Mozaik Peradaban Islam

Ziarah Makam Wali (7): Sunan Drajat di Lamongan

in Budaya Islam

Last updated on July 1st, 2018 01:18 pm

“Jasad boleh pergi, namun kenangan dan ajarannya menjadi inspirasi. Keberimanan diri tak akan berarti tanpa peran dan pemenuhan panggilan sosial. Seperti Sunan Drajat. Ia telah meninggalkan warisan betapa pentingnya kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat. Karena baginya itu kunci untuk mencerap cahaya Ilahi yang tak akan berpendar tanpa pemantik api kehidupan dengan memikirkan masyarakat dan mengangkat mereka dari keterpurukan duniawi. Kemudian mengentaskannya dari kubangan, lalu bersama-sama melangit menjumpai Rasulullah saw. Tuhan semesta alam. Seperti firman Tuhan dalam hadis qudsi, “Sayangilah yang di bumi, niscaya makhluk langit akan menyayangimu”   

—Ο—

 

Para sufi dan orang-orang saleh adalah pejalan sunyi. Mereka mengikuti jejak Nabi saw. dalam hampir seluruh lini kehidupannya. Bukan hanya dalam laku peribadatan individu, melainkan aspek-aspek sosial dan kemasyarakatan serta inovasi-inovasi kenegaraan, politik, dan lain sebagainya. Karena itu, salah besar ketika dikatakan bahwa para sufi merupakan sekumpulan ahli zikir dan shalat yang hanya mementing urusan akhirat semata. Tidak mengindahkan urusan-urusan duniawi dan anti terhadap kehidupan sosial. Justru disebabkan begitu massifnya kesadaran ilahiah itulah, hingga pancaran jiwanya yang merupakan pantulan cahaya-Nya membuncah memenuhi ruang-ruang sosial. Berjuang mendidik masyarakat dengan cinta dan kasih, memberdayakan mereka dengan ragam keahlian hingga memampukan mereka menjalani kehidupan secara mandiri sebagai bekal kehidupan akhirat. Sementara di tengah gulita, mereka berpacu membanjiri sajadah dengan air mata. Tunduk, khusyuk, khudu’ di hadapan Tuhannya.

Contoh kongkret dari laku di atas sebagaimana diteladankan oleh Sunan Drajat atau Raden Qasim, putra bungsu Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila. Lahir sekitar tahun 1470-an. Garis nasab Raden Qasim sama dengan Sunan Bonang, yaitu sama-sama putra Sunan Ampel, putra Ibrahim Asmarakandi yang berdarah Champa-Samarkand-Jawa.  Hal ini sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dari Babad Risaking Majapahit dan Babad Cerbon bahwa Raden Qasim adalah putra bungsu dari Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila. Ia adalah adik dari adik Nyai Patimah yang bergelar Gede Panyuran, Nyai Wilis alias Nyai Pengulu, Nyai Taluki bergelar Nyai Gede Maloka, dan Raden Mahdum Ibrahim alias Sunan Bonang.[1]

Sentuhan pendidikan pertamanya di tangan orang tuanya, Sunan Ampel. Meski demikian, corak Jawa dalam diri Sunan Drajat lebih dominan dikarenakan ia hidup dalam lingkungan keluarga Bupati Tuban yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya Jawa. Maka tak heran jika Sunan Drajat sangat piawai dengan ilmu, bahasa, seni dan sastra Jawa. Setelah memeroleh pengajaran dari ayahnya, Raden Qasim kemudian dikirim oleh Sunan Ampel kepada muridnya, yaitu Sunan Gunung Jati. Ia pun menimba ilmu di sana sampai purna. Melihat kecerdasan dan kesalehan putra gurunya itu, Raden Qasim pun dinikahkan dengan putri Sunan Gunung Jati yang bernama Dewi Sufiyah. Dari pernikahan ini, Raden Qasim dikaruniai tiga orang putra-putri yaitu Pangeran Rekyana atau dikenal Pangeran Trenggana, Pangeran Sandi, dan Dewi Muryana. Selain Dewi Sufiyah, Raden Qasim dikabarkan menikahi beberapa perempuan-perempuan lainnya seperti Nyai Kemuning putri Kyai Mayang Madu, dan menikah dengan Nyai Retna Ayu Candra Sekar putri Arya Wiranatapada atau Arya Suryadilaga.[2]

Sementara itu, nama Drajat ini kemungkinan berasal dari Sunan Gunung Jati, yang mana ketika ia menimbal ilmu kepadanya ia sempat mendapatkan julukan Masaikh Munat dan Pangeran Kadrajat. Demikian pula, setelah menikahi Dewi Sufiyah Raden Qasim dinobatkan sebagai imam di daerah Lawang dan Sedayu, yang berada di Pedukuhan Drajat.

