WS Rendra (5): Akhir Hayat

in Mualaf

Last updated on October 21st, 2017 08:46 am

“Saya menangis untuk masalah-masalah lain. Dulu saya pernah diminta membaca sebuah sajak. Lalu ada rekan mahasiswa yang menangis, terharu. Saya pun ikut menangis. Saya juga gampang menangis kalau membaca riwayat Nabi Muhammad. Indah sekali. Membayangkan pengorbanan Nabi yang tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada agama Islam, kalau tidak ada Nabi. Saya juga menangis kalau mengenangkan Asmaul Husna”[1]

WS Rendra, Depok 2006

WS Rendra muda.

Rendra wafat pada 6 Agustus 2009 di usianya yang ke-75 akibat komplikasi penyakit yang dideritanya. Setelah sebelumnya sempat dirawat di RS Harapan Kita, beliau sempat pulang dulu ke kediamannya di Depok, lalu kemudian masuk RS Mitra Keluarga di Depok, dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di sana. Berita meninggalnya Rendra pada waktu itu merupakan berita yang sangat menyedihkan bagi keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan juga masyarakat Indonesia. Indonesia telah kehilangan putra bangsanya yang sangat berharga. Namun terlepas dari itu semua, karya-karyanya, pemikirannya, dan jiwanya masih tetap hidup sampai hari ini. Buah karya dan pemikiran Rendra masih tetap dan akan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi setelah beliau.

Mengenai agama Islam yang telah dianut Rendra, beliau menunjukkan bahwa pandangannya, perilakunya, dan puisinya terhadap ajaran Islam berada dalam tahap keseriusan, dan tentu saja dengan pemahaman yang mendalam pula. Rendra banyak berbicara mengenai Islam sambil mengutip ayat-ayat Al-Quran beserta maknanya, sebagaimana pernah kita ulas pada artikel sebelumnya.

Kemudian dalam perilaku beragama kesehariannya, berdasarkan kesaksian-kesaksian, Rendra shalat setiap harinya, meninggalkan alkohol dan daging babi, dan juga meninggalkan hal-hal yang berbau mistis. Tidak lupa, dalam puisinya pun konsep-konsep ajaran Islam tertuang di sana, misalnya saja konsep mengenai ujian, titipan dari Allah, hubungan batin antara individu dengan Allah, syukur, keadilan Allah, dan konsep inti dari ajaran Islam, yaitu keberserahdirian. Semua lengkap termaktub dalam puisinya yang diciptakannya ketika sedang sakit di pembaringan menjelang akhir hayat hidup beliau, simak:

“Hidup itu seperti uap,

yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap!

Ketika orang memuji milikku,

aku berkata bahwa ini hanya titipan saja.

 

Bahwa mobilku adalah titipan-Nya,

Bahwa rumahku adalah titipan-Nya,

Bahwa hartaku adalah titipan-Nya,

Bahwa putra-putriku hanyalah titipan-Nya …

 

Tapi mengapa aku tidak pernah bertanya,

“Mengapa Dia menitipkannya kepadaku?”

“Untuk apa Dia menitipkan semuanya kepadaku?”

 

Dan kalau bukan milikku, apa yang seharusnya aku lakukan untuk milik-Nya ini?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

Malahan ketika diminta kembali,

kusebut itu musibah,

kusebut itu ujian,

kusebut itu petaka,

kusebut itu apa saja …

Untuk melukiskan, bahwa semua itu adalah derita …

 

Ketika aku berdo’a, kuminta titipan yang cocok dengan kebutuhan duniawi,

Aku ingin lebih banyak harta,

Aku ingin lebih banyak mobil,

Aku ingin lebih banyak rumah,

Aku ingin lebih banyak popularitas,

 

Dan kutolak sakit,

Kutolak kemiskinan,

Seolah semua derita adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih-Nya, harus berjalan seperti penyelesaian matematika dan sesuai dengan kehendakku.

 

Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita itu menjauh dariku,

Dan nikmat dunia seharusnya kerap menghampiriku …

Betapa curangnya aku,

Kuperlakukan Dia seolah “Mitra Dagang” ku dan bukan sebagai “Kekasih”!

Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan menolak keputusan-Nya yang tidak sesuai dengan keinginanku …

 

Duh Allah …

 

Padahal setiap hari kuucapkan,

“Hidup dan Matiku, Hanyalah untukMu ya Allah,” ampuni aku, ya Allah …

Mulai hari ini, ajari aku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam setiap keadaan dan menjadi bijaksana, mau menuruti kehendakmu saja ya Allah …

Sebab aku yakin Engkau akan memberikan anugerah dalam hidupku ..

