Pada tahun 175 H, salah satu anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang bernama Yahya bin Abdullah berhasil membangun kekuatan di daerah Dailam (Iran sekarang). Tabari mengisahkan, bahwa ketika mendengar berita ini, Harun Al-Rasyid langsung tertekan sedemikian rupa. Hingga dia tidak meminum anggur kurma (nabidb) selama beberapa hari.
Meskipun di era pemerintahan Harun Al-Rasyid kejayaan Dinasti Abbasiyah dimulai, tapi situasi politik dan keamanan di sejumlah wilayah tidak berlangsung mulus. Hampir setiap tahun sejak pengangkatan Al-Amin sebagai putra mahkota pada 175 H, selalu saja ada gejolak keamanan, baik dalam bentuk kerusuhan ataupun pemberontakan di sejumlah wilayah, mulai dari Mesir di barat, Suriah dan sekitarnya di utara, serta Khurasan di Timur.
Tapi sebagaimana sejarah kemudian membuktikan, deretan pemberontakan dan kerusuhan ini ternyata berhasil mengukuhkan dominasi tentara Abbasiyah, baik di dunia Islam, maupun di seluruh dunia. Menariknya, berbagai pemberontakan ini berlangsung pararel dengan sejumlah ekspedisi militer Abbasiyah, yang dipimpin oleh Harun Al-Rasyid sendiri. Sehingga membuat namanya kita ke sohor di muka bumi.
Pada tahun 176 H, sebuah revolusi pecah di wilayah yang bernama Daylam, sebuah daerah pedalaman di sebelah barat Pegunungan Elburz (Iran sekarang). Tokoh yang menginisiasi gerakan revolusi ini adalah Yahya bin Abdallah bin Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib , adik dari Idris bin Abdullah yang berhasil mendirikan Dinasti Idrisiyah di Maroko.[1] Mereka dulunya adalah sedikit orang anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang berhasil melarikan diri dari pembantaian pasukan Abbasiyah terhadap anak keturunan Ali bin Abi Thalib pada masa pemerintahan Al-Hadi.[2]
Bila Idris bin Abdullah berlari ke barat, maka Yahya bin Abdullah berlari ke timur. Dia kemudian membangun kekuatan baru di daerah Daylam. Lambat laun, kekuatan militernya membengkak. Gerakannya berhasil menarik simpati dari masyarakat di sekitar wilayah tersebut, sehingga dalam waktu cukup singkat kekuatan ini berakumulasi sangat cepat. Tabari mengisahkan, bahwa ketika mendengar berita ini, Harun Al-Rasyid langsung tertekan sedemikian rupa. Hingga dia tidak meminum anggur kurma (nabidb) selama beberapa hari.[3]
Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi-edisi terdahulu, jika ada satu kekuatan yang paling dikhawatirkan oleh para penguasa Abbasiyah, itu adalah anak keturunan Ali bin Abi Thalib. Alasannya tidak lain, karena hanya mereka yang memiliki agregat legitimasi paling tinggi di tengah kaum Muslim yang bisa menandingi kedudukan para khalifah kala itu. Setiap kali mendengar salah satu anak keturunan Ali bin Abi Thalib bangkit, rakyat umumnya langsung berkumpul di sekitar mereka.
Ini sebabnya, setiap kali terdengar adanya gerakan dari anak keturunan Ali bin Abi Thalib tersebut, para khalifah – baik Umayyah maupun Abbasiyah – sulit menahan gejolak emosi dan ketakutannya. Sebagaimana yang dulu terjadi ketika Yazid bin Muawiyah mendengar kabar kebangkitan Sayyidina Husein bin Ali. Atau ketika Al-Manshur mendengar lahirnya pemberontakan Muhammad bin Abdullah; juga yang terjadi pada Al-Hadi ketika menghadapi pemerontalan Husein bin Ali di Madinah. Dan sekarang situasi yang sama menimpa Harun Al-Rasyid ketika mendengar adanya kebangkitan gerakan Yahya bin Abdullah. Maka sangat wajar bila dia sangat mengkhawatirkan kabar yang berkembang ini.
Menurut Imam Al-Suyuthi, isu tentang adanya kebangkitan gerakan Yahya bin Abdullah ini sebenarnya sudah terdengar sejak satu tahun sebelumnya (175 H). Seseorang bernama Abdullah bin Mush’ab Az-Zubairi menyebarkan berita provokatif bahwa Yahya bin Abdullah memintanya untuk mengobarkan pemberontakan terhadap Harun Al-Rasyid. Atas tuduhan itu, Yahya minta dilakukan mubahalah dengan disaksikan oleh Harun Al-Rasyid sendiri.[4]
Harun menjabat tangan kedua orang itu lalu berkata pada Az-Zubairi, “Ya Allah, jika Engkau tau bahwa Yahya tidak mengajakku untuk memecah-belah umat dan melakukan pemberontakan terhadap Amirul Mukminin, jadikan aku hanya bergantung kepada daya upayaku sendiri dan jatuhkanlah siksa kepadaku dari sisi Mu. Amiin ya Rabbal Alaamiin,” Kemudian Az-Zubairi menirukan perkataan Harun Al-Rasyid dengan gemetar. Yahya juga mengucapkan dengan terbata-bata. Selanjutnya, keduanya pergi dari tempat itu, dan ternyata Zubair mati pada hari itu juga.[5]
Mendengar kabar kematian Az-Zubairi, untuk sementara waktu isu tentang ancaman pemberontakan Yahya menghilang. Tapi kali ini, ketika hampir semua masyarakat di kawasan sekitar Daylam menunjukkan keberpihakannya pada Yahya bin Abdullah, kecemasan Harun Al-Rasyid tidak bisa lagi dibendung. Dia kemudian memanggil saudara sesusuannya, Fadl bin Yahya, untuk menghadap.[6]
Singkat kata, Harun memerintahkan kepada Fadl untuk segera bergerak memadamkan ancaman tersebut. Menurut Tabari, Fadl bin Yahya diperintahkan membawa sekitar 50.000 personil terbaik yang berasal dari sejumlah wilayah seperti Jibal, al-Rayy, Jurjan, Jabaristan, Qumis, Dunbawand dan al-Ruyan. Di samping itu, Fadl juga didampingi oleh jenderal-jenderal terpilih, dan staf-staf terbaik Abbasiyah, serta dibekali sejumlah uang yang cukup untuk membayar segala keperluannya selama ekspedisi tersebut. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 342
[2] Untuk membaca uraian mengenai peristiwa ini, bisa membaca edisi “Dinasti Abbasiyah (27): Musa Al-Hadi (2)” melalui link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-27-musa-al-hadi-2/
[3] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, (State University of New York Press, 1995), hal. 116
[4] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta, Qisthi Press, 2017), hal. 308
[5] Ibid
[6] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, Op Cit