Disamping mempelajari ilmu agama, Raden Fatah juga mempelajari ilmu pemerintahan dari Arya Damar. Dengan kedua dasar ilmu ini, bisa dimaklumi bila di kemudian hari, Raden Fatah demikian tangkas memanjat struktur sosial dan politik di tengah masyarakat.
Berdasarkan informasi dari naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang, Raden Fatah tinggal dan dididik oleh Arya Damar sekitar 15 tahun, yaitu dari tahun 1456 (5) sampai 1471.[1] Dalam kurun waktu tersebut, Raden Fatah tidak hanya belajar ilmu agama, tapi juga ilmu pemerintahan kepada Arya Damar. [2]
Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, Arya Damar memiliki pengalaman yang cukup panjang, baik dalam pemerintahan maupun secara militer di Majapahit. Dalam cerita tutur Jawa-Bali bertajuk Usana Jawa dan Pamacangah, dikisahkan Arya Damar adalah pahlawan yang berhasil menaklukkan seluruh Bali pada masa pemerintahan Rani Suhita. Setelah menaklukkan Bali, Arya Damar dikisahkan berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Pasunggiri. Kemudian, Arya Damar juga ikut dalam upaya memedamkam pemberontakan yang dilakukan oleh Bre Daha, putra Bre Wirabumi pada tahun 1434 M.[3]
Setiap kali berhasil mengamankan wilayah kekuasaan Majapahit, Arya Damar juga berhasil memulihkan sistem pemerintahan di wilayah tersebut. Kemampuan managerial Arya Damar sepertinya cukup mumpuni. Mengingat di setiap wilayah yang diperintahnya, dia selalu meninggalkan kesan yang kuat di tengah masyarakat. Ini terlihat dari bagaimana dia dieluh-eluhkan dalam sejumlah catatan naskah-naskah setempat. Bahkan di sejumlah wilayah, seperti Bali, Madura, Jawa dan Palembang, nama Arya Damar dikutuskan sebagai salah satu leluruh yang menurunkan tokoh-tokoh besar di wilayah tersebut.[4]
Hanya saja, di akhir-akhir masa pemerintahan Rani Suhita, terjadi keguncangan politik di internal kerajaan. Rani Suhita tiba-tiba menyingkirkan sejumlah tokoh penting yang memiliki jasa besar terhadap Majapahit. Ironisnya, tersingkirnya tokoh-tokoh penting ini, tanpa ada alasan yang jelas. Padahal mereka dikenal sebagai tokoh yang jujur, setia, kuat, unggul, dan berjasa besar terhadap Majapahit. Salah satunya, adalah Arya Damar. Dia dibuang jauh ke Palembang. [5]
Padahal, Palembang pada masa itu bukanlah wilayah yang secara otoritatif dimiliki oleh Majapahit. Agus Sunyoto mengkonfirmasi data dari catatan Dinasti Ming mendapatkan bahwa Palembang pada masa itu sedang dikuasai para petualang dan perampok Cina sejak era Liang Tau Ming yang dilanjutkan Chen Tsui, Shi Chin Ching, dan Shi Chi Sun, yang semuanya berkuasa di wilayah tersebut layaknya raja.[6]
Namun demikian, Arya Damar berhasil memulihkan kembali situasi Palembang. Bahkan lebih dari itu, dia berhasil membuat wilayah tersebut berkembang, hingga akhirnya berdiri kesultanan Palembang Darussalam yang cukup berwibawa pada zamannya. Sedang di sisi lain, menurut Agus Sunyoto, penyingkiran tokoh-tokoh penting dan berjasa di dalam kerajaan Majapahit secara signifikan menggerus kekuatan imperium terbesar di Nusantara tersebut.[7]
Maka demikianlah. Raden Fatah mendapat didikan langsung dari sosok yang memiliki kedalaman ilmu agama di satu sisi, dan kemampuan memerintah di sisi lain. Bisa dimaklumi bila di kemudian hari, Raden Fatah terlihat demikian tangkas dalam memanjat struktur sosial dan politik di tengah masyarakat. Hingga akhirnya berhasil mendirikan sebuah kekuatan politik baru nan mandiri, yang dikenal sebagai Kesultanan Demak.