Kehendakmu adalah yang terbaik bagiku …

 

Semoga manfaat

Sahabatmu…”[2]

Kesaksian menjelang wafatnya Rendra juga diceritakan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib:

“Malam Jumat, di bawah cahaya bulan purnama. Orang besar itu telah pergi dengan gagah sebagaimana ajarannya: ‘gagah dalam kemiskinan’. Istrinya, Ken Zuraida, menyatakan ‘ia sangat bahagia’, meskipun pasti bagi setiap yang terlibat kematian selalu ada semacam ‘derita manusiawi’ yang membungkusnya. Ini adalah puncak tangis mengguguk-guguk seorang pecinta yang air matanya tumpah di ufuk kesadaran tentang nyawiji. Selama sakit di pembaringan, Rendra selalu spontan menyebut, ‘Ya Lathif, wahai Yang Mahalembut.’ Di saat-saat paling menderita oleh sakitnya, ia meneguhkan hatinya dengan ‘Qul huwal-Lahu Ahad, Allahus-Shamad….’ Setengah sadar, sambil saya genggam tangan kirinya, saya minta ia menambahi, ‘Mas, ucapkan juga Qul Huwal-Lahu Wahid….’ Ia berbisik, ‘Apa bedanya Ahad dengan Wahid, Nun’, saya jawab, ‘Mas, Ahad itu Allah yang tunggal, yang satu, yang gagah perkasa dengan maha-eksistensi-Nya. Wahid itu Allah yang manunggal, yang menyatu, yang integral, yang merendahkan diri-Nya, mendekat ke hamba-Nya, nyawiji….’ Meledak tangis Rendra dalam rasa dan kesadaran bahwa ia tak berjarak dengan-Nya dan Ia tak berjarak dengan dirinya. Tatkala mereda gejolak hatinya, Rendra menorehkan puisi yang diakhiri dengan kalimat, ‘Tuhan, aku cinta pada-Mu.’”[3]

Puisi yang dimaksud Emha dalam kesaksiannya itu diperlihatkan oleh pihak keluarga di rumah duka di Bengkel Teater, Citayam pada tanggal 7 Agustus 2009. Berikut ini adalah teks lengkap dari puisi terakhir Si Burung Merak yang ditulis tangan oleh Rendra sendiri:

“Aku lemas

Tapi berdaya

Aku tidak sambat rasa sakit

atau gatal

 

Aku pengin makan tajin

Aku tidak pernah sesak nafas

Tapi tubuhku tidak memuaskan

untuk punya posisi yang ideal dan wajar

 

Aku pengin membersihkan tubuhku

dari racun kimiawi

 

Aku ingin kembali pada jalan alam

Aku ingin meningkatkan pengabdian

kepada Allah

 

Tuhan, aku cinta padamu

 

Rendra

31 July 2009

Mitra Keluarga”[4]

Masih menurut kesaksian Emha, setelah puisi tersebut tercipta, Rendra sempat pulang ke rumah karena keadaannya membaik. Emha menafsirkan bahwa keinginannya dalam bait puisi tersebut terwujud, yaitu “Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimia. Aku ingin kembali kepada jalan alam. Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah. Tuhan, aku cinta pada-Mu.” Rendra kemudian dipanggil Allah justru di puncak optimisme keluarganya atas kesembuhannya. [5]

Rendra memang telah wafat, tapi jiwanya masih “hidup” di sekeliling kita. Iwan Fals, musisi legendaris Indonesia, pernah membuat sebuah lagu tentang WS Rendra yang berjudul “Willy” yang dirilis dalam album “Ethiopia” tahun 1986. Willy adalah panggilan akrab WS Rendra di lingkungan teman-teman dekatnya. Liriknya menggambarkan kekaguman sekaligus kekangenan Iwan Fals pada sosok Rendra yang memiliki kepedulian tinggi terhadap rakyat kecil.[6] Salam hormat untuk Si Burung Merak. (PH)

Selesai.

Sebelumnya:

WS Rendra (4): Penghayatan terhadap Islam

Catatan kaki:

[1] “Rendra Tertarik dengan Alquran”, dari laman http://www.republika.co.id/berita/shortlink/67740, diakses 10 Oktober 2017.

[2] “Puisi Terakhir WS Rendra Bikin Merinding Baca Wasiatnya”, dari laman: http://www.dutaislam.com/2016/04/puisi-terakhir-ws-rendra-bikin-merinding-baca-wasiatnya.html, diakses 12 Oktober 2017.

[3] Emha Ainun Nadjib, Bulan Purnama Rendra, Majalah Gatra Edisi Khusus, terbit 13 Agustus 2009.

[4] “Tuhan, Aku Cinta Padamu..” Puisi Terakhir Rendra, dari laman: https://news.detik.com/berita/1179062/tuhan-aku-cinta-padamu-puisi-terakhir-rendra, diakses 12 Oktober 2017.

[5] Emha Ainun Nadjib, Loc. Cit,.

[6] “’Willy’”, Sebuah Kekaguman Iwan Fals pada WS Rendra, dari laman: https://news.detik.com/berita/1179170/willy-sebuah-kekaguman-iwan-fals-pada-ws-rendra, diakses 12 Oktober 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*