Tepat ketika kami melihat burung-burung pertama dari Arab mulai berputar-putar di udara, petir menyambar gunung-gunung di timur dan badai yang membesar menggelapkan langit, menutupi segalanya.
Mari kita lanjutkan catatan perjalanan Ibnu Jubair. Pada episode kali ini penulis akan menampilkan proses perjalanan Ibnu Jubair dari Aydhab (dulunya berada di Mesir) menuju ke Jeddah (sekarang berada di Arab Saudi) melalui jalur Laut Merah.
Pada masa kini, Aydhab menjadi pelabuhan tua yang diabaikan, dan ia berada di wilayah Halayeb Triangle (Segitiga Halayeb), atau biasa disebut Hala’ib. Halayeb Triangle adalah tanah sengketa yang terletak di perbatasan antara Mesir dan Sudan.
Tanah tersebut meliputi area seluas 20.580 kilometer persegi dan namanya diambil dari kota Hala’ib yang terletak di sana. Sengketa Segitiga Halayeb disebabkan oleh berbagai persepsi yang berbeda mengenai batas-batas antara Mesir-Sudan.[1]
Berikut ini adalah kutipan catatan perjalanan Ibnu Jubair, selamat menyimak:
Menyeberangi Laut Merah
Kapal-kapal yang mengarungi Laut Merah dari Aydhab ke Jeddah disusun dan dibangun tanpa menggunakan paku sama sekali. Kapal-kapal ini direkatkan dengan tali yang terbuat dari serat kelapa, yang ditumbuk oleh para tukang sampai berbentuk benang….
Kapal-kapal tersebut didempul dengan serutan pohon kurma, dan ketika konstruksi selesai, mereka mengolesinya dengan minyak, minyak jarak atau minyak ikan hiu, yang terakhir adalah yang terbaik….
Mereka melumasi kapal untuk melunakkan bagian luarnya dan membuatnya lentur, melindunginya terhadap kontak yang tak terelakkan dengan terumbu karang, inilah (alasan) yang membuat kapal yang (dibuat dengan cara) dipaku enggan untuk melintasi perairan ini.
Baik kayu mau pun serat kelapanya (yang digunakan untuk membuat kapal) berasal dari India. Layarnya, luar biasanya, ditenun dari daun-daun pohon karet, tetapi lembarannya disusun dengan rapuh dan dibuat dengan kualitas yang buruk….
Perjalanan laut kami (dari Aydhab ke Jeddah), pada hari Selasa dan Rabu memakan waktu yang lebih lama dari biasanya, anginnya sepoi-sepoi. Kemudian, setelah salat maghrib pada hari Kamis, tepat ketika kami melihat burung-burung pertama dari Arab mulai berputar-putar di udara, petir menyambar gunung-gunung di timur dan badai yang membesar menggelapkan langit, menutupi segalanya.
Badai mengamuk, mendorong kapal keluar jalur dan, akhirnya, mundur. Amarah angin berlanjut. Kegelapan semakin tebal dan memenuhi udara sehingga kami tidak bisa tetap berada di jalur kami.
Akhirnya, beberapa bintang muncul kembali untuk memandu kami. Layar diturunkan ke bagian bawah tiang, dan kami melewati malam dalam badai yang membuat kami putus asa. Laut Firaun terkenal karena amukan ini, tetapi pada pagi hari Allah memberikan kami pertolongan.
Angin menghilang, awan menyebar, langit menjadi cerah. Di kejauhan, tanah Hijaz tampak di hadapan kami. Kami hanya bisa melihat pegunungan di timur Jeddah. Kapten kami mengatakan mereka memerlukan dua hari lagi (untuk sampai)….
Kami berlayar sepanjang hari bersama angin sepoi-sepoi yang menyejukkan, menemui banyak terumbu karang di sepanjang perjalanan yang memecah ombak dan mendatangkan keceriaan kepada kita semua. Kami memasuki lorong berair ini dengan sangat hati-hati.
Kapten itu begitu terampil dan berseni, dan Allah melindungi kami dari karang-karang sampai akhirnya kami berlabuh di sebuah pulau kecil di dekat pantai, yang bernama “Rintangan Kapal”. Allah menyelamatkan kami dari namanya yang tidak menyenangkan.
Kami turun di sini dan melewati Jumat malam. Pagi itu tenang, tetapi angin bertiup dari arah yang tidak tepat (untuk membuat kapal melaju), jadi kami tetap di sana sepanjang hari. Pada hari Sabtu angin sepoi-sepoi bertiup, dan kami berlayar dengan pelan ke laut yang tenang yang menyerupai sepinggan kristal biru….
Pada hari Senin malam kami berlabuh di dekat Jeddah. Kota itu terlihat begitu jelas. Angin mengamuk keesokan paginya dan mencegah kami untuk mencapai pelabuhan (Jeddah). Jalan masuknya menjadi begitu sulit karena ada banyak terumbu karang dan (kedalaman airnya) dangkal dan berliku-liku.
Kami mengagumi ketangkasan yang ditunjukkan oleh para kapten haji ini dan (awak) pelaut mereka ketika mengendalikan kapal mereka di antara terumbu karang. Sungguh luar biasa. Mereka akan memasuki saluran sempit dan melewatinya bagaikan seorang penunggang kuda yang mengendarai dengan tangkas, memegang tali kekang dan (membuatnya) menurut. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Selengkapnya lihat Amanda Briney, “The Halayeb Triangle: Historically Disputed Land Between Sudan and Egypt”, dari laman https://www.thoughtco.com/halayeb-triangle-1435449, diakses 8 Januari 2020.