Tapi setelah sudah cukup dewasa, terjadi perdebatan sengit antara Raden Fatah dengan Arya Damar mengenai sebuah topik keilmuan, yang membuat Raden Fatah memutuskan pergi dari Palembang dan hijrah ke Pulau Jawa. Agus Sunyoto mengutip salah satu babak cerita dalam Serat Kadaning Ringgit Purwa yang mengisahkan sebab kepergian Raden Fatah dari Palembang, sebagai berikut:[8]
“Sudah dewasa keduanya (Raden Fatah dan Raden Kusen). Raden Fatah bertukar pandangan dengan sang kakak, Arya Damar, memperbincangkan ilmu (agama). Arya Damar memiliki dasar ilmu Buddha (Hindu-Buddha) dan Raden Fatah memiliki dasar ilmu Islam. Lalu pergilah Raden Fatah. Mengasingkan diri (uzlah) ke Gunung Sumirang, gunung di seberang sungai. Puasa mutih. Yang disantap hanya Yang Mahakuasa. Berhasrat untuk menegakkan agama yang mulia. Karena malu di hati telah disalahkan oleh Arya Damar dalam perbincangan ilmu.
Putra Arya Damar, Raden Kusen, enggan ikut ayahnya. Kemana pun Raden Fatah pergi, Raden Kusen selalu ikut. Ketika Raden Fatah pergi bertapa (Uzlah) di gunung, Raden Kusen menyusul. Raden Fatah meminta agar Raden Kusen pulang, karena perjalanan yang akan dilakukan sangat berat, akan pergi ke Jawa. Namun, Raden Kusen telah menyatakan tekad, hidup dan matinya akan diabdikan kepada Raden Fatah. Lalu mereka berdua pergi mengembara keluar dan masuk hutan, melangkah sepanjang tepian sungai, lupa makan dan lupa tidur, sampai mereka berdua berada di pinggir laut.”
Kita sulit memastikan tema perdebatan apa yang dibahas Arya Damar dan Raden Fatah sehingga mengakibatkan Raden Fatah memilih untuk pergi meninggalkan Palembang, dan – berdasarkan informasi sejarah – tidak pernah kembali lagi. Tapi Agus Sunyoto mengasumsikan bahwa perdebatan tersebut terkait dengan pokok-pokok ajaran agama Islam. Karena Raden Fatah merasakan ketidakpuasan mendapat pelajaran agama dari Arya Damar yang masih mengikuti nilai-nilai agama lama. Padahal, ketika itu, kebutuhan Raden Fatah akan pendalaman ilmu-ilmu keislaman terasa kian mendesak. Dia butuh pemecahannya. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LKiS, 2013, hal. 86
[2] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 381
[3] Kisah penumpasan gerakan makar Bre Daha ini, belakangan ditulis oleh Pangeran Pekik dari Surabaya dalam Carita Damawulan.Ibid, hal. 97
[4] Ibid, hal. 97-98
[5] Beberapa tokoh penting tersebut antara lain; Tuan Kanaka yang menjabat sebagai Mahapatih Majapahit sejak tahun 1410. Dia dicopot dari jabatannya tanpa alasan yang jelas pada tahun 1430. Nama penting lainnya, yaitu Ratu Anggabhya Bre Narapati yang berjasa besar dalam penumpasan gerakan pemberontakan Bre Wirabhumi, tiba-tiba dijatuhi hukuman mati pada 1430, tak lama setelah Mahapatih Mangkubumi Tuan Kanaka dicopot jabatannya.Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 103
[6] Ibid, hal. 96
[7] Ibid
[8] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 381-382