Salah satu kekhasan pendekatan dakwah yang digunakan Sunan Drajat adalah ia dikenal sebagai sosok yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ketinggian jiwa sosialnya ini mula-mula ditunjukkan dengan banyaknya anak-anak yatim yang tinggal di pesantrennya. Dalam sisa hidupnya setelah menetap di Lamongan, ia habiskan untuk mendidik masyarakat, terutama para santri dari kalangan anak-anak yatim baik di pesantrennya maupun di masjid yang didirikannya secara sederhana. Mereka dididik dengan penuh kasih sayang tanpa dipungut biaya, bahkan tak jarang Sunan Drajat memberikan santunan kepada mereka. Menyantuni fakir miskin dengan mengumpulkan mereka ke pendopo masjidnya dan membagikan berbagai bentuk makanan.

Selain itu, ia juga sangat peduli dengan nasib fakir miskin dan begitu perhatian terhadap pemberdayaan masyarakat. Ajaran-ajarannya sangat sederhana dan mudah diterima oleh masyarakat. Pendekatan sosial-empiris dengan membangkitkan solidaritas, kedermawanan, pemberdayaan masyarakat melalui pemberian pelatihan kerja, kemandirian hidup, dan gotong royong. Usaha dakwah bil hal ini semakin lancar ketika Sunan Drajat mendapatkan wewenang untuk mengatur wilayah Desa Drajat sebagai daerah perdikan dari Kerajaan Islam Demak pada tahun 1553 M. Ia juga disebut-sebut mampu mengentaskan kemiskinan dan menciptakan kemakmuran bagi masyarakatnya. Salah satu jasa terbesar yang secara nyata dapat dirasakan masyarakat yaitu keberhasilannya menyumbangkan pemikiran tentang kesempurnaan alat angkutan (transportasi) dan bangunan perumahan,[3] dan sempat menjabat sebagai pihak yang memegang kendali atau menjabat sebagai keprajan di wilayah perdikan selama 36 tahun.

Berkat kemampuan sastra, seni, dan budaya Jawa yang mendalam, ia pun dikenal sebagai sosok inovatif dengan memasukkan seni gending dan tembang. Ia menggubah sejumlah tembang macapat langgam Pangkur. Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya pejabat kerajaan yang mengawasi jalannya pemerintahan sekaligus yang mengawasi pejabat yang dilarang memasuki daerah perdikan. Akan tetapi, di tangan seniman seperti Sunan Drajat kata Pangkur konon dimaksudkan sebagai pang atau pangudi dan kur berarti kuran. Dalam arti, Pangudi isine quran atau berusaha memahami dan mengerti isi al-Quran sebagai kitab suci umat Islam. Lebih dari itu, ia pun menjadi teman diskusi Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga ketika mereka mengalami jalan buntu terkait dengan inovasi-inovasi dan seluk-beluk tentang Jawa.

Sunan Drajat menghabiskan usianya di Desa Drajat, Paciran, Lamongan. Setelah wafat, ia pun dikebumikan di dekat petilasannya di daerah yang sama. Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari Surabaya maupun Tuban melintasi jalan Daendels (Anyar-Panarukan). Tidak banyak perbedaan dengan makam wali-wali yang lain, makam Sunan Drajat bertungkub dan dikelilingi tembok dengan ukiran kayu yang sangat indah. Di dalam kompleks pemakaman terdapat papan nama dari ukiran kayu bertuliskan “Selamat Datang di Makam Raden Qosim Sunan Drajat (Sunan Mayang Madu).” Kemudian ada beberapa gazebo atau sejenis rumah-rumah dari kayu ukiran.

Papan selamat datang di makam Sunan Drajat. Makam ini terletak di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Kira – kira sekitar 14 Km dari taman Wisata Bahari Lamongan. Lamongan, Jawa Timur. Sumber gambar: sufiz.com

Pada sisi halaman bagian selatan makam terdapat pagar pacak suji dengan pintu kayu beratap sirap. Kemudian memasuki area dalam disambut dengan selasar dengan gaya khas rumah tradisional yang telah berusia tua. Tampak terasa aura sakral di dalamnya. Selasar pertama menghubungkan dengan halaman kedua dengan bangunan seperti bale-bale yang terbuat dari kayu yang tampak sangat tua sekali.

