Oleh: Khairul Imam
Seperti ungkapan Ibnu ‘Arabi, penyaksian Tuhan dalam diri seorang wanita adalah bentuk penyaksian paling sempurna. Karena wanita dibuat memikat hati Nabi saw. Gambaran ini seakan tampak dalam risalah Suluk Sujinah yang ditulis oleh seorang wanita. Pertanyaan-pertanyaan cerdas yang diajukan seorang istri kepada suami ini menggali dari akar ketuhanan sampai hakikat penciptaan. Menelanjangi kita bahwa hidup tak sekadar untuk hidup, tapi untuk kehidupan dan Tuhan.
—Ο—
Menggali pesona kesusasteraan Jawa-Islam semakin menegaskan kedalaman makna menjadi “orang Jawa”. Tentu saja ini berbanding sejajar dengan keilmuan beserta penghayatannya yang begitu menghujam, lalu mewarnai estetika sastrawi karya-karya orang-orang Jawa. Namun, semua ini tidak lahir dari ruang kosong. Ada silsilah keilmuan guru-murid yang terjaga, keterpengaruhan dengan karya-karya sebelum dan sesudah, dan kedalaman nilai dari setiap karya yang dihasilkan. Seperti ragam serat dan suluk yang membawa nuansa Timur yang, rupa-rupanya tak bisa hilang begitu saja, tetapi spirit Jawa tetap melekat menjadi ciri khas Nusantara.
Maka, jika ditelaah lebih jauh, kesusastraan pesantren yang lahir pada waktu itu lebih banyak diwarnai nuansa tasawuf atau sufisme. Terlebih yang membawa adalah guru-guru agama yang berasal dari Malaka dan Sumatra, yang sebelumnya menghubungkan secara langsung dengan wilayah-wilayah Arab, seperti Basrah, Persia, Gujarat, dan lain sebagainya, sebagai ‘produsen’ tarekat dan institusi sufistik. Kemudian ide-ide yang mereka bawa pun diakomodir oleh patron-patron Muslim di Jawa pasca keruntuhan Majapahit yang memiliki relasi dan menjalin kontak dengan para sufi. Sehingga terjadilah proses adopsi karya-karya kesusasteraan Jawa yang bernuansa sufistik.[1]
Tampak misalnya dalam membabarkan tahapan-tahapan tasawuf dalam Suluk Sujinah. Naskah ini diduga kuat dikarang oleh Nyai Haji Mushtafa dari Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Ia menuliskan sendiri naskah tersebut dengan kertas daluang, sebagaimana penjelasan dalam lembaran pertama yang menegaskan bahwa naskah ini kepunyaan Nyahi Hajji Mushtafa yang ditulis pada hari Sabtu Pon tanggal 23 Dzulqa’dah tahun 1328 H atau sekitar tahun 1906 M.[2]
Sebuah tema yang dikemas dengan tanya-jawab seorang istri, Dewi Sujinah, kepada suaminya, Syekh Among Raga. Berkisah tentang seorang istri yang berbakti kepada kedua orang tuanya serta rajin beribadah kepada Allah swt. Ia digambarkan memiliki paras cantik dan menawan. Ia pun merupakan seorang istri yang tekun menuntut ilmu, terutama ilmu hakiki dan hidup yang islami. Ditambah lagi dengan kegemerannya melakukan puasa sunat Senin dan Kamis.
Berkaitan dengan deskripsi naskah, Suluk Sujinah ini secara keseluruhan berisi tentang pengenalan terhadap ajaran agama Islam beserta berbagai aspek ajarannya terutama tentang Tuhan. Seorang suami yang berusaha menjelaskan kepada istrinya tentang beragam masalah keagamaan dalam bentuk tanya jawab yang mengarah pada dialektika kedalaman tasawuf, terutama tasawuf falsafi, hingga membabarkan masalah Martabat Tujuh warisan dari Ibn Fadhlillah.
Sebelum menjelaskan tentang aspek-aspek terdalam tasawuf, naskah ini berbicara tentang hakikat wanita bagi laki-laki. Bahwa seorang wanita tidak bisa berbuat banyak dalam urusan dunia dan akhirat tanpa peran laki-laki. Lantas Sujinah pun mempertanyakan fungsi dan peran seorang wanita. Syekh Among Raga pun menjawab sebagai wanita salehah, atau wanita yang taat kepada suami tanpa membantah sedikit pun kehendaknya.
Dalam pendahuluan naskah ini, sekilas tampak pendiskreditan wanita dan perannya dalam keluarga. Akan tetapi, alih-alih mendiskreditkan wanita sebagai pihak kedua, gambaran keseluruhan naskah ini justru memperlihatkan kecerdasan seorang wanita melalui pertanyaan-pertanyaan yang mendalam dan membabibuta.
