Wacana Martabat Tujuh dalam Kesusateraan Jawa-Islam (4)

in Islam Nusantara

Last updated on April 4th, 2018 05:42 am

 

Oleh: Khairul Imam

“Para guru sufi senantiasa mengingatkan kita untuk shalat daim. Shalat di alam arwah guna mengembalikan kedirian kita setelah diambil sumpah setia untuk bertauhid. Menghadapkan wajah kita kepada Allah swt. lalu bersujud, membaca tasbih, duduk bersimpuh memohon ampunan dan kasih sayang-Nya. Menengok ke kanan dan melihat malaikat, lantas mengusapkan salam sebagai tanda kehadiran batin, tanpa mengabaikan lahir.”

 —Ο—

 

Perkembangan interkoneksitas antara susastera Jawa-Islam dengan teks-teks tasawuf dari abad-ke abad semakin kental. Hal ini sejalan dengan kemajuan peradaban Islam yang semakin tinggi dan menyebar secara luas di bumi Nusantara. Pengajaran Islam yang disisipkan melalui tradisi lisan maupun tulis begitu rupa dinikmati oleh umat Islam pada masa itu. Terbukti sisipan, bahkan rujukan-rujukan penting dari khazanah Islam klasik semakin kentara mewarnai ragam serat, suluk, dan tembang-tembang yang diadopsi oleh para pujangga dan ulama di Jawa.

Selain R. Ng. Ronggowarsito, Martabat Tujuh juga mengalun dalam karya ulama-ulama Jawa Barat, seperti Haji Hasan Mustapa. Dalam salah satu dangding-nya, Pucung Lutung buntung naek kana pager gintung (Pucung, Monyet buntung naik ke atas pagar gintung), Mustapa memberikan paparan sebagaimana dimaksudkan dalam martabat (alam) tujuh. Berikut adalah salah satu kutipan dari Martabat Tujuh karya Haji Hasam Mustapa:[1]

 Alam tudjuh nu tilu bagian itu Ahadiat wahdat wahidiat kabéh Lamun nelah di aing ngan bobodoan (Alam tujuh itu tiga bagian Ahadiat, wahdat, wahidiat, semua Bila disebut ada padaku sekedar bohongan)

Anu opat bagian aja di mahluk Njawa misal djasmani insanan kabéh Lebah dieu lahir njembah kabatinan. (Yang empat bagian ada di makhluk Nyawa (arwah), mitsal, jasmani (ajsam), insan (kamil), semua. Di sini lahir menyembah batin)

Dari penggalan di atas, apa yang disampaikan Mustapa senyawa dengan al-Burhanfuri dalam at-Tuhfah. Bahwa Martabat Tujuh terdiri dari ahadiyat, wahdat, wahidiyat, alam arwah (nyawa), alam mitsal, alam ajsam (jasmani), dan insan kamil (insanan). Tiga martabat pertama ada pada Tuhan, empat sisanya pada makhluk. Ketiga wujud pertama Tuhan itu bersifat qadim (tak diciptakan, terdahulu), sementara keadaan hamba Allah adalah muhdats (diciptakan, baru).

Dalam danding ini Mustapa begitu tegas menyatakan bahwa tiga martabat pertama tidak bisa benar-benar ada pada diri manusia secara lahir. Jika pun ada seseorang atau diri lahiriah mengaku telah mendapatkan ketiga alam ketuhanan tersebut, maka dapat dipastikan ia telah berdusta. Artinya, capaian itu sekadar bentuk emanasi bukan dalam kemenyatuan sesungguhnya. Argumentasi pun dibangun di danding berikutnya bahwasanya yang demikian itu bersifat batin. Sementara keempat sisanya merupakan alam lahir atau alam nyata. Juga dinyatakan keterikatan antara alam lahir dengan alam batin, yang secara eksplisit disebutkan bahwasanya alam lahir itu menyembah alam batin sebagai sumbernya.

Selain karya Haji Hasan Mustapa, terdapat satu naskah lain dari Desa Pamijahan yang berjudul Martabat (Alam) Tujuh. Naskah ini dianggap sebagai karya Syekh Haji Abdulmuhyi, seorang penyebar Islam di Jawa Barat, meski hal ini diragukan oleh Aliefya M. Santrie berdasarkan pelacakan langsung terhadap naskah ini.[2]

Dalam catatan Aliefya M. Santrie disebutkan, meski karya ini ditulis dengan huruf pegon yang ber-harakah, dengan menggunakan langgam Jawa (baru) pesisir, tapi secara keseluruhan naskah tersebut tampaknya bukan ditulis oleh satu orang yang sama, kecuali dalam beberapa bagian, termasuk “kecurigaan-kecurigaan” lainnya, seperti detail dalam beberapa bagian, naskah penuh coretan, dan lain sebagainya.[3]

