“Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang dan menyelenggarakan pergelaran-pergelaran wayang dengan upah baginya berupa jimat Kalimasada atau ucapan kalimat syahadat”
–O–
Suatu hari, saat Sunan Kalijaga berada di hutan, ia melihat seorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Sunan Kalijaga bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Sunan Kalijaga ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukan oleh Sunan Bonang. Karena itu Sunan Kalijaga ingin menjadi murid Sunan Bonang.[1]
Sunan Kalijaga memperdalam Islam dari Sunan Bonang dan ulama lainnya. Setelah menjadi penyiar agama Islam, ia diangkat oleh Dewan Wali Sanga sebagai salah satu anggotanya yang menjadikan namanya akrab di telinga masyarakat Islam di Jawa. Ia menjadi satu-satunya Wali yang bisa diterima berbagai pihak, baik oleh mutihan atau abangan[2], santri dan kaum awam. Menurut Babad Tanah Jawi, nama Sunan Kalijaga berawal ketika Raden Sahid bertapa di tepi sungai sesuai perintah Sunan Bonang. Raden Sahid bersemedi di tepi sungai sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Sahid tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang, lalu ia tertidur untuk waktu yang lama. Karena lamanya ia tidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Sahid dan ia mulai dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.[3]
Sunan Kalijaga sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka Sunan mempunyai strategi untuk mendekati secara perlahan. Sunan Kalijaga yakin jika Islam sudah dipahami, maka dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga sangat mudah difahami dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan dan seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang popular adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah penggagas Sekatenan, Grebeg Maulud serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu.[4]
Salah satu jalan dakwah yang ditempuh Sunan Kalijaga ialah dengan menggunakan wayang. Seperti cerita pewayangan yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga melalui tokoh Yudistira, terdapat pusaka yang ampuh yaitu jimat Kalimasada. Kalimasada dalam dunia Islam yaitu kalimat Syahadat yang menuntun pada tingkat kesucian. Oleh karena itu Yudistira sering dilambangkan memiliki darah putih yang berarti suci dan sabar. Dalam perjalanannya Yudistira mempunyai empat saudara yaitu Werkudara, Janaka, Nakula dan Sadewa. Yang merupakan gambaran dari shalat, zakat, puasa dan haji yang selanjutnya Pandawa tersebut merupakan rukun Islam. Oleh karena kelihaian Sunan Kalijaga dalam mengolah tokoh-tokoh Pandawa hingga tokoh-tokoh tersebut tidak dapat dipisahkan dan menjadi simbol rukun Islam, sehingga Islam mudah diterima dalam masyarakat Jawa. [5]
Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang dan menyelenggarakan pergelaran-pergelaran wayang dengan upah baginya berupa jimat Kalimasada atau ucapan kalimat syahadat. Ia ingin memainkan lakon yang biasanya untuk meramaikan suatu pesta peringatan-peringatan, asalkan yang memanggil itu mau bersyahadat sebagai kesaksian bahwa ia rela masuk Islam. Ia mengatakan bahwa setelah berislam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat selanjutnya Sunan Kalijaga mulai mengajak melaksanakan ibadah-ibadah dan memberikan pengetahuan Islam melalui wayang. Menurutnya bila Islam sudah mulai dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama yang buruk akan hilang.[6]
Wayang kulit sebagai media dakwah yang senantiasa dipergunakan oleh Sunan Kalijaga dalam kesempatan dakwahnya di berbagai daerah, dan ternyata wayang ini merupakan media yang efektif serta dapat mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap agama. Kemampuan Sunan Kalijaga dalam mendalang (memainkan wayang) begitu memikat, sehingga Sunan Kalijaga terkenal dengan nama samaran di berbagai daerah. Jika ia mendalang di daerah Pajajaran ia dikenal dengan nama Ki Dalang Sidabrangri, di Tegal ia dikenal dengan nama Ki Dalang Bengkok, dan daerah Purbalingga terkenal dengan nama Ki Dalang Kumendung.[7]
Sunan Kalijaga lah yang yang membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng dan Bagong sebagai tokoh Punakawan yang jenaka. Kadangkala ia menggunakan tokoh Bancak dan Doyok. Salah satu lakon wayang yang diciptakan Sunan Kalijaga adalah Jimat Kalimasada yang diambil dari perkataan kalimat syahadat. Dengan lakon ini Sunan Kalijaga mengajak orang-orang Jawa di –pedesaan maupun kota untuk mengucapkan kalimat syahadat sebagai cara memeluk agama Islam. Selain itu ada juga lakon wayang Dewaruci yang berasal dari kalimat Dewa Ruh Suci atau Ruh Qudus. Lalu ia pun menambahkan tembang lagu Jawa pada pertunjukan wayang kulitnya, seperti lir-ilir yang akrab di telinga orang Jawa sampai saat ini. Dengan kata lain, Sunan Kalijaga merupakan pencipta wayang kulit sebagai media hiburan, dakwah, pendidikan dan falsafah hidup.[8] (SI)
Selesai.
Sebelumnya:
Wayang Dalam Dakwah Islam Di Nusantara (4) : Peran dan Sejarah Sunan Kalijaga (1)
Catatan kaki:
[1] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga
[2] Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktekan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang ortodoks. Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Abangan#cite_ref-Zaini_1-0
[3] Lihat, Slamet Riyadi, Babad Demak, Depdikbud Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia, Jakarta, 1981.
[4] Lihat, https://www.walisembilan.com/sunan-kalijaga/
[5] Lihat, Jurnal Ilmiah Styvegi Arvio Dhandel, Penyebaran Agama Islam Di Pulau Jawa Oleh Sunan Kalijaga Melalui Media Wayang Kulit, Universitas Indonesia, Jakarta, 2013, hal 9
[6] Lihat, Ibid
[7] Lihat, Ibid
[8] Lihat, Ibid hal 10