“Manusia mulai berburu madu sejak 8.000 tahun yang lalu. Madu tertua yang masih ada ditemukan di pemakaman di Georgia yang berusia 4.700-5.500 tahun. Referensi tertulis pertama tentang madu ditemukan dalam batu tulis Sumeria, yang berasal dari tahun 2.100-2.000 SM.”
–O–
Kegiatan manusia mengkoleksi madu sudah dilakukan dari sejak zaman kuno. Manusia mulai berburu madu setidaknya sejak 8.000 tahun yang lalu, sebagaimana dibuktikan dengan ditemukannya lukisan di dalam gua di Valencia, Spanyol. Lukisan di dalam batu Mesolithic tersebut menunjukkan dua pemburu madu yang sedang mengumpulkan sarang lebah dan madu dari sarang lebah liar. Dua orang tersebut digambarkan sedang membawa keranjang atau labu, dan menggunakan tangga atau rangkaian tali untuk mencapai sarang liar.[1]
Di masa lalu, manusia mengikuti burung Greater Honeyguide (Indicator indicator [nama latin], sejenis burung pelatuk) untuk menemukan sarang lebah liar,[2] dan perilaku ini mungkin telah berevolusi sejak zaman hominid awal.[3] Sejauh ini, sisa madu tertua ditemukan di Georgia. Arkeolog telah menemukan madu di lapisan dalam bejana tanah liat di sebuah makam kuno yang diperkirakan berusia 4.700-5.500 tahun.[4] Orang-orang Georgia kuno meyakini bahwa madu yang dikemas merupakan bekal untuk orang-orang mati yang akan melakukan perjalanan menuju alam setelah kematian.[5]
Madu Sebagai Obat
Penggunaan obat tradisional untuk mengobati infeksi telah dipraktekkan sejak asal usul manusia itu sendiri, dan madu yang dihasilkan oleh Apis mellifera (A. mellifera) adalah salah satu obat tradisional tertua yang dianggap penting dalam pengobatan beberapa penyakit manusia. Saat ini, banyak peneliti telah melaporkan aktivitas antibakteri pada madu dan menemukan bahwa madu alami yang tidak dipanaskan memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum yang lebih luas saat diuji melawan bakteri patogen, bakteri mulut, serta bakteri pembusuk makanan.[6]
Dalam kebanyakan budaya kuno, madu telah digunakan untuk keperluan nutrisi dan medis. Keyakinan bahwa madu adalah nutrisi, obat, dan salep juga dipercaya di masa kini. Dengan demikian, cabang pengobatan alternatif, yang disebut apitherapy, telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir, menawarkan perawatan berdasarkan madu dan produk lebah lainnya terhadap banyak penyakit, termasuk infeksi karena bakteri.[7]
Madu adalah obat kuno untuk mengobati luka yang terinfeksi, yang belum lama ini baru “diungkap kembali” oleh dunia medis, terutama ketika pengobatan konvensional modern mengalami kegagalan. Namun sesungguhnya, referensi tertulis pertama tentang madu sebagai obat dapat ditemukan dalam batu tulis Sumeria, yang berasal dari tahun 2100-2000 SM, yang mengatakan bahwa madu digunakan sebagai obat yang dimakan dan sebagai salep.[8]
Lebih dari empat ribu tahun yang lalu, madu digunakan sebagai obat dalam pengobatan Ayurveda (ilmu medis tradisional India), di mana madu dianggap efektif dalam mengobati ketidakseimbangan material di dalam tubuh; Pada masa pra-Mesir Kuno, madu digunakan secara topikal (permukaan kulit) untuk mengobati luka; Lebih dari lima ribu tahun yang lalu, orang Mesir menggunakan madu untuk senyawa dalam obat; Orang Yunani kuno percaya bahwa madu yang dikonsumsi bisa membantu membuat hidup lebih lama; Nabi Muhammad memuliakan kekuatan penyembuhan madu, dan bahkan Al-Quran juga juga memuji kemampuan penyembuhan madu.[9]
Aristoteles (384-322 SM), ketika membahas tentang madu, yang dia digambarkan berwarna pucat, mengatakan, “baik untuk salep mata dan luka”. Madu Manuka dilaporkan menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Helicobacter pylori (H. pylori) yang menjadikan madu ini secara fungsional tepat untuk pengobatan luka atau borok di dalam perut.[10]
Ada banyak laporan tentang madu yang mengatakan bahwa madu sangat efektif untuk mengobati luka, luka bakar, bisul pada kulit, dan peradangan; Sifat antibakteri pada madu mempercepat pertumbuhan jaringan baru untuk menyembuhkan luka. Madu medihoney dan manuka telah terbukti memiliki aktivitas in vivo[11] dan cocok untuk pengobatan bisul, luka yang terinfeksi, dan luka bakar.[12] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Crane, Eva. The Archaeology of Beekeeping, Cornell University Press, 1983; ISBN 0-8014-1609-4, dalam Abbasali Purbafrani, Seyed Amirhosein Ghazizade Hashemi, Saeed Bayyenat, Habibolah Taghizade Moghaddam, dan Masumeh Saeidi, The Benefits of Honey in Holy Quran, (International Journal of Pediatrics [Supplement 5], Vol.2, N.3-3, Serial No.9, September 2014), hlm 68.