Dalam naskah tersebut dikatakan, “… aja angangken kawula iya Gusti, iya Gusti iya kawula aja angangken kita iki kadadehaning Wujudullah.” (jangan menganggap hamba adalah Tuhan, Tuhan adalah hamba, bahkan jangan pula menganggap [kehambaan] kita adalah pengejawantahan dari “wujud” Allah. Sementara dalam pembukaan naskah ini, terutama ketika menjelaskan martabat pertama, Ahadiyat, Haji Abdulmuhyi menyatakan bahwa Wujud Allah yang mutlak itu qadim, sementara ke-ada-an hamba adalah muhdats. Adapun yang disebut qadim itu (meliputi) martabat ahadiyat, wahdat, dan wahidiyat, martabat-martabat “keesaan” Allah yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Demikian inilah yang disebut sebagai Wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk ke dalam apa yang disebut muhdats, yaitu martabat alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan insan kamil. Martabat-martabat yang serba mungkin. Bahkan dalam naskah ini dikatakan bahwa (ke-ada-an) yang serba mungkin itu baru jadi setelah Allah memfirmankan, “Kun”.[4]

Penjelasan empat martabat “muhdats” dimulai dengan menjelaskan tentang martabat alam arwah, yaitu martabat nyawa ketika belum menerima nasib; dan nyawa itu masih merupakan cahaya suci yang pertama kali dijadikan kehidupan, sehingga disebut nyawa rahmani. Nyawa rahmani masih belum diberikan warna apa pun, sebab baru dijadikan Allah sebagai jauhar. Ketika telah menerima nasib dan pecah dalam bentuk nyawa-nyawa yang telah dibebani ketentuan hidup, maka ke-ada-an nyawa-nyawa tersebut dijadikan Allah sebagai jisim, dan dinyatakan sebagai alam mitsal.

Kemudian secara berturut-turut menjelaskan alam ajsam, di mana Allah memulai menegaskan kesaksian aas ketuhanan diri-Nya sendiri. Yaitu ketika meng-ada-nya jasad halus yang diistilahkan dengan ruhiyah, yang siap menanggungkan panca indera lahir dan batin, dan semua hal lainnya. Setelah melalui proses sedemikian rupa, maka terjadilah manusia secara jasmani, yang dimulai dengan meng-ada-nya Adam. Dan ini merupakan martabat ke-ada-an manusia-manusia, yang selanjutnya disempurnakan Allah dalam alam insan kamil.

Beberapa istilah menarik juga muncul dalam naskah ini, misalnya ketika menjelaskan tentang alam arwah muncul istilah nyawa rahmani, yaitu nyawa yang masih merupakan cahaya suci yang pertama kali dijadikan kehidupan. Dalam pembabaran alam mitsal muncul istilah nyawa nabati, nyawa hewani, nyawa jasmani, dan nyawa ruhani. Sekumpulan nyawa ini terbagi dari asal-usul cahaya tersebut. Dalam arti, dalam martabat alam mitsal nyawa-nyawa ini bertugas menyertai nyawa rahmani dengan unsur-unsur kekuatan masing-masing yang konon saling berkaitan.

Selain itu, juga muncul istilah salat daim, yaitu tatkala ruhiyah atau jasad halus selesai diambil persaksiannya oleh Allah, lalu ruhiyah sujud membaca tasbih, duduk memohon ampun dan kasih Allah, menengok kekanan dan melihat para malaikat, lalu mengucapkap salam. Demikian inilah yang dinyatakan sebagai salat daim dan batin yang merupakan asal mula salat zhahir. Sedangkan istilah yang tak kalah penting dalam naskah ini adalah jauhar manikem dan nurbuwat Rasulullah. Jauhar manikem merupakan substansi nyawa, atau sekumpulan nyawa yang telah ditiupkan ruh idhafi. Sedangkan nurbuwat dapat dikatakan sebagai pemuka seluruh nyawa, yang kelak dijadikan sebagai nyawa Nabi Muhammad saw.

Bersambung…

Wacana Martabat Tujuh dalam Kesusateraan Jawa-Islam (5)

Sebelumnya:

Wacana Martabat Tujuh dalam Kesusastraan Jawa-Islam (3)

Catatan kaki:

[1] Jajang A Rohmana, “Tasawuf Sunda dan Warisan Islam Nusantara: Martabat Tujuh dalam Dangding Haji Hasan Mustapa (1852-1930)” dalam Journal Buletin Al-Turas, Faculty of Adab and Humanities, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, vol. 20, no. 2, hlm. 268-269

[2] Aliefya M. Santrie “Martabat (Alam) Tujuh: Suatu Naskah Mistik Islam dari Desa Karang, Pamijahan” dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah Kritis atas Karya-karya Klasik (Bandung: Mizan dan Elsaf, 1987),

[3] Ibid., hlm. 109

[4] Ibid., hlm. 114

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*