“Di Umm ‘Ubayda, Ibnu Bathuthah melihat para Darwish dari Tarekat Rifa’iyya melakukan ritual memakan bara api dan memakan ular hidup-hidup, dan karenanya mereka mencapai ekstasi”
–O–
Setelah mengunjungi makam Imam Ali bin Abi Thalib, kafilah melanjutkan perjalanan ke Baghdad, namun Ibnu Bathuthah tidak ikut, dia memilih ke Basrah terlebih dahulu, dia bergabung dengan pasukan Arab. Ibnu Bathuthah menilai mustahil melakukan perjalanan di daerah tersebut sendirian apabila tidak bergabung dengan pasukan Arab. Bahaya mengintai di sepanjang perjalanan.[1]
Ibnu Bathuthah beserta rombongan pasukan Arab menempuh jalan melalui tepian sungai Efrat yang bernama al-‘Idhar, sebuah tempat yang dipenuhi oleh hutan alang-alang yang terendam air. Di daerah ini mereka mesti waspada, sebab menurut kabar di sekitar tempat itu terdapat segerombolan orang-orang Arab yang gemar merampok. Belum lama mereka telah menyerang sekelompok Darwish, mengambil semuanya, dan bahkan sepatu dan mangkuk kayu mereka pun tidak disisakan. Hutan alang-alang ini merupakan sarang sekaligus benteng alami pertahanan mereka. Beruntung, Ibnu Bathuthah beserta rombongan tidak bertemu dengan mereka.[2]
Tarekat Rifa’iyya
Tiga hari kemudian, mereka tiba di Wasit, ini adalah sebuah kota terbaik di Irak. Orang-orang yang ingin belajar membaca al-Quran datang ke kota ini. Beberapa orang di dalam rombongan Ibnu Bathuthah pun merupakan murid-murid yang datang ke Wasit dengan tujuan belajar membaca al-Quran.[3]
Di Wasit, mereka menetap selama tiga hari. Ibnu Bathuthah mendapat kesempatan untuk mengunjungi sebuah desa yang bernama Umm ‘Ubayda, jaraknya sekitar satu hari perjalanan. Di desa tersebut terdapat makam Ahmad bin Ali ar-Rifai (1106-1182 M), di masa hidupnya beliau merupakan seorang sufi ternama dan peletak ajaran dasar Tarekat Rifa’iyya. Tarekat Rifa’iyya merupakan salah satu Tarekat dari 12 Tarekat yang berada di dunia.[4]
Ibnu Bathuthah tiba di Umm ‘Ubayda pada hari selanjutnya, saat tiba di sana dia melihat pesantren yang besar sekali, di mana ribuan Darwish tinggal di dalamnya. Setelah shalat Ashar, berbagai macam gendang mulai dimainkan, mulailah mereka menari sampai menjelang Maghrib. Setelah shalat Maghrib, mereka membawa makanan yang terdiri dari nasi, roti, ikan, susu, dan kurma. Selepas shalat Isya, mereka membaca doa-doa.[5]
Di malam harinya Ibnu Bathuthah melihat kejadian yang cukup aneh, “sejumlah kayu telah dibawa masuk dan dinyalakan menjadi api, dan mereka mulai melakukan tari api; beberapa dari mereka berguling di dalam api, dan yang lainnya memakannya di mulut mereka sampai benar-benar padam. Inilah kebiasaan yang aneh dari Darwish Ahmadi. Beberapa dari mereka mengambil ular-ular besar dan menggigit kepala mereka dengan giginya sampai mereka benar-benar menghabiskannya.”[6]
Tarekat Rifa’iyya, didirikan di Basrah pada tahun 1183 setelah kematian Ahmad bin Ali ar-Rifai yang terkenal sangat shaleh. Tarekat Rifa’iyya selalu menekankan pentingnya gaya hidup asketis. Kesederhanaan, pantangan, dan pengendalian diri adalah kebajikan utama. Ahmad bin Ali ar-Rifai mengajarkan sebuah doktrin yang melarang menyakiti makhluk hidup, sekalipun itu makhluk yang sangat kecil. Dia juga mengajarkan bahwa ketika seseorang tertimpa musibah atau sakit, diwajibkan baginya untuk melawan situasi tersebut.[7]
Dzikir yang dilakukan oleh Tarekat Rifa’iyya cukup ekstrem, pun sebenarnya hal tersebut tidak diajarkan oleh Ahmad bin Ali ar-Rifai sendiri. Ritual-ritual ekstrem tampaknya baru ada di masa setelah invasi Mongol ke Irak pada pertengahan abad ke-13. Ritual ekstrem tersebut di antaranya memakan gelas, disentuh oleh setrika panas, menusuk tubuh dengan benda tajam, dan menelan pedang.[8]
Laporan lainnya, ditulis oleh Ibnu Khallikan sekitar tahun 1256 M, dia mengatakan bahwa para Darwish Rifa’iyya mempraktikkan ritual berjalan di atas bara api, memakan ular hidup-hidup, dan bahkan mengendarai Singa di Bata’ih (daerah di sekitar Basrah)![9] Dengan demikian informasi yang disampaikan oleh Ibnu Bathuthah cukup valid, sebab selain dia ada juga orang lain yang melaporkannya.
Bagian terpenting dari ritual Tarekat Rifa’iyya adalah ketika para Darwish melakukan tarian berputar, menghempaskan tubuh dan berguling-guling sehingga akhirnya ekstasi dapat tercapai. Mereka juga menjatuhkan diri ke tanah yang mana di sana sudah disimpan benda-benda berbahaya seperti pedang dan ular. Tarekat Rifa’iyya juga dilaporkan melakukan praktik-praktik magis.[10]
Artikel terkait:
Di kemudian hari, Tarekat Rifa’iyya berkembang pesat ke daerah-daerah lainnya, di antaranya mereka dilaporkan menyebar ke Mesir, Suriah, Turki, negara-negara Balkan, Maroko, dan Maldives. Di Mesir, konon Ali Pasha Mubarak pun masih keturunan dari Ahmad bin Ali ar-Rifai.[11]
Setelah berziarah ke makam Ahmad bin Ali ar-Rifai, Ibnu Bathuthah kembali ke Wasit, dan menemukan bahwa rombongan teman perjalanannya sudah pergi duluan. Tapi kemudian Ibnu Bathuthah menyusul mereka, dan mereka bersama-sama menuju Basrah.[12] (PH)
Bersambung ke:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (10): Persia
Sebelumnya:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (8): Mengenal Sufi
Catatan Kaki:
[1] Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 85.
[2] Ibid., hlm 85-86.
[3] Ibid., hlm 86.
[4] “Sufi Orders”, dari laman http://mevlana.lv/sufisms/sufi-orders/?lang=en, diakses 30 Januari 2018.
[5] Ibn Battuta, Loc. Cit.
[6] Ibid.
[7] Tore Kjeilen, “Rifa’I”, dari laman http://looklex.com/e.o/rifai.htm, diakses 31 Januari 2018.
[8] Ibid.
[9] N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis (Africa and Europe), (Sarup & Sons: New Delhi, 20002), hlm 139.
[10] Tore Kjeilen, Ibid.
[11] N. Hanif, Ibid., hlm 140.
[12] Ibn Battuta, Loc. Cit.