Khalifah Al-Mamun meminta kepada Kaisar Kristen Bizantium untuk mengiriminya salinan setiap buku dari perpustakaan mereka. Fakta ini menyanggah mitos abadi tentang benturan antara dunia Muslim dan Kristen yang seolah-olah kaku dan tidak dapat ditawar-tawar.
Pengantar redaksi:
Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel yang berjudul Bayt Al-Hikmah: Lembaga Riset Pertama Islam. Artikel tersebut sebelumnya hanya terdiri dari satu seri artikel, namun karena dirasa masih ada beberapa bahan yang bisa dibahas terkait tema tersebut, maka redaksi memutuskan untuk membuat seri kelanjutannya. Demikian, selamat menyimak.
Bayt Al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad pada masanya merupakan pusat penerjemahan dan penelitian orisinil yang paling terkemuka di dunia. Lembaga ini tiada lain lahir, tumbuh, dan berkembang beriringan dengan berjalannya Zaman Keemasan Islam.
Dalam seri artikel kali ini, kita akan mengulas tentang kegiatan penerjemahan yang dilakukan di Bayt Al-Hikmah, serta dampak gerakan penerjemahan ke bahasa Arab terhadap gerakan penerjemahan pada masa berikutnya, yaitu gerakan penerjemahan bahasa Latin di Eropa Barat pada abad ke-12.
Selain itu, nanti juga akan diulas kiprah dua tokoh besar penerjemahan ke bahasa Arab pada masa itu, yaitu al-Kindi dan Ibnu Ishaq.
Gerakan Penerjemahan
Islam muncul pada tahun 622 di bagian Arabia yang terpencil dan relatif dianggap tidak penting dalam pergaulan dunia pada masa itu. Pembawa agama ini, Nabi Muhammad saw, kemudian wafat pada tahun 632.
Seratus tahun kemudian, Bani Umayyah (pendahulu Bani Abbasiyah) yang merupakan kerajaan Muslim pertama di dunia menguasai tiga benua. Pada masa itu dapat dikatakan mereka adalah kerajaan terbesar di dunia yang pernah ada.
Kerajaan Muslim Arab yang baru berkuasa tersebut merasa bahwa mereka memiliki keterbelakangan budaya yang cukup akut apabila dibandingkan dengan peradaban-peradaban lainnya.
Dinasti Umayyah kemudian runtuh pada tahun 750, hal ini secara umum menandai berakhirnya era persatuan politik di sebagian besar dunia Muslim pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.[1]
Adalah sebuah penilaian yang salah jika Bani Umayyah di Damaskus—yang memerintah sebelum Bani Abbasiyah di Baghdad—dianggap sama sekali tidak memiliki ketertarikan untuk menerjemahkan beberapa karya medis dan astronomi. Mereka melakukannya, namun skalanya sama sekali tidak mendekati seperti apa yang dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah.
Bani Umayyah tidak menerjemahkan karya filosofis Yunani apa pun. Mereka mungkin dengan sengaja menghindari filsafat Yunani, karena lebih fokus kepada karya-karya yang lebih praktis.
Lalu ada kemungkinan juga bahwa Bani Umayyah mewaspadai ide-ide filosofis asing ini berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap nilai-nilai Islam, yang pada saat itu masih merupakan keyakinan yang secara dogmatis relatif baru dan fleksibel.
Ketika Bani Abbasiyah naik ke tampuk kekuasaan, mereka memilih Baghdad sebagai lokasi ibu kota baru mereka karena keuntungan geografisnya— ia berada di dataran subur di antara dua sungai—dan juga untuk alasan politik.
Ini adalah sebuah langkah yang cerdas, karena menempatkan mereka lebih dekat ke jantung peradaban Persia—sesuai dengan sejumlah besar penutur bahasa Persia yang oleh Abbasiyah diandalkan untuk menjadi aparat administrasi kerajaan—dan lebih jauh dari loyalis Umayyah yang berbasis di pesisir timur Mediterania.
Bani Abbasiyah sangat menyukai hampir semua bahasa Persia, termasuk tradisi terjemahan Persia. Bani Abbasiyah mempekerjakan orang-orang Arab, Yahudi, Kristen, dan para spesialis non-Arab yang berbakat dari Timur Tengah dan selebihnya untuk melakukan penerjemahan.
Jumlah dan variasi karya yang diterjemahkan selama periode ini sangat mencengangkan, di dalamnya termasuk buku-buku tentang aljabar, geometri, metafisika, logika, dan risalah-risalah tak terbatas tentang astronomi dan astrologi.
Tidak puas dengan jumlah penerjemahan dari teks bahasa asing ke dalam bahasa Arab yang dilakukan oleh para sarjananya, Khalifah Abbasiyah al-Mamun kemudian mengirim misi diplomatik kepada Amir Muslim Sisilia dan Kaisar Bizantium Kristen di Konstantinopel.
Al-Mamun meminta kepada kerajaan-kerajaan ini untuk mengiriminya salinan setiap buku dari perpustakaan mereka. Meskipun mereka adalah saingan politik al-Mamun, namun Amir Sisilia dan Kaisar Bizantium memenuhi permintaannya.
Fakta sejarah tentang kerja sama ini dengan demikian menyanggah mitos abadi tentang benturan peradaban antara dunia Muslim dan Kristen yang seolah-olah kaku dan tidak dapat ditawar-tawar.
Sesampainya di Baghdad, teks-teks ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan dipelajari oleh para sarjana Baghdadi. Dengan cara ini, ribuan komentar dan revisi ditambahkan ke dalam teks-teks yang diterjemahkan selama Zaman Keemasan Islam.
Khalifah Abbasiyah ini dan juga para penerusnya membayar para penerjemah yang bekerja di Bayt Al-Hikmah dengan sangat tinggi. Hal ini membuat para sarjana senang dan juga menimbulkan daya tarik lebih banyak lagi bagi para sarjana dari seluruh dunia Muslim dan sekitarnya untuk juga ikut bergabung dengan mereka.
Kedermawanan ini mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan al-Mamun, yang memerintah dari tahun 813–833. Di bawah kepemimpinan al-Mamun, para sarjana dapat mengharapkan untuk dibayar emas seberat teks setiap karya yang mereka terjemahkan.[2] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Dikatakan secara umum bukan berarti tidak ada. Karena memang pada faktanya, sebagaimana digambarkan dalam Tarikh al-Tabari, sesungguhnya gejolak perpecahan di dalam dunia Muslim bahkan sempat terjadi dari sejak hari pertama wafatnya Nabi Muhammad saw. Namun secara umum perpecahan tersebut untuk sementara dapat teratasi ketika munculnya pemimpin-pemimpin yang dipilih berdasarkan kesepakatan, meskipun tidak semua pihak merasa puas atas keputusan ini.
[2] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 46-49.