Misalnya, Dewi Sujinah mempertanyakan tentang syahadat tujuh. Dari pertanyaan ini saja terlihat bukan sebagai pertanyaan awam. Hanya orang-orang yang mengetahui ilmu-ilmu yang mendalam yang akan bertanya demikian. Maka Syekh Among Raga pun menjawab bahwa syahadat tujuh yaitu: Pertama, dua kalimat syahadat (asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah). Yang demikian ini adalah syahadat awam. Kedua, syahadat thariqah, yaitu: la ma’buda illallah, bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah swt. Ketiga, syahadat haqiqah, yaitu: la maujud illallah, tidak ada yang maujud kecuali Allah swt. Keempat, syahadat ma’rifat, yaitu: la ya’rifu illallah, tidak ada yang mengetahui kecuali Allah swt. Kelima, syahadat batin yaitu: Allah-Allah jero ciptane, yang mengandung pengertian bahwa ciptaan Allah selalu memiliki kedalaman yang paripurna. Keenam, syahadat gaib, yaitu Yahu-yahu. Senantiasa menggetarkan hati dengan getaran yang mengarahkan pada kalimat Yahu-yahu, yang artinya wahai Allah (Hu = Huwa Allah). Ketujuh, syahadat barzakh, yaitu: Haq-haq. Menggetarkan hati dengan ungkapan yang membenarkan dengan Haq = hanya Allah yang Mahabenar.[3]
Lebih jauh, Dewi Sujinah juga mempertanyakan tentang bagaimana pertemuan nyawa dengan badan? Apa maskawinnya? Siapa walinya dan siapa yang mengawinkan? Kemudian Syekh Among Raga pun menjelaskan bahwa yang mengawinkan adalah wujud Haq, walinya ilmu sejati, saksinya dua kalimat syahadat, dan bawaannya adalah langit dan bumi yang dinamai Nimas. Sedangkan maskawinnya terserah Dewi, dan saksinya adalah Tuhan saja.
Ilmu sejati dalam konteks ini berarti mengingat akan kenyataan hidup beserta kesempurnaannya dalam hati. Juga mengingat penguasa diri manusia. Hidup sejati dengan nafsu lawwamah, cahayanya adalah nafsu ammarah, dan sufiyah dengan nafsu muthmainnah yang kekal bersama Tuhan. Sementara itu, Al-Quran, hadis, beserta kitab hakikat kudus alam menjadi dalil sandaran.
Adapun singgungan mengenai Martabat Tujuh secara tegas dibabarkan di antaranya ketika menjelaskan tentang penciptaan seluruh makhluk dari Nur Muhammad:[4]
Sebelum ada sesuatu, Nur Muhammad adalah awal sesuatu. Muhammad mengatakan asal kejadian hidup adalah dari Nur saya. Itulah asal sesuatu semua makhluk. Maka adanya saya adalah yang paling awal. Sayalah khalifah Allah.
Martabat arwah adalah gaib tak dapat diraba panca indra, tidak dapat diumpamakan apa-apa. Martabat misl ialah Kun Yah yang sangat halus. Tak bisa dilihat, dan hanya bisa dilihat dengan hati. Martabat jism, yang nrimo, tengah ada tujuh martabat insan. Perkumpulan manusia ialah insan kamil, zat, sifat dan af’al, nyawa martabat insan. Perkumpulan manusia di baitullah artinya orang mukmin di tempat Allah. Diciptakan manusia karena Nur Muhammad, manusia tidak ada kalau tidak dicipta Nur Muhammad.
Begitu dalamnya pertanyaan Dewi Sujinah dan Jawaban Syekh Amog Raga ini menggambarkan tingkat kedalaman ilmu penulisnya. Seorang wanita yang tidak hanya menghidupkan keluarga melalui aktivitas yang tiada henti di wilayah domestik serta ketaatan pada Tuhan dan suaminya, tetapi sekaligus memiliki kedalaman ilmu yang tidak biasa. Pengetahuan di atas secara langsung memberikan gambaran yang gamblang bahwa seorang wanita tidak lagi sebagai pelengkap, namun mampu menghiasi dunia dengan ilmu dan amalnya.
Selesai
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 54
[2] Anas Sudijono, Suluk Sujinah: Sebuah Tinjauan dari Aspek Akidah Islamiah (Jakarta: Dept-Dik-Bud Dirjend Kebudayaan ek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), 1987), hlm. 17-18
[3] Ibid., hlm. 28
[4] Ibid., hlm. 36