[2] Isack H. A, Reyer H.-U. “Honeyguides and honey gatherers: interspecific communication in a symbiotic relationship”. Science 1989;243 (4896): 1343–6, dalam Abbasali Purbafrani, Seyed Amirhosein Ghazizade Hashemi, Saeed Bayyenat, Habibolah Taghizade Moghaddam, dan Masumeh Saeidi, Loc. Cit.
[3] Short L, Horne J, Diamond A. W. “Honeyguides”. In Christopher Perrins (Ed.). Firefly Encyclopedia of Birds. Firefly Books;2003. pp. 396–397; Dean W. R. J, MacDonald I. A. W. “A Review of African Birds Feeding in Association with Mammals”. Ostrich1981; 52 (3): 135, dalam Abbasali Purbafrani, Seyed Amirhosein Ghazizade Hashemi, Saeed Bayyenat, Habibolah Taghizade Moghaddam, dan Masumeh Saeidi, Loc. Cit.
[4] Kvavadze E, Gambashidze I, Mindiashvili G, Gogochuri G. “The first find in southern Georgia of fossil honey from the Bronze Age, based on palynological data”. Vegetation History and Archaeobotany 2006;16 (5): 399; Georgian ancient honey. cncworld.tv (31 March 2012). Retrieved on 10 July 2012, dalam Abbasali Purbafrani, Seyed Amirhosein Ghazizade Hashemi, Saeed Bayyenat, Habibolah Taghizade Moghaddam, dan Masumeh Saeidi, Loc. Cit.
[5] The world’s first winemakers were the world’s first beekeepers. guildofscientifictroubadours.com (2 April 2012). Retrieved on 10 July 2012, dalam Abbasali Purbafrani, Seyed Amirhosein Ghazizade Hashemi, Saeed Bayyenat, Habibolah Taghizade Moghaddam, dan Masumeh Saeidi, Loc. Cit.
[6] Abbasali Purbafrani, Seyed Amirhosein Ghazizade Hashemi, Saeed Bayyenat, Habibolah Taghizade Moghaddam, dan Masumeh Saeidi, Ibid., hlm 69.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm 68.
[10] Ibid., hlm 69.
[11] In vivo (dalam hidup, bahasa latin) mengacu pada eksperimen menggunakan keseluruhan organisme hidup. In vivo berusaha menghindari penggunaan organisme secara parsial atau organisme mati. Lebih lengkap lihat Ahmadmantiq, “in vitro in vivo”, dari laman https://bisakimia.com/2016/05/12/in-vitro-in-vivo/, diakses 17 Januari 2018.
[12] Mandal MD, Mandal S. Honey: its medicinal property and antibacterial activity. Asian Pac J Trop Biomed. Apr 2011; 1(2): 154–60; Al-Waili NS, Akmal M, Al-Waili FS, Saloom KY, Ali A. The antimicrobial potential of honey from United Arab Emirates on some microbial isolates. Med Sci Monitor 2005;11:433–8, dalam Abbasali Purbafrani, Seyed Amirhosein Ghazizade Hashemi, Saeed Bayyenat, Habibolah Taghizade Moghaddam, dan Masumeh Saeidi, Loc. Cit.
Saya senang dan terbantu insight dari tulisan diatas ini. Semoga bisterus menulis dengan referensi ilmiah yg bisa dijadikan rujukan. Saya munkin akan mengambil dengan tetap mencantumkan nama dan situs yg bersangkutan.