kepada Allah dan juga makhluk-Nya adalah yang terpenting dan merupakan spiritualitas sejati dalam Islam.

Di antara berbagai titik temu Sunni dan Syiah dalam tasawuf, Wahid Akhtar menyoroti dua hal utama, yaitu kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali di Karbala.

Menurut Akhtar, seluruh silsilah dalam tarekat sufi bermuara kepada Ali bin Abi Thalib, dengan pengecualian satu-satunya adalah Tarekat Naqsyabandiyah (yang bermuara kepada Abu Bakar ash- Shiddiq). Oleh para sufi, Ali disebut sebagai Sayyid al-Awliya (pemimpin para wali dan sufi).

Ali dianggap sebagai orang setelah Nabi yang telah menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Allah untuk mendapatkan ridha ilahi, dan bahkan segala tindak-tanduknya pun sudah berdasarkan kehendak Tuhan.[3]

Senada, Annemarie Schimmel menjelaskan, bahwa Nabi Muhammad adalah mata rantai pertama dalam rantai spiritual tasawuf, dan peristiwa Isra Miraj yang disinggung dalam QS al-Isra ayat pertama adalah prototipe kenaikan spiritual mistik ke dalam hadirat Allah yang intim. Menurut tradisi di dalam Islam, kebijaksanaan esoterik ini kemudian diturunkan dari Nabi Muhammad kepada sepupu dan menantunya Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat.[4]

Kemudian mengenai Husein bin Ali, Akhtar menjelaskan, bahwa pengorbanan terbesar dalam sejarah Islam adalah syahidnya Husein di Karbala. Menurut Akhtar, banyak mufasir yang berpandangan bahwa ayat 27-30 dalam surat al-Fajr merujuk kepada kesyahidan Imam Husein.

Akhtar menekankan bahwa pengorbanan Ali dan Husein memiliki signifikansi sosial-politik yang besar dalam sejarah Islam serta dalam sejarah manusia secara keseluruhan. Menurutnya, tidak ada seorang pun sejarawan yang, jika mereka jujur, dapat menyangkal status spiritual yang tinggi dari Ali dan Husein.[5]

Tentu saja, kita boleh tidak setuju dengan pandangan Akhtar tersebut, tapi ke depan kita akan menguji pandangannya. Apakah benar, dalam dimensi akhlak dan spiritual – lebih tepatnya dalam sudut pandang tasawuf – di antara Sunni dan Syiah, lebih banyak titik temunya ketimbang perbedaannya. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Mizan: Bandung, 1995), hlm 78.

[2] Ibid., hlm 82.

[3] Sayyid Wahid Akhtar, Tasawwuf the Meeting Point of Tashayyu and Tasannun (Al-Tawhid Islamic Journal).

[4] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (The University of North Carolina Press: United States of America, 2011), hlm 27.

[5] Sayyid Wahid Akhtar, Loc.Cit.

1 Comment

Leave a Reply to Alamsyah Cancel reply

Your email address will not be published.

*