“Setelah sang ayah, Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon, Maulana Hasanuddin memulai dakwahnya di wilayah Banten”
—Ο—
Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sebakingking lalu melanjutkan Islamisasi, setelah ayahnya, Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon. Ia berdakwah dari satu daerah ke daerah lain yang merupakan tempat-tempat keramat, mulai dari gunung Pulosari, Gunung Karang, Gunung Aseupan, sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Usaha-usaha yang dilakukan Maulana Hasanuddin bertujuan untuk melukiskan penguasaan rohani atas wilayah politik Banten Girang, yang nantinya akan direbut secara militer.
Posisi Banten pada waktu itu berada di perbatasan antara dua tradisi utama nusantara, yaitu tradisi Kerajaan Jawa dan tempat perdagangan Melayu.[1] Hal tersebut menjadikan Banten sebagai daerah atau kota cosmopolitan yang mempunyai jaringan dagang sampai ke Inggris pada abad ke-16 M. Hal itu pula yang mempengaruhi komposisi masyarakat Banten yang multikultural.
Sejak awal abad ke-16, pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan besar Kerajaan Pajajaran setelah Sunda Kelapa yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Wilayah ini dikuasai oleh suatu kerajaan bercorak Hindu dan merupakan daerah taklukan dari Kerajaan Pajajaran, nama kerajaan itu terkenal dengan nama Banten Girang. Penguasa terakhir Kerajaan Banten Girang adalah Pucuk Umun.
Kerajaan Banten Girang menjadi besar dan termasyhur dikarenakan banyaknya pedagang asing yang terlibat dalam perdagangan lada, ini dikarenakan di wilayah ini lada merupakan komoditas yang umum. Serta kegiatan pengolahan bijih besi yang menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat di Kerajaan Banten Girang. ini dibuktikan dengan banyaknya temuan beberapa alat-alat dalam metalurgi.
Kerajaan Banten Girang pun sudah memiliki infrastruktur kota secara menetap. Kerajaan ini dikelilingi oleh banetang alamiah seperti perbukitan, hutan, dan pagar buatan berupa parit-parit yang tidak lain berfungsi sebagai benteng pelindung kerajaan. Sungai Cibanten yang mengalir di pusat kota seperti menjadi berkah bagi Kerajaan Banten Girang. Sungai inilah yang menjadi alat transportasi utama dari pedalama menuju ke pelabuhan.
Masuknya pedagang-pedagang asing, terutama para pedagang muslim ke wilayah Banten telah mengakibatkan perubahan dalam pemerintahan. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang usaha Syarif Hidayatullah dari Cirebon bersama Sembilan puluh delapan orang muridnya mengislamkan penduduk Banten.
Pada tahun 1525 M Maulana Hasanuddin berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun penguasa Banten Girang. kemudian pada tahun 1526 atas petunjuk Syarif Hidayatullah, ia memindahkan pusat pemerintahan Banten yang tadinya berada di Pedalaman Banten Girang (sekitar 3 km dari kota Serang) ke dekat pelabuhan Banten.[2] Syarif Hidayatullah menentukan posisi istana, benteng, pasar dan alun-alun yang harus dibangun. Tempat ini kemudian diberi nama Surosowan dan menjadi Ibu kota Kerajaan Islam Banten, setelah penaklukan Banteng Girang.
Penaklukan Ibukota oleh Maulana Hasanuddin diceritakan dengan singkat dalam Sajarah Banten dan tahunnya terungkap dala Candrasengkala Brastha Gempung Warna Tunggal, yang oleh Hoesein Djajadiningrat ditafsirkan sebagai tahun 1400 Saka atau 1478 M. ternyata tahun 1400 saka disebut juga dalam babad-babad[3] jawa sebagai tahun keruntuhan Majapahit, yaitu saat awal zaman Islam di Jawa. Menurut sumber Portugis, Banten Girang jatuh ke tangan kaum Muslim pada akhir tahun 1526 M atau awal tahun 1527 M. Namun, tradisi lokal banyak yang menyebutkan bahwa pemindahan ibukota terjadi pada tahun 1526 M.
Keputusan memindahkan pusat pemerintahan dari pedalaman ke pesisir merupakan langkah yang strategis, mengingat pada waktu itu Teluk Banten merupakan kawasan yang cukup ramai didatangi pada pedagang dari berbagai wilayah, baik negeri maupun luar negeri. Dengan perpindahan ini, Kesultanan Banten menjadi daerah terbuka untuk tujuan perdagangan. Kesultanan Banten pun menjadi lebih dinamis, karena menjadi daerah tujuan pedagang dari berbagai belahan dunia.
Maulana Hasanuddin sebagai Sultan pertama Banten memerintah tahun 1527-1570 M. pada masa pemerintahannya, kekuasaan Kesultanan Banten diperluas ke Lampung hingga Sumatera Selatan. (SI)
Selesai.
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Claude Guillot, Banten (Sejarah dan Peradaban Abad XVII), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 2008, hal 11-12
[2] Lihat, Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Jawara, Ulama, LP3ES, Jakarta, 2003, hal 27
[3] Babad adalah sejenis teks dari Jawa dan Bali yang berhubungan dengan sejarah. Menurut sejarahwan M. C. Ricklefs, babad Jawa beragam dari segi ketepatan, namun sejumlah di antaranya dapat dianggap agak tepat dan sumber sejarah yang berarti. (Wikipedia)