Pintu kayu yang menandai jalan masuk menuju areal makam. Sumber gambar: ombonejagad.com

Ketika memasuki area kedua, peziarah akan disajikan papan-papan kayu yang digantung di atas pilar bertuliskan petuah-petuah Sunan Drajat. Di antara petuah-petuah itu adalah: Memangun resep tyasing Sasoma (hendaknya kita selalu membuat senang hati orang lain); Jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada); Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan); Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu); Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keheningan itulah kita akan mencapai cita-cita luhur); Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu); Wènèhana teken marang wong kang wuta, Wènèhana mangan marang wong kang luwé, Wènèhana busana marang wong kang wuda, Wènèhana ngiyup marang wong kang kodanan (Berilah tongkat pda orang buta, berilah makan terhadap orang yang lapar, pakaikanlah baju pada orang yang telanjang, berikanlah tempat berteduh bagi orang yang kehujanan)

Dalam arti yang lebih luas, wejangan terakhir ini bisa dimaknai untuk selalu mengajarkan ilmu agar orang-orang menjadi mengerti. Memberi makan berarti menciptakan kesejahteraan kepada masyarakat. Kemudian mengajarkan mereka etika dan adab agar masyarakat mengenal budaya malu, serta memberikan perlindungan kepada orang-orang lemah dan menderita.

Di sekitar selasar terdapat makam-makam tua dengan patok batu. Pada posisi paling tinggi terdapat tangga yang menghubungkan dengan makam Sunan Drajat. Area makam utama ini berbentuk bangunan limasan dengan atap kayu. Atapa makam sepertinya sengaja dibuat rendah agar para peziarah yang memasuki area tersebut merunduk untuk menghormati Sang Sunan.

Area makam utama berbentuk bangunan limasan dengan atap kayu. Sumber gambar: ombonejagad.com

Seperti gambaran masa hidupnya yang bersahaja dan dekat dengan masyarakat, makamnya pun mudah diakses, bahkan sampai mendekat ke tungkup. Dinding-dinding berukiran kayu begitu menggambarkan jiwa seninya yang tak pernah padam. Suasana di sekitar makam begitu asri dengan pepohonan yang rindang dan udara yang sejuk. Setelah berziarah, biasanya peziarah akan diarahkan ke jalan kecil menuju mushalla kecil Sunan Drajat yang berbentuk panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu. Kemudian menyusuri tangga menuju area masjid, musium, dan pasar. Pada bagian sisi musium yang menghadap masjid dipajang sebuah peninggalan bayang gambang . Bentuknya berupa papan kayu panggung mirip angkringan. Menurut keterangan yang ada bayang gambang digunakan sebagai tempat musyawarah para sunan untuk memutuskan hal-hal yang penting dan sebagai tempat mengaji sahabat dan murid-murid Sunan Drajat.[4]

Masjid atau Mushallah yang terletak di areal makam Sunan Drajat. Sumber gambar: ombonejagad.com

Sunan Drajat boleh pergi, namun kenangan dan ajarannya menjadi inspirasi. Keberimanan diri tak akan berarti tanpa peran dan pemenuhan panggilan sosial. Ia telah meninggalkan warisan betapa pentingnya kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat. Karena baginya itu kunci untuk mencerap cahaya Ilahi yang tak akan berpendar tanpa pemantik api kehidupan dengan memikirkan masyarakat dan mengangkat mereka dari keterpurukan duniawi. Kemudian mengentaskannya dari kubangan, lalu bersama-sama melangit menjumpai Rasulullah saw. dan Tuhan semesta alam. Seperti firman Tuhan dalam hadis qudsi, “Sayangilah yang di bumi, niscaya makhluk langit akan menumpahkan kasih sayangnya kepadamu” (KI)  

Bersambung ke:

Ziarah Makam Wali (8): Syekh Siti Jenar (1)

Sebelumnya:

Ziarah Makam Wali (6): Sunan Gunung Jati di Cirebon

Catatan kaki:

[1] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo., hlm. 304

[2] Ibid., hlm. 306

[3] Ridin Sofwan, H. Wasit, H. Mundiri, Islamisasi di Jawa, walisongo, penyebar Islam di Jawa (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004), hlm. 115

[4] http://www.ombonejagad.com/2015/06/wisata-religi-makam-sunan-drajat.html

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*