Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (8): Mengenal Sufi

in Travel

Last updated on January 31st, 2018 05:00 am

“Ibnu Bathuthah menempuh perjalanan dari Mekah menuju Mesopotamia selama 44 hari. Dalam perjalanan dia sempat berziarah ke makam Ali bin Abi Thalib dan bertemu dengan kaum Sufi. Ibnu Bathuthah sangat tertarik dengan gagasan-gagasan dalam Sufi.”

–O–

Sekitar 100 tahun sebelum penjelajahan Ibnu Bathuthah, pasukan Mongol yang dipimpin oleh cucu Genghis Khan, Hulagu, melakukan invasi ke Irak dan Persia. Bagi orang Persia dan Irak, invasi tersebut merupakan mimpi buruk. Seorang sejarawan Persia menceritakan, “dengan satu pukulan, sebuah dunia yang penuh dengan kesuburan dibuat menjadi mencekam sepi, dan wilayahnya berubah menjadi padang pasir, dan sebagian besar kehidupan telah mati, dan kulit dan tulang mereka luruh menjadi debu; dan sang perkasa (Irak dan Persia) direndahkan….”[1]

“Orang-orang Mongol mendatangkan kematian dan kehancuran ke mana pun mereka pergi, mulai dari China sampai ke dataran di Hungaria, begitu pula dengan Persia, di mana sebagian besar kota besar dihancurkan dan penghuninya dimusnahkan. Jumlah penduduk di daerah ini mungkin telah turun dari 2.500.000 menjadi 250.000 akibat pemusnahan massal dan kelaparan.”[2] Pada tahun 1258, kota Baghdad di Irak ditaklukkan dan khalifahnya dihukum mati, peristiwa tersebut sekaligus menandai berakhirnya dinasti Abbasiyah.[3]

Artikel terkait:

Ketika Ibnu Bathuthah tiba di wilayah tersebut hampir satu abad kemudian, Persia dan Irak masih menderita akibat invasi Mongol, terutama pada sektor ekonomi dan kesejahteraan pertaniannya. Namun, Ibnu Bathuthah juga menyaksikan aspek positif dari penguasaan Mongol terhadap budaya Persia. Setelah invasi, di kemudian hari ternyata orang-orang Mongol tersebut malah masuk Islam, dan memberikan pengaruh terhadap dunia seni dan pembelajaran Persia.[4]

Perihal masuknya orang-orang Mongol ke agama Islam, ini merupakan sebuah peristiwa yang unik, biasanya negara yang terjajah akan mengikuti agama yang dibawa oleh para penjajah, kali ini malah kebalikannya, perlu diketahui, orang-orang Mongol sebelumnya adalah penganut agama pagan.[5]

Salah satu contoh hasil asimilasi tersebut dapat dilihat di tempat observatorium di Margheh (sekarang di Iran), di sana para ilmuwan Persia dan Cina berkolaborasi untuk menyusun tabel astronomi yang sangat penting. Seorang ahli sejarah zaman itu, Rashid al-Din, seorang Yahudi yang masuk Islam, menulis sebuah catatan sejarah yang pertama kalinya ada di dalam ilmu sejarah, yaitu ketika budaya China, Bizantium, dan Eropa Barat bersatu padu dalam agama Islam. Pengaruh budaya Tionghoa juga ditemukan dalam seni lukis, kaligrafi, tekstil, dan tembikar Persia.[6]

 

Menuju al-Najaf

Pada tanggal 17 November 1326, Ibnu Bathuthah meninggalkan Mekah dan bergabung dengan rombongan kafilah peziarah resmi dari negara Persia. Kali ini Ibnu Bathuthah cukup beruntung, dia diberikan jatah menaiki salah satu dari dua gendongan unta oleh pejabat kaya Persia yang terkesan oleh ilmu dan watak Ibnu Bathuthah yang ramah. Mereka berbaris di malam hari dengan obor, “sehingga engkau dapat melihat pemukiman berkilauan dengan cahaya dan kegelapan berubah menjadi hari yang cerah,” kata Ibnu Bathuthah.[7]

Ilustrasi unta dengan dua gendongan. Photo: London News, 1857.

Istri salah seorang khalifah telah mendanai pembangunan rantai tangki penyiraman dan sumur di sepanjang jalan setapak agar kafilah aman karena di sepanjang perjalanan air mudah didapat. Seluruh perjalanan dari Mekah ke Mesopotamia memakan waktu sekitar 44 hari. Di al-Najaf (sekarang Irak) Ibnu Bathuthah mengunjungi tempat suci yang sangat penting bagi semua umat Islam, terutama bagi muslim Syiah. Di al-Najaf terdapat makam Ali bin Abi Thalib, khalifah ke empat umat Islam, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, dan Imam pertama bagi Islam Syiah. Di sini Ibnu Bathuthah bertemu dengan kaum Sufi, orang-orang yang mencoba untuk “menemukan” Tuhan melalui medium seni seperti tarian berputar, musik, puisi, dan tarian-tarian lainnya.[8]

Tarian berputar, dulunya dikembangkan oleh para Sufi. Photo: Dorit Cohen dari Pinterest

Sufi adalah salah satu cabang di dalam Islam yang berusaha untuk mendapatkan pengalaman langsung tentang Allah secara intuitif melalui Cinta. Mereka seringkali mengekspresikan pengetahuan mereka melalui puisi dan musik. Pada abad ke-12, para Sufi dapat ditemukan di daerah perkotaan dan pedesaan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ibnu Bathuthah sangat tertarik terhadap gagasan-gagasan Sufi.[9]

Bersambung ke:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (9): Tarekat Rifa’iyya

Sebelumnya:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (7): Ibadah Haji

Catatan Kaki:

[1] Juvaini, The History of the World Conquerors, vol. 1, diterjemahkan oleh Boyle, Cambridge, 1958, dalam Nick Bartel, “The Travels of Ibn Battuta, Iraq and Persia: 1326 – 1327”, dari laman https://orias.berkeley.edu/resources-teachers/travels-ibn-battuta/journey/iraq-and-persia-1326-1327, diakses 29 Januari 2018.

[2] JM Smith, dalam Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm 83, dalam Nick Bartel, Ibid.

[3] “Invasi Mongol ke Baghdad 1258 M (1)”, dari laman https://ganaislamika.com/invasi-mongol-ke-baghdad-1258-m-1/, diakses 29 Januari 2018.

[4] Nick Bartel, Ibid.

[5] “Religions in Mongolia”, dari laman http://www.e-mongol.com/mongolia_religion.htm, diakses 29 Januari 2018.

[6] Nick Bartel, Ibid.

[7] Ross E. Dunn, Ibid., hlm 89, dalam Nick Bartel, Ibid.

[8] Nick Bartel, Ibid.

[9] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*